Rabu, 27 Desember 2017

Proses Penyebaran Islam Indonesia

Diambil dari pidato KH Muwaffiq Yogyakarta

Ternyata, jaman dulu ada orang Belanda namanya Snouck Hurgronje. Dia ini hafal Alquran, Sahih Bukhori, Sahih Muslim, Alfiyyah Ibnu Malik, Fathul Mu’in , tapi tidak islam, sebab tugasnya menghancurkan Islam Indonesia.

Mengapa? Karena Islam Indonesia selalu melawan Belanda. Sultan Hasanuddin, santri. Pangeran Diponegoro atau Mbah Abdul Hamid, santri. Sultan Agung, santri. Mbah Zaenal Mustofa, santri. Semua santri kok melawan Belanda.

Akhirnya ada orang belajar secara khusus tentang Islam, untuk mencari rahasia bagaimana caranya Islam Indonesia ini remuk. Snouck Hurgronje masuk ke Indonesia dengan menyamar namanya Syekh Abdul Ghaffar. Dia belajar Islam, menghafalkan Alquran dan Hadis di Arab. Maka akhirnya paham betul Islam.

Hanya saja begitu ke Indonesia, Snouck Hurgronje bingung: mencari Islam dengan wajah Islam, tidak ketemu. Ternyata Islam yang dibayangkan dan dipelajari Snouck Hurgronje itu tidak ada.

Mencari Allah disini tidak ketemu, ketemunya Pangeran. Ketemunya Gusti. Padahal ada pangeran namanya Pangeran Diponegoro. Ada Gusti namanya Gusti Kanjeng. Mencari istilah shalat tidak ketemu, ketemunya sembahyang. Mencari syaikhun, ustadzun , tidak ketemu, ketemunya kiai. Padahal ada nama kerbau namanya kiai slamet. Mencari mushalla tidak ketemu, ketemunya langgar.

Maka, ketika Snouck Hurgronje bingung, dia dibantu Van Der Plas. Ia menyamar dengan nama Syekh Abdurrahman. Mereka memulai dengan belajar bahasa Jawa. Karena ketika masuk Indonesia, mereka sudah bisa bahasa Indonesia, bahasa Melayu, tapi tidak bisa bahasa Jawa.

Begitu belajar bahasa Jawa, mereka bingung, strees. Orang disini makanannya nasi (sego).  Snouck Hurgronje dan Van Der Plas tahu bahasa beras itu, bahasa inggrisnya rice, bahasa arabnya ar-ruz .

Yang disebut ruz, ketika di sawah, namanya pari, padi. Disana masih ruz, rice. Begitu padi dipanen, namanya ulen-ulen, ulenan. Disana masih ruz, rice. Jadi ilmunya sudah mulai kucluk , korslet.

Begitu ditutu, ditumbuk, digiling, mereka masih mahami ruz, rice , padahal disini sudah dinamai gabah. Begitu dibuka, disini namanya beras, disana masih ruz, rice . Begitu bukanya cuil, disini namanya menir, disana masih ruz, rice. Begitu dimasak, disini sudah dinamai sego , nasi, disana masih ruz, rice.

Begitu diambil cicak satu, disini namanya
upa, disana namanya masih ruz, rice. Begitu dibungkus daun pisang, disini namanya lontong, sana masih ruz, rice. Begitu dibungkus janur kuning namanya ketupat, sana masih ruz, rice. Ketika diaduk dan hancur, lembut, disini namanya bubur, sana namanya masih ruz, rice.

Inilah bangsa aneh, yang membuat Snouck Hurgronje judeg, pusing.

Mempelajari Islam Indonesia tidak paham, akhirnya mencirikan Islam Indonesia dengan tiga hal. Pertama, kethune miring sarunge nglinting (berkopiah miring dan bersarung ngelinting). Kedua, mambu rokok (bau rokok). Ketiga, tangane gudigen (tangannya berpenyakit kulit).

Cuma tiga hal itu catatan (pencirian Islam Indonesia) Snouck Hurgronje di Perpustakaan Leiden, Belanda. Tidak pernah ada cerita apa-apa, yang lain sudah biasa. Maka, jangankan  Snouck Hurgronje, orang Indonesia saja kadang tidak paham dengan Islam Indonesia, karena kelamaan di tanah Arab.

Lihat tetangga pujian, karena tidak paham, bilang bid’ah . Melihat tetangga menyembelih ayam untuk tumpengan, dibilang bid’ah. Padahal itu produk Islam Indonesia. Kelamaan diluar Indonesia, jadi tidak paham. Masuk kesini sudah kemlinthi, sok-sokan, memanggil Nabi dengan sebutan “Muhammad” saja. Padahal, disini, tukang bakso saja dipanggil “Mas”. Padahal orang Jawa nyebutnya Kanjeng Nabi.

Lha , akhir-akhir ini semakin banyak yang tidak paham Islam Indonesia. Kenapa? Karena Islam Indonesia keluar dari rumus-rumus Islam dunia, Islam pada umumnya. Kenapa? Karena Islam Indonesia ini saripati (essensi) Islam yang paling baik yang ada di dunia.

Kenapa? Karena Islam tumbuhnya tidak disini, tetapi di Arab. Rasulullah orang Arab. Bahasanya bahasa Arab. Yang dimakan juga makanan Arab. Budayanya budaya Arab. Kemudian Islam datang kesini, ke Indonesia.

Kalau Islam masuk ke Afrika itu mudah, tidak sulit, karena waktu itu peradaban mereka masih belum maju, belum terdidik. Orang belum terdidik itu mudah dijajah. Seperti pilkada, misalnya, diberi Rp 20.000 atau mie instan sebungkus, beres. Kalau mengajak orang berpendidikan, sulit, dikasih uang Rp 10 juta belum tentu mau.

Islam datang ke Eropa juga dalam keadaan terpuruk. Tetapi Islam datang kesini, mikir-mikir dulu, karena bangsa di Nusantara ini sedang kuat-kuatnya. Bangsa anda sekalian ini bukan bangsa kecoak. Ini karena ketika itu sedang ada dalam kekuasaan negara terkuat yang menguasai 2/3 dunia, namanya Majapahit.

Majapahit ini bukan negara sembarangan. Universitas terbesar di dunia ada di Majapahit, namanya Nalanda. Hukum politik terbaik dunia yang menjadi rujukan adanya di Indonesia, waktu itu ada di Jawa, kitabnya bernama Negarakertagama. Hukum sosial terbaik ada di Jawa, namanya Sutasoma. Bangsa ini tidak bisa ditipu, karena orangnya pintar-pintar dan kaya-raya.

Cerita surga di Jawa itu tidak laku. Surga itu (dalam penggambaran Alquran): tajri min tahtihal anhaar (airnya mengalir), seperti kali. Kata orang disini: “mencari air kok sampai surga segala? Disini itu, sawah semua airnya mengalir.” Artinya, pasti bukan itu yang diceritakan para ulama penyebar Islam. Cerita surga tentang buahnya banyak juga tidak, karena disini juga banyak buah. Artinya dakwah disini tidak mudah.

Diceritain pangeran, orang Jawa sudah punya Sanghyang Widhi. Diceritain Ka’bah orang jawa juga sudah punya stupa: sama-sama batunya dan tengahnya sama berlubangnya. Dijelaskan menggunakan tugu Jabal Rahmah, orang Jawa punya Lingga Yoni.

Dijelaskan memakai hari raya kurban, orang Jawa punya peringatan hari raya kedri. Sudah lengkap. Islam datang membawa harta-benda, orang Jawa juga tidak doyan. Kenapa? Orang Jawa pada waktu itu beragama hindu. Hindu itu berprinsip yang boleh bicara agama adalah orang Brahmana, kasta yang sudah tidak membicarakan dunia.

Dibawah Brahmana ada kasta Ksatria, seperti kalau sekarang Gubernur atau Bupati. Ini juga tidak boleh bicara agama, karena masih ngurusin dunia. Dibawah itu ada kasta namanya Wesya (Waisya), kastanya pegawai negeri. Kasta ini tidak boleh bicara agama.

Di bawah itu ada petani, pedagang dan saudagar, ini kastanya Sudra . Kasta ini juga tidak boleh bicara agama. Jadi kalau ada cerita Islam dibawa oleh para saudagar, tidak bisa dterima akal. Secara teori ilmu pengetahuan ditolak, karena saudagar itu Sudra dan Sudra tidak boleh bicara soal agama.

Yang cerita Islam dibawa saudagar ini karena saking judeg-nya, bingungnya memahami Islam di Indonesia. Dibawahnya ada kasta paria, yang hidup dengan meminta-minta, mengemis. Dibawah Paria ada pencopet, namanya kasta Tucca. Dibawah Tucca ada maling, pencuri, namanya kasta Mlecca. Dibawahnya lagi ada begal, perampok, namanya kasta Candala.

Anak-anak muda NU harus tahu. Itu semua nantinya terkait dengan Nahdlatul Ulama. Akhirnya para ulama kepingin, ada tempat begitu bagusnya, mencoba diislamkan. Ulama-ulama dikirim ke sini.

Namun mereka menghadapi masalah, karena orang-orang disini mau memakan manusia. Namanya aliran Bhirawa. Munculnya dari Syiwa. Mengapa ganti Syiwa, karena Hindu Brahma bermasalah. Hindu Brahma, orang Jawa bisa melakukan tetapi matinya sulit. Sebab orang Brahma matinya harus moksa atau murco.

Untuk moksa harus melakukan upawasa. Upawasa itu tidak makan, tidak minum, tidak ngumpulin istri, kemudian badannya menyusut menjadi kecil dan menghilang. Kadang ada yang sudah menyusut menjadi kecil, tidak bisa hilang, gagal moksa, karena teringat kambingnya, hartanya. Lha ini terus menjadi jenglot atau batara karang.

Jika anda menemukan jenglot ini, jangan dijual mahal karena itu produk gagal moksa. Pada akhirnya, ada yang mencari ilmu yang lebih mudah, namanya ilmu ngrogoh sukmo . Supaya bisa mendapat ilmu ini, mencari ajar dari Kali. Kali itu dari Durga. Durga itu dari Syiwa, mengajarkan Pancamakara.

Supaya bisa ngrogoh sukmo, semua sahwat badan dikenyangi, laki-laki perempuan melingkar telanjang, menghadap arak dan ingkung daging manusia. Supaya syahwat bawah perut tenang, dikenyangi dengan seks bebas. Sisa-sisanya sekarang ada di Gunung Kemukus.

Supaya perut tenang, makan tumpeng. Supaya pikiran tenang, tidak banyak pikiran, minum arak. Agar ketika sukma keluar dari badan, badan tidak bergerak, makan daging manusia. Maka jangan heran kalau muncul orang-orang macam Sumanto.

Ketika sudah pada bisa ngrogoh sukmo, ketika sukmanya pergi di ajak mencuri namanya
ngepet . Sukmanya pergi diajak membunuh manusia namanya santet. Ketika sukmanya diajak pergi diajak mencintai wanita namanya pelet. Maka kemudian di Jawa tumbuh ilmu santet, pelet dan ngepet.

Ada 1.500 ulama yang dipimpin Sayyid Aliyudin habis di-ingkung oleh orang Jawa pengamal Ngrogoh Sukma. Untuk menghindari pembunuhan lagi, maka Khalifah Turki Utsmani mengirim kembali tentara ulama dari Iran, yang tidak bisa dimakan orang Jawa.

Nama ulama itu Sayyid Syamsuddin Albaqir Alfarsi. Karena lidah orang Jawa sulit menyebutnya, kemudian di Jawa terkenal dengan sebutan Syekh Subakir. Di Jawa ini di duduki bala tentara Syekh Subakir, kemudian mereka diusir.

Ada yang lari ke Pantai Selatan, Karang Bolong, Srandil Cicalap, Pelabuhan Ratu, dan Banten. Di namai Banten, di ambil dari bahasa Sansekerta, artinya Tumbal. Yang lari ke timur, naik Gunung Lawu, Gunung Kawi, Alas Purwo Banyuwangi (Blambangan). Disana mereka dipimpin Menak Sembuyu dan Bajul Sengoro.

Karena Syekh Subakir sepuh, maka pasukannya dilanjutkan kedua muridnya namanya Mbah Ishak (Maulana Ishak) dan Mbah Brahim (Ibrahim Asmoroqondi). Mereka melanjutkan pengejaran. Menak Sembuyu menyerah, anak perempuannya bernama Dewi Sekardadu dinikahi Mbah Ishak, melahirkan Raden Ainul Yaqin Sunan Giri yang dimakamkan di Gresik.

Sebagian lari ke Bali, sebagian lari ke Kediri, menyembah Patung Totok Kerot, diuber Sunan Bonang, akhirnya menyerah. Setelah menyerah, melingkarnya tetap dibiarkan tetapi jangan telanjang, arak diganti air biasa, ingkung manusia diganti ayam, matra ngrogoh sukmo diganti kalimat tauhid; laailaahaillallah. Maka kita punya adat tumpengan.

Kalau ada orang banyak komentar mem-bid’ah -kan, ceritakanlah ini. Kalau ngeyel, didatangi: tabok mulutnya. Ini perlu diruntutkan, karena NU termasuk yang masih mengurusi beginian.

Habis itu dikirim ulama yang khusus mengajar ngaji, namanya Sayyid Jamaluddin al-Husaini al-Kabir. Mendarat di Semarang dan menetap di daerah Merapi. Orang Jawa sulit mengucapkan, maka menyebutnya Syekh Jumadil Kubro.

Disana dia punya murid namanya Syamsuddin, pindah ke Jawa Barat, membuat pesantren puro di daerah Karawang. Punya murid bernama Datuk Kahfi, pindah ke Amparan Jati, Cirebon. Punya murid Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati. Inilah yang bertugas mengislamkan Padjajaran. Maka kemudian ada Rara Santang, Kian Santang dan Walangsungsang.

Nah , Syekh Jumadil Kubro punya putra punya anak bernama Maulana Ishak dan Ibrahim Asmoroqondi, bapaknya Walisongo. Mbah Ishak melahirkan Sunan Giri. Mbah Ibrahim punya anak Sunan Ampel. Inilah yang bertugas mengislamkan Majapahit.

Mengislamkan Majapahit itu tidak mudah. Majapahit orangnya pinter-pinter. Majapahit Hindu, sedangkan Sunan Ampel Islam. Ibarat sawah ditanami padi, kok malah ditanami pisang. Kalau anda begitu, pohon pisang anda bisa ditebang.

Sunan Ampel berpikir bagaimana caranya? Akhirnya beliau mendapat petunjuk ayat Alquran. Dalam surat Al-Fath, 48:29 disebutkan : ".... masaluhum fit tawrat wa masaluhum fil injil ka zar’in ahraja sat’ahu fa azarahu fastagladza fastawa ‘ala sukıhi yu’jibuz zurraa, li yagidza bihimul kuffar………”

Artinya: “…………Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin)……………”

Islam itu seperti tanaman yang memiliki anak-anaknya, kemudian hamil, kemudian berbuah, ibu dan anaknya bersama memenuhi pasar, menakuti orang kafir. Tanaman apa yang keluar anaknya dulu baru kemudian ibunya hamil? Jawabannya adalah padi.

Maka kemudian Sunan Ampel dalam menanam Islam seperti menanam padi. Kalau menanam padi tidak di atas tanah, tetapi dibawah tanah, kalau diatas tanah nanti dipatok ayam, dimakan tikus.

Mau menanam Allah, disini sudah ada istilah pangeran. Mau menanam shalat, disini sudah ada istilah sembahyang. Mau menanam syaikhun, ustadzun, disini sudah ada kiai. Menanam tilmidzun, muridun , disini sudah ada shastri, kemudian dinamani santri. Inilah ulama dulu, menanamnya tidak kelihatan.

Menanamnya pelan-pelan, sedikit demi sedikit: kalimat syahadat, jadi kalimasada. Syahadatain, jadi sekaten. Mushalla, jadi langgar. Sampai itu jadi bahasa masyarakat. Yang paling sulit mememberi pengertian orang Jawa tentang mati.

Kalau Hindu kan ada reinkarnasi. Kalau dalam Islam, mati ya mati (tidak kembali ke dunia). Ini paling sulit, butuh strategi kebudayaan. Ini pekerjaan paling revolusioner waktu itu. Tidak main-main, karena ini prinsip. Prinsip inna lillahi wa inna ilaihi rajiun berhadapan dengan reinkarnasi. Bagaimana caranya?

Oleh Sunan Ampel, inna lillahi wa inna ilaihi rajiun kemudian di-Jawa-kan: Ojo Lali Sangkan Paraning Dumadi.

Setelah lama diamati oleh Sunan Ampel, ternyata orang Jawa suka tembang, nembang, nyanyi. Beliau kemudian mengambil pilihan: mengajarkan hal yang sulit itu dengan tembang. Orang Jawa memang begitu, mudah hafal dengan tembang.

Orang Jawa, kehilangan istri saja tidak lapor polisi, tapi nyanyi: ndang baliyo, Sri, ndang baliyo . Lihat lintang, nyanyi: yen ing tawang ono lintang, cah ayu. Lihat bebek, nyanyi: bebek adus kali nyucuki sabun wangi. Lihat enthok: menthok, menthok, tak kandhani, mung rupamu. Orang Jawa suka nyanyi, itulah yang jadi pelajaran. Bahkan, lihat silit (pantat) saja nyanyi: … ndemok silit, gudighen.

Maka akhirnya, sesuatu yang paling sulit, berat, itu ditembangkan. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun diwujudkan dalam bentuk tembang bernama Macapat . Apa artinya Macapat? Bahwa orang hidup harus bisa membaca perkara Empat.

Keempat perkara itu adalah teman nyawa yang berada dalam raga ketika turun di dunia. Nyawa itu produk akhirat. Kalau raga produk dunia. Produk dunia makanannya dunia, seperti makan. Yang dimakan, sampah padatnya keluar lewat pintu belakang, yang cair keluar lewat pintu depan.

Ada sari makanan yang disimpan, namanya mani (sperma). Kalau mani ini penuh, bapak akan mencari ibu, ibu mencari bapak, kemudian dicampur dan dititipkan di rahim ibu. Tiga bulan jadi segumpal darah, empat bulan jadi segumpal daging. Inilah produk dunia.

Begitu jadi segumpal daging, nyawa dipanggil. “Dul, turun ya,”. “Iya, Ya Allah”. “Alastu birabbikum?” (apakah kamu lupa kalau aku Tuhanmu?). “Qalu balaa sahidnya,” (Iya Ya Allah, saya jadi saksi-Mu), jawab sang nyawa,. ”fanfuhur ruuh” (maka ditiupkanlah ruh itu ke daging). Maka daging itu menjadi hidup. Kalau tidak ditiup nyawa, tidak hidup daging ini. (lihat, a.l.: Q.S. Al-A’raf, 7:172, As-Sajdah: 7 -10, Al-Mu’min: 67, ed. )

Kemudian, setelah sembilan bulan, ruh itu keluar dengan bungkusnya, yaitu jasad. Adapun jasadnya sesuai dengan orang tuanya: kalau orang tuanya pesek anaknya ya pesek; orang tuanya hidungnya mancung anaknya ya mancung; orang tuanya hitam anaknya ya hitam; kalau orang tuanya ganteng dan cantik, lahirnya ya cantik dan ganteng.

Itu disebut Tembang Mocopat: orang hidup harus membaca perkara empat. Keempat itu adalah teman nyawa yang menyertai manusia ke dunia, ada di dalam jasad. Nyawa itu ditemani empat: dua adalah Iblis yang bertugas menyesatkan, dan dua malaikat yang bertugas nggandoli, menahan. Jin qarin dan hafadzah.

Itu oleh Sunan Ampel disebut Dulur Papat Limo Pancer. Ini metode mengajar. Maka pancer ini kalau mau butuh apa-apa bisa memapakai dulur tengen (teman kanan) atau dulur kiwo (teman kiri). Kalau pancer kok ingin istri cantik, memakai jalan kanan, yang di baca Ya Rahmanu Ya Rahimu tujuh hari di masjid, yang wanita nantinya juga akan cinta.

Tidak mau dulur tengen, ya memakai yang kiri, yang dibaca aji-aji Jaran Goyang, ya si wanita jadinya cinta, sama saja. Kepingin perkasa, kalau memakai kanan yang dipakai kalimah La haula wala quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘adzim . Tak mau yang kanan ya memakai yang kiri, yang dibaca aji-aji Bondowoso, kemudian bisa perkasa.

Mau kaya kalau memakai jalan kanan ya shalat dhuha dan membaca Ya Fattaahu Ya Razzaaqu , kaya. Kalau tidak mau jalan kanan ya jalan kiri, membawa kambing kendhit naik ke gunung kawi, nanti pulang kaya.

Maka, kiai dengan dukun itu sama; sama hebatnya kalau tirakatnya kuat. Kiai yang ‘alim dengan dukun yang tak pernah mandi, jika sama tirakatnya, ya sama saktinya: sama-sama bisa mencari barang hilang. Sama terangnya. Bedanya: satu terangnya lampu dan satunya terang rumah terbakar.

Satu mencari ayam dengan lampu senter, ayamnya ketemu dan senternya utuh; sedangkan yang satu mencari dengan blarak (daun kelapa kering yang dibakar), ayamnya ketemu, hanya blarak-nya habis terbakar. Itu bedanya nur dengan nar.

Maka manusia ini jalannya dijalankan seperti tembang yang awalan, Maskumambang: kemambange nyowo medun ngalam ndunyo , sabut ngapati, mitoni , ini rohaninya, jasmaninya ketika dipasrahkan bidan untuk imunisasi.

Maka menurut NU ada ngapati, mitoni,
karena itu turunnya nyawa. Setelah Maskumambang, manusia mengalami tembang Mijil. Bakal Mijil : lahir laki-laki dan perempuan. Kalau lahir laki-laki aqiqahnya kambing dua, kalau lahir perempuan aqiqahnya kambing satu.

Setelah Mijil, tembangnya Kinanti. Anak-anak kecil itu, bekalilah dengan agama, dengan akhlak. Tidak mau ngaji, pukul. Masukkan ke TPQ, ke Raudlatul Athfal (RA). Waktunya ngaji kok tidak mau ngaji, malah main layangan, potong saja benangnya. Waktu ngaji kok malah mancing, potong saja kailnya.

Anak Kinanti ini waktunya sekolah dan ngaji. Dibekali dengan agama, akhlak. Kalau tidak, nanti keburu masuk tembang Sinom: bakal menjadi anak muda (cah enom), sudah mulai ndablek, bandel.

Apalagi, setelah Sinom, tembangnya asmorodono , mulai jatuh cinta. Tai kucing serasa coklat. Tidak bisa di nasehati. Setelah itu manusia disusul tembang Gambuh , laki-laki dan perempuan bakal membangun rumah tangga, rabi, menikah.

Setelah Gambuh, adalah tembang Dhandanggula. Merasakan manis dan pahitnya kehidupan. Setelah Dhandanggula , menurut Mbah Sunan Ampel, manusia mengalami tembang Dhurma.

Dhurma itu: darma bakti hidupmu itu apa? Kalau pohon mangga setelah berbuah bisa untuk makanan codot, kalau pisang berbuah bisa untuk makanan burung, lha buah-mu itu apa? Tenagamu mana? Hartamu mana? Ilmumu mana yang didarmabaktikan untuk orang lain?

Khairunnas anfa’uhum linnas , sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat untuk manusia lainnya. Sebab, kalau sudah di Dhurma tapi tidak darma bakti, kesusul tembang Pangkur.

Anak manusia yang sudah memunggungi dunia: gigi sudah copot, kaki sudah linu. Ini harus sudah masuk masjid. Kalau tidak segera masuk masjid kesusul tembang Megatruh : megat, memutus raga beserta sukmanya. Mati.

Terakhir sekali, tembangnya Pucung. Lha ini, kalau Hindu reinkarnasi, kalau Islam Pucung . Manusia di pocong. Sluku-sluku Bathok, dimasukkan pintu kecil. Makanya orang tua (dalam Jawa) dinamai buyut, maksudnya : siap-siap mlebu lawang ciut (siap-siap masuk pintu kecil).

Adakah yang mengajar sebaik itu di dunia?
Kalau sudah masuk pintu kecil, ditanya Malaikat Munkar dan Nankir. Akhirnya itu, yang satu reinkarnasi, yang satu buyut . Ditanya: “Man rabbuka?” , dijawab: “Awwloh,”. Ingin disaduk Malaikat Mungkar – Nakir apa karena tidak bisa mengucapkan Allah.

Ketika ingin disaduk, Malaikat Rakib buru-buru menghentikan: “Jangan disiksa, ini lidah Jawa”. Tidak punya alif, ba, ta, punyanya ha, na, ca, ra, ka . “Apa sudah mau ngaji?”kata Mungkar – Nakir. “Sudah, ini ada catatanya, NU juga ikut, namun belum bisa sudah meninggal”. “Yasudah, meninggalnya orang yang sedang belajar, mengaji, meninggal yang dimaafkan oleh Allah.”

Maka, seperti itu belajar. Kalau tidak mau belajar, ditanya, “Man rabbuka?” , menjawab, “Ha……..???”. langsung dipukul kepalanya: ”Plaakkk!!”. Di- canggah lehernya oleh malaikat. Kemudian jadi wareng , takut melihat akhirat, masukkan ke neraka, di- udek oleh malaikat, di-gantung seperti siwur, iwir-iwir, dipukuli modal-madil seperti tarangan bodhol , ajur mumur seperti gedhebok bosok.

Maka, pangkat manusia, menurut Sunan Ampel: anak – bapak – simbah – mbah buyut – canggah – wareng – udek-udek – gantung siwur – tarangan bodol – gedhebok bosok. Lho, dipikir ini ajaran Hindu. Kalau seperti ini ada yang bilang ajaran Hindu, kesini, saya tabok mulutnya!

Begitu tembang ini jadi, kata Mbah Bonang, masa nyanyian tidak ada musiknya. Maka dibuatkanlah gamelan, yang bunyinya Slendro Pelok : nang ning nang nong, nang ning nang nong, ndang ndang, ndang ndang, gung . Nang ning nang nong: yo nang kene yo nang kono (ya disini ya disana); ya disini ngaji, ya disana mencuri kayu.

Lho, lha ini orang-orang kok. Ya seperti disini ini: kelihatannya disini shalawatan, nanti pulang lihat pantat ya bilang: wow!. Sudah hafal saya, melihat usia-usia kalian. Ini kan kamu pas pakai baju putih. Kalau pas ganti, pakainya paling ya kaos Slank.

Nah, nang ning nang nong, hidup itu ya disini ya disana. Kalau pingin akhiran baik, naik ke ndang ndang, ndang ndang, gung. Ndang balik ke Sanghyang Agung. Fafirru illallaah , kembalilah kepada Allah. Pelan-pelan. Orang sini kadang tidak paham kalau itu buatan Sunan Bonang.

Maka, kemudian, oleh Kanjeng Sunan Kalijaga, dibuatkan tumpeng agar bisa makan. Begitu makan kotor semua, dibasuh dengan tiga air bunga: mawar, kenanga dan kanthil.

Maksudnya: uripmu mawarno-warno, keno ngono keno ngene, ning atimu kudhu kanthil nang Gusti Allah (Hidupmu berwarna-warni, boleh seperti ini seperti itu, tetapi hatimu harus tertaut kepada Allah). Lho , ini piwulang-piwulangnya, belum diajarkan apa-apa. Oleh Sunan Kalijaga, yang belum bisa mengaji, diajari Kidung Rumekso Ing Wengi. Oleh Syekh Siti Jenar, yang belum sembahyang, diajari syahadat saja.

Ketika tanaman ini sudah ditanam, Sunan Ampel kemudian ingin tahu: tanamanku itu sudah tumbuh apa belum? Maka di-cek dengan tembang Lir Ilir, tandurku iki wis sumilir durung? Nek wis sumilir, wis ijo royo-royo, ayo menek blimbing. Blimbing itu ayo shalat. Blimbing itu sanopo lambang shalat.

Disini itu, apa-apa dengan lambang, dengan simbol: kolo-kolo teko , janur gunung. Udan grimis panas-panas , caping gunung. Blimbing itu bergigir lima. Maka, cah angon, ayo menek blimbing . Tidak cah angon ayo memanjat mangga.

Akhirnya ini praktek, shalat. Tapi prakteknya beda. Begitu di ajak shalat, kita beda. Disana, shalat 'imaadudin, lha shalat disini, tanamannya mleyor-mleyor, berayun-ayun.

Disana dipanggil jam setengah duabelas kumpul. Kalau disini dipanggil jam segitu masih disawah, di kebun, angon bebek, masih nyuri kayu. Maka manggilnya pukul setengah dua. Adzanlah muadzin, orang yang adzan. Setelah ditunggu, tunggu, kok tidak datang-datang.

Padahal tugas Imam adalah menunggu makmum. Ditunggu dengan memakai pujian. Rabbana ya rabbaana, rabbana dholamna angfusana , – sambil tolah-toleh, mana ini makmumnya – wainlam taghfirlana, wa tarhamna lanakunanna minal khasirin.

Datang satu, dua, tapi malah merokok di depan masjid. Tidak masuk. Maka oleh Mbah Ampel: Tombo Ati, iku ono limang perkoro….. . Sampai pegal, ya mengobati hati sendiri saja. Sampai sudah lima kali kok tidak datang-datang, maka kemudian ada pujian yang agak galak: di urugi anjang-anjang……. , langsung deh, para ma'mum buruan masuk. Itu tumbuhnya dari situ.

Kemudian, setelah itu shalat. Shalatnya juga tidak sama. Shalat disana, dipanah kakinya tidak terasa, disini beda. Begitu Allahu Akbar , matanya bocor: itu mukenanya berlubang, kupingnya bocor, ting-ting-ting, ada penjual bakso. Hatinya bocor: protes imamnya membaca surat kepanjangan. Nah, ini ditambal oleh para wali, setelah shalat diajak dzikir, laailaahaillallah.

Hari ini, ada yang protes: dzikir kok kepalanya gedek-gedek, geleng-geleng? Padahal kalau sahabat kalau dzikir diam saja. Lho, sahabat kan muridnya nabi. Diam saja hatinya sudah ke Allah. Lha orang sini, di ajak dzikir diam saja, ya malah tidur. Bacaannya dilantunkan dengan keras, agar ma'mum tahu apa yang sedang dibaca imam.

Kemudian, dikenalkanlah nabi. Orang sini tidak kenal nabi, karena nabi ada jauh disana. Kenalnya Gatot Kaca. Maka pelan-pelan dikenalkan nabi. Orang Jawa yang tak bisa bahasa Arab, dikenalkan dengan syair: kanjeng Nabi Muhammad, lahir ono ing Mekkah, dinone senen, rolas mulud tahun gajah.

Inilah cara ulama-ulama dulu kala mengajarkan Islam, agar masyarakat disini kenal dan paham ajaran nabi. Ini karena nabi milik orang banyak (tidak hanya bangsa Arab saja). Wamaa arsalnaaka illa rahmatal lil ‘aalamiin ; Aku (Allah) tidak mengutusmu (Muhammad) kecuali untuk menjadi rahmat bagi alam semesta.

Maka, shalawat itu dikenalkan dengan cara berbeda-beda. Ada yang sukanya shalawat ala Habib Syekh, Habib Luthfi, dll. Jadi jangan heran kalau shalawat itu bermacam-macam. Ini beda dengan wayang yang hanya dimiliki orang Jawa.

Orang kalau tidak tahu Islam Indonesia, pasti bingung. Maka Gus Dur melantunkan shalawat memakai lagu dangdut. Astaghfirullah, rabbal baraaya, astaghfirullah, minal khataaya, ini lagunya Ida Laila: Tuhan pengasih lagi penyayang, tak pilih kasih, tak pandang sayang. Yang mengarang namanya Ahmadi dan Abdul Kadir.

Nama grupnya Awara. Ida Laila ini termasuk Qari’ terbaik dari Gresik. Maka lagunya bagus-bagus dan religius, beda dengan lagu sekarang yang mendengarnya malah bikin kepala pusing. Sistem pembelajaran yang seperti ini, yang dilakukan oleh para wali. Akhirnya orang Jawa mulai paham Islam.

Namun selanjutnya Sultan Trenggono tidak sabaran: menerapkan Islam dengan hukum, tidak dengan budaya. "Urusanmu kan bukan urusan agama, tetapi urusan negara,” kata Sunan Kalijaga. “Untuk urusan agama, mengaji, biarlah saya yang mengajari,” imbuhnya.

Namun Sultan Trenggono terlanjur tidak sabar. Semua yang tidak sesuai dan tidak menerima Islam di uber-uber. Kemudian Sunan Kalijaga memanggil anak-anak kecil dan diajari nyanyian:

Gundul-gundul pacul, gembelengan.
Nyunggi-nyunggi wangkul, petentengan.
Wangkul ngglimpang segane dadi sak latar 2x

Gundul itu kepala. Kepala itu ra’sun. Ra’sun itu pemimpin. Pemimpin itu ketempatan empat hal: mata, hidung, lidah dan telinga. Empat hal itu tidak boleh lepas. Kalau sampai empat ini lepas, bubar.

Mata kok lepas, sudah tidak bisa melihat rakyat. Hidung lepas sudah tidak bisa mencium rakyat. Telinga lepas sudah tidak mendengar rakyat. Lidah lepas sudah tidak bisa menasehati rakyat. Kalau kepala sudah tidak memiliki keempat hal ini, jadinya gembelengan.

Kalau kepala memangku amanah rakyat kok terus gembelengan, menjadikan wangkul ngglimpang, amanahnya kocar-kacir. Apapun jabatannya, jika nanti menyeleweng, tidak usah di demo, nyanyikan saja Gundul-gundul pacul. Inilah cara orang dulu, landai.

Akhirnya semua orang ingin tahu bagaimana cara orang Jawa dalam ber-Islam. Datuk Ribandang, orang Sulawesi, belajar ke Jawa, kepada Sunan Ampel. Pulang ke Sulawesi menyebarkan Islam di Gunung Bawakaraeng, menjadilah cikal bakal Islam di Sulawesi.

Berdirilah kerajaan-kerajaan Islam di penjuru Sulawesi. Khatib Dayan belajar Islam kepada Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga. Ketika kembali ke Kalimantan, mendirikan kerajaan-kerajaan Islam di Kalimantan.

Ario Damar atau Ario Abdillah ke semenanjung Sumatera bagian selatan, menyebarkan dan mendirikan kerajaan-kerajaan di Sumatera.
Kemudian Londo (Belanda) datang. Mereka semua – seluruh kerajaan yang dulu dari Jawa – bersatu melawan Belanda.

Ketika Belanda pergi, bersepakat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Maka kawasan di Indonesia disebut wilayah, artinya tinggalan para wali. Jadi, jika anda meneruskan agamanya, jangan lupa kita ditinggali wilayah. Inilah Nahdlatul Ulama, baik agama maupun wilayah, adalah satu kesatuan: NKRI Harga Mati.

Maka di mana di dunia ini, yang menyebut daerahnya dengan nama wilayah? Di dunia tidak ada yang bisa mengambil istilah: kullukum raa’in wa kullukum mas uulun ‘an ra’iyatih ; bahwa Rasulullah mengajarkan hidup di dunia dalam kekuasaan ada sesuatu yaitu pertanggungjawaban.

Dan yang bertanggungjawab dan dipertanggung jawabkan disebut ra’iyyah. Hanya Indonesia yang menyebut penduduknya dengan sebutan ra’iyyah atau rakyat. Begini kok banyak yang bilang tidak Islam.

Nah, sistem perjuangan seperti ini diteruskan oleh para ulama Indonesia. Orang-orang yang meneruskan sistem para wali ini, dzaahiran wa baatinan, akhirnya mendirikan sebuah organisasi yang dikenal dengan nama Jam’iyyah Nahdlatul Ulama.

Kenapa kok bernama Nahdlatul Ulama. Dan kenapa yang menyelamatkan Indonesia kok Nahdlatul Ulama? Karena diberi nama Nahdlatul Ulama. Nama inilah yang menyelamatkan. Sebab dengan nama Nahdlatul Ulama, orang tahu kedudukannya: bahwa kita hari ini, kedudukannya hanya muridnya ulama.

Meski, nama ini tidak gagah. KH Ahmad Dahlan menamai organisasinya Muhammadiyyah: pengikut Nabi Muhammad, gagah. Ada lagi organisasi, namanya Syarekat Islam, gagah. Yang baru ada Majelis Tafsir Alquran, gagah namanya. Lha ini “hanya” Nahdlatul Ulama. Padahal ulama kalau di desa juga ada yang hutang rokok.

Tapi Nahdlatul Ulama ini yang menyelamatkan, sebab kedudukan kita hari ini hanya muridnya ulama. Yang membawa Islam itu Kanjeng Nabi. Murid Nabi namanya Sahabat. Murid sahabat namanya tabi’in . Tabi’in bukan ashhabus-shahabat , tetapi tabi’in , maknanya pengikut.

Murid Tabi’in namanya tabi’it-tabi’in , pengikutnya pengikut. Muridnya tabi’it-tabi’in namanya tabi’it-tabi’it-tabi’in , pengikutnya pengikutnya pengikut. Lha kalau kita semua ini namanya apa? Kita muridnya KH Hasyim Asy’ari.

Lha KH Hasyim Asy’ari hanya muridnya Kiai Asyari. Kiai Asyari mengikuti gurunya, namanya Kiai Usman. Kiai Usman mengikuti gurunya namanya Kiai Khoiron, Purwodadi (Mbah Gareng). Kiai Khoiron murid Kiai Abdul Halim, Boyolali.

Mbah Abdul Halim murid Kiai Abdul Wahid. Mbah Abdul Wahid itu murid Mbah Sufyan. Mbah Sufyan murid Mbah Jabbar, Tuban. Mbah Jabbar murid Mbah Abdur Rahman, murid Pangeran Sambuh, murid Pangeran Benowo, murid Mbah Tjokrojoyo, Sunan Geseng.

Sunan Geseng hanya murid Sunan Kalijaga, murid Sunan Bonang, murid Sunan Ampel, murid Mbah Ibrahim Asmoroqondi, murid Syekh Jumadil Kubro, murid Sayyid Ahmad, murid Sayyid Ahmad Jalaludin, murid Sayyid Abdul Malik, murid Sayyid Alawi Ammil Faqih, murid Syekh Ahmad Shohib Mirbath.

Kemudian murid Sayyid Ali Kholiq Qosam, murid Sayyid Alwi, murid Sayyid Muhammad, murid Sayyid Alwi, murid Sayyid Ahmad Al-Muhajir, murid Sayyid Isa An-Naquib, murid Sayyid Ubaidillah, murid Sayyid Muhammad, murid Sayyid Ali Uraidi, murid Sayyid Ja’far Shodiq, murid Sayyid Musa Kadzim, murid Sayyid Muhammad Baqir. Sayyid Muhammad Baqir hanya murid Sayyid Zaenal Abidin, murid Sayyidina Hasan – Husain, murid Sayiidina Ali karramallahu wajhah . Nah, ini yang baru muridnya Rasulullah saw.

Kalau begini nama kita apa? Namanya ya tabiit-tabiit-tabiit-tabiit-tabiit-tabiit…, yang panjang sekali. Maka cara mengajarkannya juga tidak sama. Inilah yang harus difahami.

Rasulullah itu muridnya bernama sahabat, tidak diajari menulis Alquran. Maka tidak ada mushaf
Alquran di jaman Rasulullah dan para sahabat. Tetapi ketika sahabat ditinggal wafat Rasulullah, mereka menulis Alquran.

Untuk siapa? Untuk para tabi’in yang tidak bertemu Alquran. Maka ditulislah Alquran di jaman Sayyidina Umar dan Sayyidina Utsman. Tetapi begitu para sahabat wafat, tabi’in harus mengajari dibawahnya.

Mushaf Alquran yang ditulis sahabat terlalu tinggi, hurufnya rumit tidak bisa dibaca. Maka pada tahun 65 hijriyyah diberi tanda “titik” oleh Imam Abu al-Aswad ad-Duali, agar supaya bisa dibaca.

Tabiin wafat, tabi’it tabi’in mengajarkan yang dibawahnya. Titik tidak cukup, kemudian diberi “harakat” oleh Syekh Kholil bin Ahmad al-Farahidi, guru dari Imam Sibawaih, pada tahun 150 hijriyyah.

Kemudian Islam semakin menyebar ke penjuru negeri, sehingga Alquran semakin dibaca oleh banyak orang dari berbagai suku dan ras. Orang Andalusia diajari “ Waddluha” keluarnya “ Waddluhe”.

Orang Turki diajari “ Mustaqiim” keluarnya “ Mustaqiin”. Orang Padang, Sumatera Barat, diajari “ Lakanuud ” keluarnya “ Lekenuuik ”. Orang Sunda diajari “ Alladziina ” keluarnya “ Alat Zina ”.

Di Jawa diajari “ Alhamdu” jadinya “ Alkamdu ”, karena punyanya ha na ca ra ka . Diajari “ Ya Hayyu Ya Qayyum ” keluarnya “ Yo Kayuku Yo Kayumu ”. Diajari “ Rabbil ‘Aalamin ” keluarnya “ Robbil Ngaalamin” karena punyanya ma ga ba tha nga.

Orang Jawa tidak punya huruf “ Dlot ” punyanya “ La ”, maka “ Ramadlan ” jadi “ Ramelan ”. Orang Bali disuruh membunyikan “ Shiraathal…” bunyinya “ Sirotholladzina an’amtha ‘alaihim ghairil magedu bi’alaihim waladthoilliin ”. Di Sulawesi, “’ Alaihim” keluarnya “’ Alaihing ”.

Karena perbedaan logat lidah ini, maka pada tahun 250 hijriyyah, seorang ulama berinisiatif menyusun Ilmu Tajwid fi Qiraatil Quran , namanya Abu Ubaid bin Qasim bin Salam. Ini yang kadang orang tidak paham pangkat dan tingkatan kita. Makanya tidak usah pada ribut.

Murid ulama itu beda dengan murid Rasulullah. Murid Rasulullah, ketika dzikir dan diam, hatinya “online” langsung kepada Allah SWT. Kalau kita semua dzikir dan diam, malah jadinya tidur.
Maka disini, di Nusantara ini, jangan heran.

Ibadah Haji, kalau orang Arab langsung lari ke Ka’bah. Muridnya ulama dibangunkan Ka’bah palsu di alun-alun, dari triplek atau kardus, namanya manasik haji. Nanti ketika hendak berangkat haji diantar orang se-kampung.

Yang mau haji diantar ke asrama haji, yang mengantar pulangnya belok ke kebun binatang. Ini cara pembelajaran. Ini sudah murid ulama. Inilah yang orang belajar sekarang: kenapa Islam di Indonesia, Nahdlatul Ulama selamat, sebab mengajari manusia sesuai dengan hukum pelajarannya ulama.

Anda sekalian disuruh dzikir di rumah, takkan mau dzikir, karena muridnya ulama. Lha wong dikumpulkan saja lama kelamaan tidur. Ini makanya murid ulama dikumpulkan, di ajak berdzikir.

Begitu tidur, matanya tidak dzikir, mulutnya tidak dzikir, tetapi, pantat yang duduk di majelis dzikir, tetap dzikir. Nantinya, di akhirat ketika “wa tasyhadu arjuluhum ,” ada saksinya. Orang disini, ketika disuruh membaca Alquran, tidak semua dapat membaca Alquran. Maka diadakan semaan Alquran.

Mulut tidak bisa membaca, mata tidak bisa membaca, tetapi telinga bisa mendengarkan lantunan Alquran. Begitu dihisab mulutnya kosong, matanya kosong, di telinga ada Alqurannya.

Maka, jika bukan orang Indonesia, takkan mengerti Islam Indonesia. Mereka tidak paham, oleh karena, seakan-akan, para ulama dulu tidak serius dalam menanam. Sahadatain jadi sekaten. Kalimah sahadat jadi kalimosodo. Ya Hayyu Ya Qayyum jadi Yo Kayuku Yo Kayumu.

Ini terkesan ulama dahulu tidak ‘alim. Ibarat pedagang, seperti pengecer. Tetapi, lima ratus tahun kemudian tumbuh subur menjadi Islam Indonesia. Jamaah haji terbanyak dari Indonesia. Orang shalat terbanyak dari Indonesia. Orang membaca Alquran terbanyak dari Indonesia.

Dan Islam yang datang belakangan ini gayanya seperti grosir: islam kaaffah, begitu diikuti, mencuri sapi. Dilihat dari sini, saya meminta, Tentara Nasional Indonesia, Polisi Republik Indonesia, jangan sekali-kali mencurigai Nahdlatul Ulama menanamkan benih teroris.

Teroris tidak mungkin tumbuh dari Nahdlatul Ulama, karena Nahdlatul Ulama lahir dari Bangsa Indonesia. Tidak ada ceritanya Banser kok ngebom disini, sungkan dengan makam gurunya. Mau ngebom di Tuban, tidak enak dengan Mbah Sunan Bonang.

Saya yang menjamin. Ini pernah saya katakan kepada Panglima TNI. Maka, anda lihat teroris di seluruh Indonesia, tidak ada satupun anak warga jamiyyah Nahdlatul Ulama. Maka, Nahdlatul Ulama hari ini menjadi organisasi terbesar di dunia.

Dari Muktamar Makassar jamaahnya sekitar 80 juta, sekarang di kisaran 120 juta. Yang lain dari 20 juta turun menjadi 15 juta. Kita santai saja. Lama-lama mereka tidak kuat, seluruh tubuh kok ditutup kecuali matanya. Ya kalau pas jualan tahu, lha kalau pas nderep di sawah bagaimana. Jadi kita santai saja. Kita tidak pernah melupakan sanad, urut-urutan, karena itu cara Nahdlatul Ulama agar tidak keliru dalam mengikuti ajaran Rasulullah Muhammad SAW.

Oleh: Gus Muwaffiq

Kamis, 02 November 2017

Mengapa Bermazhab?

Oleh Syeikh Dr. Amru Wardani

Mereka berkata: Kamu bermazhab karena kamu seorang yang fanatik!

Saya jawab: Tidak! saya bukan fanatik. Saya berlindung dengan Allah daripada sifat fanatik. Saya bermazhab karena saya melihat bahwa mazhab-mazhab fiqh semuanya:

1) Musannadah:
Mazhab-mazhab ini memiliki sanad sampai kepada Rasulullah saw. sehingga kesahihannya terjamin.

2) Mudallalah:
Mazhab-mazhab ini memiliki landasan argumentasi/dalil. Dalil tersebut tidak hanya dalil disebutkan secara eksplisit saja, namun ada dalil yang implisit.

3) Muashshalah:
Mazhab-mazhab ini memiliki metodologi berfikir yang terkodifikasikan dalam kitab-kitab usul fiqh, sehingga sangat tepat dan terukur dalam pengambilan dalil dari Al-Quran dan Sunnah.

4) Makhdumah:
Mazhab-mazhab ini dikhidmah/di layani oleh ratusan bahkan ribuan ulama setelahnya, dari matan menjadi syarah dan dari syarah melahirkan hasyiyah. Kemudian juga diberi taqrir dan tanbih, serta khidmah/pelayanan ilmiah lainnya. Ini juga memberikan jaminan akan kesahihan pemahaman keagamaan yang ada di dalam mazhab.

5) Muqa’adah:
Mazhab-mazhab ini memiliki kaedah-kaedah fiqh yang sangat rasional, seperti kitab “Al-Asybah wan Nadzoir” karya Imam Suyuti dalam mazhab Syaf’ie, kitab “Al-Asybah wan Nadzoir” karya Ibnu Nujaim dalam Mazhab Hanafi, kitab “Ta’sisun Nadzor” dalam Mazhab Maliki, dan kitab “Raudhatun Nadzir” dalam mazhab Hanbali.

6) Mumanhajah:
Mazhab-mazhab ini memiliki manhaj berfikir yang jelas, detail dan tepat

7) Muttasiqah:
Mazhab-mazhab ini memiliki tingkat amanah ilmiah yang sangat tinggi dalam menisbatkan sebuah pendapat kepada penuturnya, di dalamnya ada yang dikenal dengan qaul mukharraj dan ada juga yang disebut dengan qaul mansus.

8) Munfatihah:

Mazhab-mazhab ini memiliki cara berfikir yang elegan dan terbuka serta sangat toleran. Karena mempunyai kaedah-kaedah usul fiqh dan hal-hal yang bersifat kulli yang masih memungkikan generasi penerusnya untuk mengembangkannya sesuai dengan masalah-masalah kontemporari yang terjadi seiring perkembangan zaman.

*Penulis Ahli Darul Ifta’ Mesir
Dan Pengajar Usul Fiqh di Masjid Al Azhar.

Sabtu, 28 Oktober 2017

SHOLAWAT HAJJIYYAH, DO'A AGAR CEPAT NAIK HAJI

Di Antara yang masyhur adalah amalan bershalawat dengan shighot shalawat yang disertai permohonan agar disampaikan hajat untuk menunaikan ibadah haji ke Makkah al-Mukarramah.
Syaikh Ahmad Qusyairi rahimahullah  telah menukilkan shighot shalawat demikian dalam karya beliau “al-Wasiilatul Hariyyah Fi Al-Sholawati ‘ala khoiril Bariyyah” yang dikenal sebagai Sholawat Hajjiyyah
Telah masyhur diamalkan dan dianjurkan pengamalannya oleh para masyayikh kita yang mulia, rahimahumullahu ajma`in.
Mudahan – mudahan hajat kita untuk menunaikan ibadah haji diperkenankan Allah ta`ala dan dianugerahi dengan Haji Mabrur

Berikut Teks Sholawat Hajiyyah

اَللّهُمَّ صَلِّ عَلَي سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلاَةً تُبَلِّغُنَا بِهَا حَجَّ بَيْتِكَ الْحَرَامِ ، وَزِيَارَةِ قَبْرِ نَبِيِّكَ عَلَيْهِ اَفْضَلُ الصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ فِي لُطْفٍ وَعَافِيَةٍ وَسَلاَمَةٍ وَبُلُوْغِ الْمَرَامِ ، وَعَلَي آلِهِ وَصَحْبِهِ وَبَارِكْ وَسَلِّمْ

Ya Allah, wahai Tuhan kam Limpahkan shalawat dan salam atas Junjungan kami Nabi Muhammad SAW. Dengan Berkah shalawat sampaikanlah kami Berkunjung ke rumahMu yang mulia untuk menunaikan haji, Dan menziarahi Makam NabiMu Dalam kelembutan ketentuan Ilahi Dalam afiat, selamat sejahtera, tercapai segala yang dicita-cita. Limpahi juga shalawat, salam dan keberkatan Atas sekalian keluarga dan sahabat-nya.
amin
Do’a agar dimudahkan pergi haji

اَللَّهُمَّ الرْزُقْنَا زِيَارَةَ بَيْتِكَ اَلْمُعَظَّمْ وَرَسُوْلِكَ اَلْمُكَرَّمْ فِى هَذَا الْعَامْ وَفِى كُلِّ عَامْ بِاَحْسَنِالْحَالْ

Artinya :
Ya Allah, Berilah karunia-Mu untuk mengunjungi rumah-Mu yang agung dan RosuMu yang mulia, di tahun ini dan setiap tahun, dengan keadaan sebaik-baiknya.

wallahu a’lam bish showwab

SHOLAWAT THIBBIL QULUB

Shalawat Thibbil Qulub atau sholawat Syifa adalah  shalawat yang sering digunakan untuk wasilah penyembuhan suatu penyakit. Dari segi bahasa,  Thibbil Qulub artinya adalah obat hati, sedangkan Syifa adalah penyembuh. Para ulama dan kyai sering mengajarkan shalawat ini untuk tujuan penyembuhan penyakit.

Meskipun pernah dikatakan shalawat ini dapat mendatangkan syirik, tapi ini terjadi bila shalawat ini disalahartikan dalam penerjemahannya. Menurut Dato Dr. Haron Din, memang ada sedikit kebingungan jika ia diterjemahkan terus 'ayat by ayat'. Apa yang penting adalah kita harus ingat bahwa segala penyakit dan musibah yang datang semua dari Allah SWT dan enyembuhnya juga dari Allah SWT.

Segala obat adalah sebagai perantara atau asbab, dan usaha kita sebagai hambaNYA yang tetap yakin Allah SWT adalah musabab dan penentu diatas kesembuhan seseorang dan insyaAllah shalawat Thibbil Qulub atau Syifa’  ini juga dapat dijadikan salah satu amalan  untuk menyembuhkan penyakit.


Dan inilah bacaan sholawat Tibbil Qulub:
Bacaan Shalawat Thibbil Qulub atau Shalawat Syifa Untuk Penyembuhan Penyakit

Allahumma sholli 'ala Sayyida Muhammadin thibbil quluubi wa dawaaiha, wa 'aafiyatil abdani wa syifaa iha, wanuuril abshoori wa dhiyaa iha wwa 'ala aalihi wa shohbihi wa baarik wa sallim.

Artinya: 

"Ya Allah curahkanlah rahmat kepada junjungan kita nabi Muhammad SAW, sebagai obat hati dan penyembuhnya, penyehat badan dan kesembuhannya dan sebagai penyinar penglihatan mata  beserta cahayanya dan merupakan makanan pokok jasmani maupun rohani, Semoga sholawat dan salam tercurahkan pula kepada keluarga serta para shahabat-shahabatnya."

Fadhilah dan Khasiat Sholawat Tibbil Qulub :

Untuk menyembuhkan penyakit perut, sholawat ini dibaca 7 x, tiap-tiap satu kali ditiupkan pada satu gelas air kemudian diminum. Atau sholawat ini dibaca 7 x tiap kali membaca dituipkan pada telapak tangan kemudian diusapkan pada perut yang sakit, Insya Allah akan segera sembuh dengan ijin Allah. Untuk hati yang sempit was-was dan bingung alias sumpek bacalah sholawat ini sebanyak-banyaknya, agar kita dijauhkan dari berbagai penyakit bacalah sholawat ini sebagai wirid setelah shalat maktubah (shalat fardlu) Insya Allah akan terhindar dari segala macam penyakit.

Semoga bermanfaat...

SHOLAWAT NARIYAH, SUMBER SEJARAH DAN DASAR HUKUMNYA

Shalawat Nariyah, Tuduhan Syirik, dan Ilmu Sharaf Dasar

Popularitas shalawat Nariyah di kalangan umat Islam di Nusantara memang tak terbantahkan. Namun, apakah ia lantas bersih dari para penolaknya? Ternyata tidak. Sebuah fenomena yang sesungguhnya sangat lumrah dalam kehidupan beragama.

Lewat beragam sudut, beberapa orang melancarkan vonis bahwa pengamalan shalawat Nariyah termasuk melenceng dari ajaran Rasulullah alias bid’ah. Sebagian yang lain mengahakimi secara lebih ekstrem: syirik atau menyekutukan Allah.

Vonis bid’ah umumnya berangkat dari alasan tak ditemukannya hadits atau ayat spesifik tentang shalawat Nariyah. Sementara tuduhan syirik berasal dari analisa terjemahan atas redaksi shalawat yang dinilai mengandung unsur kemusyrikan. Yang terakhir ini menarik, karena tuduhan “sekejam” itu ternyata justru muncul hanya dari analisa kebahasaan. Benarkah demikian?

Kita simak dulu redaksi shalawat Nariyah secara lengkap sebagai berikut:

اَللّهُمَّ صَلِّ صَلاَةً كَامِلَةً وَسَلِّمْ سَلاَمًا تَامًّا عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الَّذِيْ تَنْحَلُّ بِهِ الْعُقَدُ وَتَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ وَتُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ وَتُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ وَحُسْنُ الْخَوَاتِمِ وَيُسْتَسْقَى الْغَمَامُ بِوَجْهِهِ الْكَرِيْمِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ فِى كُلِّ لَمْحَةٍ وَنَفَسٍ بِعَدَدِ كُلِّ مَعْلُوْمٍ لَكَ

Perhatian para penuduh shalat Nariyah mengandung kesyirikan umumnya tertuju pada empat kalimat berurutan di bawah ini:

تَنْحَلُّ بِهِ الْعُقَدُ وَتَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ وَتُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ وَتُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ

Kalimat-kalimat itu pun dirinci lalu diterjemahkan begini:

تَنْحَلُّ بِهِ الْعُقَدُ

Artinya: "Segala ikatan dan kesulitan bisa lepas karena Nabi Muhammad."

وَتَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ

Artinya: "Segala bencana bisa tersingkap dengan adanya Nabi Muhammad."

وَتُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ

Artinya: "Segala kebutuhan bisa terkabulkan karena Nabi Muhammad."

وَتُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ

Artinya: "Segala keinginan bisa didapatkan dengan adanya Nabi Muhammad."

Menurut para penuduh itu, empat kalimat tersebut sarat kesyirikan karena secara terjemahan mengandung pengakuan bahwa Nabi Muhammad memiliki kemampuan yang hanya dimiliki Allah, seperti bisa menghilangkan kesulitan, menghilangkan bencana, memenuhi kebutuhan, dan mengabulkan keinginan serta doa hanyalah Allah.

Bantahan dari Ilmu Sharaf dan Nahwu Dasar


Shalawat Nariyah atau disebut juga shalawat Tâziyah atau shalawat Tafrîjiyah berasal bukan dari Indonesia. Ia dikarang oleh ulama besar asal Maroko, Syekh Ahmad At-Tazi al-Maghribi (Maroko), dan diamalkan melalui sanad muttashil oleh ulama-ulama di berbagai belahan dunia. Tak terkecuali Mufti Mesir Syekh Ali Jumah yang memperoleh sanad sempurna dari gurunya Syaikh Abdullah al-Ghummar, seorang ahli hadits dari Maroko.

Jika shalawat Nariyah dianggap syirik, ada beberapa kemungkinan. Pertama, para ulama pengamal shalawat itu tak mengerti tentang prinsip-prinsip tauhid. Ini tentu mustahil karena mereka besar justru karena keteguhan dan keluasan ilmu mereka terhadap dasar-dasar ajaran Islam. Kedua, pengarang shalawat Nariyah, termasuk para pengikutnya, ceroboh dalam mencermati redaksi tersebut sehingga terjerumus kepada kesyirikan. Kemungkinan ini juga sangat kecil karena persoalan bahasa adalah perkara teknis yang tentu sudah dikuasai oleh mereka yang sudah menyandang reputasi kelilmuan dan karya yang tak biasa. Ketiga, para penuduhlah yang justru ceroboh dalam menghakimi, tanpa mencermati secara seksama dalil shalawat secara umum, termasuk juga aspek redaksional dari shalawat Nariyah.

Dilihat dari segi ilmu nahwu, empat kalimat di atas merupakan shilah dari kata sambung (isim maushul) الذي yang berposisi sebagai na‘at atau menyifati kata محمّد.

Untuk menjernihkan persoalan, mari kita cermati satu per satu kalimat tersebut.

تَنْحَلُّ بِهِ الْعُقَدُ وَتَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ وَتُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ وَتُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ

Pertama, تَنْحَلُّ بِهِ الْعُقَدُ .

Dalam kacamata ilmu sharaf, kata تَنْحَلُّ merupakan fi’il mudlari‘ dari kata انْحَلَّ. Bentuk ini mengikuti wazan انْفَعَلَ yang memiliki fungsi/faedah لمُطَاوَعَةِ فَعَلَ (dampak dari فَعَلَ). Demikian penjelasan yang kita dapatkan bila kita membuka kitab sharaf dasar, al-Amtsilah at-Tashrîfiyyah, karya Syekh Muhammad Ma’shum bin ‘Ali.

Contoh:

كَسَرْتُ الزُّجَاجَ فَانْكَسَرَ

“Saya memecahkan kaca maka pecahlah kaca itu.” Dengan bahasa lain, kaca itu pecah (انْكَسَر) karena dampak dari tindakan subjek “saya” yang memecahkan.

Contoh lain:

حَلّ اللهُ  العُقَدَ فَانْحَلَّ

“Allah telah melepas beberapa ikatan (kesulitan) maka lepaslah ikatan itu.” Dengan bahasa lain, ikatan-ikatan itu lepas karena Allahlah yang melepaskannya.

Di sini kita mencermati bahwa wazan انْفَعَلَ mengandaikan adanya “pelaku tersembunyi” karena ia sekadar ekspresi dampak atau kibat dari pekerjaan sebelumnya.

Kalau تَنْحَلُّ بِهِ الْعُقَدُ dimaknai bahwa secara mutlak Nabi Muhammad melepas ikatan-ikatan itu tentu adalah kesimpulan yang keliru, karena tambahan bihi di sini menunjukkan pengertian perantara (wasilah). Pelaku tersembunyinya tetaplah Allah—sebagaimana faedah لمُطَاوَعَةِ فَعَلَ.

Hal ini mengingatkan kita pada kalimat doa:

رَبِّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي وَيَسِّرْ لِي أَمْرِي  وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِنْ لِسَانِي  يَفْقَهُوا قَوْلِي

“Ya Rabbku, lapangkanlah untukku dadaku, mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah ikatan/kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku.”

Kedua, تَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ

Senada dengan penjelasan di atas, تَنْفَرِجُ merupakan fi’il mudlari‘ dari kata انْفَرَجَ, yang juga mengikuti wazan انْفَعَلَ. Faedahnya pun sama لمُطَاوَعَةِ فَعَلَ (dampak dari فَعَلَ).

Ketika dikatakan تَنْفَرِجُ بِهِ الْكُرَبُ maka dapat diandaikan bahwa فَرَجَ اللهُ الكُرَبَ فَانْفَرَجَ. Dengan demikian, Allah-lah yang membuka atau menyingkap bencana/kesusahan, bukan Nabi Muhammad.

Ketiga, تُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ

Kata تُقْضَى adalah fi’il mudlari‘ dalam bentuk pasif (mabni majhûl). Dalam ilmu nahwu, fi’il mabni majhul tak menyebutkan fa’il karena dianggap sudah diketahui atau sengaja disembunyikan. Kata الْحَوَائِجُ menjadi naibul fa’il (pengganti fa’il). Ini mirip ketika kita mengatakan “anjing dipukul” maka kita bisa mengandaikan adanya pelaku pemukulan yang sedang disamarkan.

Dengan demikian kita bisa mengandaikan kalimat lebih lengkap dari susunan tersebut.

يَقْضِي اللهُ الْحَوَائِجَ

“Allah akan mengabulkan kebutuhan-kebutuhan.”

Keempat, تُنَالُ بِهِ الرَّغَائِبُ

Penjelasan ini juga nyaris sama dengan kasus تُقْضَى بِهِ الْحَوَائِجُ. Singkatnya, Nabi Muhammad bukan secara mutlak memiliki kemampuan memberikan keinginan-keinginan karena Allah-lah yang melakukan hal itu yang dalam kalimat tersebut disembunyikan. Fa’il tidak disebutkan karena dianggap sudah diketahui.

Alhasil, dapat dipahami bahwa tuduhan syirik atas kalimat-kalimat itu sesungguhnya keliru. Sebab, kemampuan melepas kesulitan, menghilangkan bencana/kesusahan, memenuhi kebutuhan, dan mengabulkan keinginan-keinginan secara mutlak hanya dimiliki Allah. Dan ini pula yang dimaksudkan pengarang shalawat Nariyah, dengan susunan redaksi shalawat yang tidak sembrono. Hanya saja, dalam redaksi shalawat Nariyah tersebut diimbuhkan kata bihi yang berarti melalui perantara Rasulullah, sebagai bentuk tawassul.

Bahasa Arab dan bahasa Indonesia memang memiliki logika khas masing-masing. Karena itu analisa redaksi Arab tanpa meneliti struktur bakunya bisa menjerumuskan kepada pemahaman yang keliru. Lebih terjerumus lagi, bila seseorang membuat telaah, apalagi penilaian, hanya dengan modal teks terjemahan. Wallahu a’lam

Senin, 17 Juli 2017

BAHSUL MASAIL MASALAH MIQOT

Keputusan Bahtsul Masail Putaran I
Di Makam Islam Kutisari Utara III Tenggilis Surabaya
Selasa, 1 Muharram 1432 H / 7 Desember 2010

  1. Miqat Haji Dari Jiddah
Sebagaimana telah diketahui dalam kitab-kitab fiqih bahwa miqat makani(permulaan mengenakan pakaian ihram) yang dinyatakan oleh Rasulullah Saw ada empat, yaitu Dzul Hulaifah, al-Juhfah, Qarn al-Manazil dan untuk wilayah seperti dari Indonesia adalah Yalamlam. Di masa Sayyidina Umar miqat tersebut ditambah satu lagi, yakni tatkala Iraq telak berhasil ditaklukkan dan para penduduk Irak merasa sulit untuk memulai miqat dariQarn al-Manazil, maka Umar bin Khattab menetapkan Dzat  Irqin sebagai miqat bagi penduduk Iraq (HR al-Bukhari). Di masa sekarang dimana Jiddah sebagai bandara internasional dari seluruh kedatangan para jamaah haji/umrah ke tanah suci, oleh sebagian pihak Jiddah dijadikan sebagai tempat miqat, termasuk jamaah haji dari Indonesia. Pro kontra pun terjadi, bahkan para ulama Saudi Arabia (pengikut aliran Wahabi) memfatwakan haram memulai miqat dari Jiddah karena dianggap menyalahi tuntunan Rasulullah Saw sehingga dianggap bid’ah. Namun, menurut staf ahli Kementrian Agama H. Tulus mengatakan bahwa MUI telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa miqat dari Jiddah hukumnya sah (http://haji.depag.go.id).  (Syuriah PCNU Kota Surabaya)

Pertanyaan:
  1. Apakah ikhtilaf dalam masalah ini termasuk ikhtilaf yang mu’tabar dalam takaran hukum Islam perspektif empat madzhab sehingga boleh diamalkan?

Jawaban:
Masalah ini masuk dalam koridor khilaf yang muktabar, karena khilaf ini terjadi antara sebagian besar ulama Syafiiyah yang menyatakan tidak sah dan Imam Ibnu Hajar yang menghukumi sah.  Hal ini terkait perbedaan sudut pandang radius jarak antara Jeddah ke Masjidil Haram yang menurut Imam Ibnu Hajar jaraknya telah mencapai masafat al-Qashri yang setara dengan Yalamlam. Sementara dalam perspektif madzhab Hanafi dan Maliki diperbolehkan.
Dalam hal ini PBNU telah memutuskan masalah di atas dalam Munas Alim Ulama di Yogyakarta 1984 bahwa Jiddah tidak memenuhi syarat sebagai tempat miqat. Namun PWNU Jatim dalam Bahtsul Masail di PP Miftahul Ulum Betet tahun 1993 mencantumkan pendapat para ulama yang memperbolehkan Ihram dari Jiddah.

تحفة المحتاج في شرح المنهاج  - (ج 14 / ص 421)
وَخَرَجَ بِقَوْلِنَا إلَى جِهَةِ الْحَرَمِ مَا لَوْ جَاوَزَهُ يَمْنَةً أَوْ يَسْرَةً فَلَهُ أَنْ يُؤَخِّرَ إحْرَامَهُ ، لَكِنْ بِشَرْطِ أَنْ يُحْرِمَ مِنْ مَحَلِّ مَسَافَتِهِ إلَى مَكَّةَ مِثْلَ مَسَافَةِ ذَلِكَ الْمِيقَاتِ كَمَا قَالَهُ الْمَاوَرْدِيُّ وَجَزَمَ بِهِ غَيْرُهُ وَبِهِ يُعْلَمُ أَنَّ الْجَائِيَ مِنْ الْيَمَنِ فِي الْبَحْرِ لَهُ أَنْ يُؤَخِّرَ إحْرَامَهُ مِنْ مُحَاذَاةِ يَلَمْلَمُ إلَى جِدَّةَ ؛ لِأَنَّ مَسَافَتَهَا إلَى مَكَّةَ كَمَسَافَةِ يَلَمْلَمُ كَمَا صَرَّحُوا بِهِ بِخِلَافِ الْجَائِي فِيهِ مِنْ مِصْرَ لَيْسَ لَهُ أَنْ يُؤَخِّرَ إحْرَامَهُ عَنْ مُحَاذَاةِ الْجُحْفَةِ ؛ لِأَنَّ كُلَّ مَحَلٍّ مِنْ الْبَحْرِ بَعْدَ الْجُحْفَةِ أَقْرَبُ إلَى مَكَّةَ مِنْهَا فَتَنَبَّهْ لِذَلِكَ ، فَإِنَّهُ مُهِمٌّ وَبِهِ يُعْلَمُ أَيْضًا أَنَّ مِثْلَ مَسَافَةِ الْمِيقَاتِ يُجْزِئُ الْعَوْدُ إلَيْهَا ،
( قَوْلُهُ : وَبِهِ يُعْلَمُ أَنَّ الْجَائِيَ مِنْ الْيَمَنِ فِي الْبَحْرِ لَهُ أَنْ يُؤَخِّرَ إلَخْ ) وَمِمَّنْ قَالَ بِالْجَوَازِ النَّشِيلَيْ مُفْتِي مَكَّةَ وَالْفَقِيهُ أَحْمَدُ بِلْحَاجٍّ وَابْنُ زِيَادٍ الْيَمَنِيُّ وَغَيْرُهُمْ وَمِمَّنْ قَالَ بِعَدَمِ الْجَوَازِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ بَامَخْرَمَةَ وَمُحَمَّدُ بْنُ أَبِي بَكْرٍ الْأَشْخَرُ وَتِلْمِيذُ الشَّارِحِ عَبْدُ الرَّءُوفِ قَالَ ؛ لِأَنَّ جِدَّةَ أَقَلُّ مَسَافَةً بِنَحْوِ الرُّبُعِ كَمَا هُوَ مُشَاهَدٌ وَقَالَ ابْنُ عَلَّانٍ فِي شَرْحِ الْإِيضَاحِ وَلَيْسَ هَذَا مِمَّا يَرْجِعُ لِنَظَرٍ فِي الْمَدَارِكِ حَتَّى يَعْمَلَ فِيهِ بِالتَّرْجِيحِ بَلْ هُوَ أَمْرٌ مَحْسُوسٌ يُمْكِنُ التَّوَصُّلُ لِمَعْرِفَتِهِ بِذَرْعِ حَبْلٍ طَوِيلٍ إلَخْ ا هـ كُرْدِيٌّ عَلَى بَافَضْلٍ عِبَارَةُ الْوَنَائِيِّ فَلَهُ أَنْ يُؤَخِّرَ إحْرَامَهُ مِنْ مُحَاذَاةِ يَلَمْلَمُ إلَى رَأْسِ الْمَعْرُوفِ قَبْلَ مَرْسَى جِدَّةَ ، وَهُوَ حَالُ تَوَجُّهِ السَّفِينَةِ إلَى جِهَةِ الْحَرَمِ وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يُؤَخِّرَهُ إلَى جِدَّةَ ؛ لِأَنَّهَا أَقْرَبُ مِنْ يَلَمْلَمُ بِنَحْوِ الرُّبُعِ وَقَوْلُهُمْ إنَّ جِدَّةَ وَيَلَمْلَمَ مَرْحَلَتَانِ مُرَادُهُمْ أَنَّ كُلًّا لَا يَنْقُصُ عَنْ مَرْحَلَتَيْنِ ، وَإِنْ تَفَاوَتَتْ الْمَسَافَتَانِ كَمَا حَقَّقَهُ مَنْ سَلَكَ الطَّرِيقَيْنِ وَهُمْ عَدَدٌ كَادُوا أَنْ يَتَوَاتَرُوا فَمَا فِي التُّحْفَةِ مِنْ جَوَازِ التَّأْخِيرِ إلَى جِدَّةَ فَهُوَ لِعَدَمِ مَعْرِفَتِهِ الْمَسَافَةَ فَلَا يَغْتَرُّ بِهِ كَمَا نَبَّهَ عَلَيْهِ تِلْمِيذُهُ عَبْدُ الرَّءُوفِ بْنُ يَحْيَى الزَّمْزَمِيُّ وَقَالَ مُحَمَّدُ بْنُ الْحَسَنِ وَلَوْ أَخْبَرَ الشَّيْخُ رَحِمَهُ اللَّهُ تَعَالَى تَحْقِيقَهُ الْأَمْرَ مَا أَفْتَى بِهِ .
وَقَالَ الشَّيْخُ عَلِيُّ بْنُ الْجَمَّالِ وَمَا فِي التُّحْفَةِ مَبْنِيٌّ عَلَى اتِّحَادِ الْمَسَافَةِ الظَّاهِرِ مِنْ كَلَامِهِمْ ، فَإِذَا تَحَقَّقَ التَّفَاوُتُ فَهُوَ قَائِلٌ بِعَدَمِ الْجَوَازِ قَطْعًا بِدَلِيلِ صَدْرِ كَلَامِهِ النَّصِّ فِي ذَلِكَ انْتَهَى . وَأَيْضًا كُلُّ مَحَلٍّ مِنْ الْبَحْرِ بَعْدَ رَأْسِ الْعَلَمِ أَقْرَبُ إلَى مَكَّةَ مِنْ يَلَمْلَمُ وَقَدْ قَالَ بِذَلِكَ فِي الْجُحْفَةِ وَنَصُّ عِبَارَتِهِ بِخِلَافِ الْجَائِي فِيهِ مِنْ مِصْرَ لَيْسَ لَهُ أَنْ يُؤَخِّرَ إحْرَامَهُ مِنْ مُحَاذَاةِ الْجُحْفَةِ ؛ لِأَنَّ كُلَّ مَحَلٍّ مِنْ الْبَحْرِ بَعْدَ الْجُحْفَةِ أَقْرَبُ إلَى مَكَّةَ مِنْهَا ا هـ وَعِبَارَةُ بَاعَشَنٍ وَلَا وَجْهَ لِمَا فِي التُّحْفَةِ إلَّا إنْ قِيلَ إنَّ مَبْنَى الْمَوَاقِيتِ عَلَى التَّقْرِيبِ ، وَهُوَ الَّذِي كَانَ يُعَلِّلُ بِهِ الشَّيْخُ مُحَمَّدُ صَالِحٍ تَبَعًا لِشَيْخِهِ إدْرِيسَ الصَّعِيدِيِّ جَوَازَ تَأْخِيرِ الْإِحْرَامِ إلَى جِدَّةَ وَيُفْتَى بِهِ أَوْ يَكُونُ جَبَلُ يَلَمْلَمُ مُمْتَدًّا بَعْدَ السَّعْدِيَّةِ بِحَيْثُ يَكُونُ بَيْنَ آخِرِهِ وَبَيْنَ مَكَّةَ مَرْحَلَتَانِ .
وَقَدْ سَمِعْت مِنْ بَعْضِ الثِّقَاتِ أَنَّ الشَّيْخَ مُحَمَّدَ صَالِحٍ الْمَذْكُورُ كَانَ يَقُولُ بِذَلِكَ وَقَدْ عَلِمْت أَنَّ يَلَمْلَمُ جَبَلٌ مُحَاذٍ لِلسَّعْدِيَّةِ وَسَمِعْت أَنَّ بِحِذَاءِ السَّعْدِيَّةِ جَبَلَيْنِ أَحَدَهُمَا بَيْنَ طَرَفِهِ الْمُحَاذِي لِمَكَّةَ وَبَيْنَ مَكَّةَ أَكْثَرُ مِنْ مَرْحَلَتَيْنِ وَالثَّانِيَ مُمْتَدٌّ لِجِهَةِ مَكَّةَ وَبَيْنَهُ وَبَيْنَ مَكَّةَ بِاعْتِبَارِ طَرَفِهِ الَّذِي بِجِهَتِهَا مَرْحَلَتَانِ فَأَقَلُّ ، فَإِنْ تَحَقَّقَ أَنَّهُ الْأَخِيرُ فَلَا شَكَّ فِي جَوَازِ الْإِحْرَامِ مِنْ جِدَّةَ فَحَرِّرْ جَبَلَ يَلَمْلَمُ ، فَإِنْ تَحَقَّقَ وَتَحَقَّقَتْ الْمُفَارَقَةُ الَّتِي يَقُولُونَهَا فَلَا وَجْهَ لِمَا قَالَهُ فِي التُّحْفَةِ بَلْ يُشْعِرُ بِذَلِكَ قَوْلُ التُّحْفَةِ ؛ لِأَنَّ مَسَافَتَهَا أَيْ جِدَّةَ كَمَسَافَةِ يَلَمْلَمُ إلَى مَكَّةَ ا هـ .
فَإِذَا تَحَقَّقَ التَّفَاوُتُ بَطَلَ الْمُسَاوَاةُ وَبَطَلَ مَا بُنِيَ عَلَيْهَا مِنْ جَوَازِ التَّأْخِيرِ إلَى جِدَّةَ ، وَهُوَ وَاضِحٌ إلَّا إنْ ثَبَتَ وَاحِدٌ مِنْ الْأَمْرَيْنِ لِلَّذَيْنِ سُقْنَاهُمَا ا هـ أَقُولُ الْأَمْرُ الْأَوَّلُ ، وَهُوَ أَنَّ مَبْنَى الْمَوَاقِيتِ عَلَى التَّقْرِيبِ ، كَلَامُ التُّحْفَةِ وَالنِّهَايَةِ وَالْمُغْنِي ، وَغَيْرُهُمْ صَرِيحٌ فِي خِلَافِهِ وَالْأَمْرُ الثَّانِي ، وَهُوَ كَوْنُ جَبَلِ يَلَمْلَمُ مُمْتَدًّا بَعْدَ السَّعْدِيَّةِ إلَخْ مَبْنِيٌّ عَلَى كَوْنِهِ الْأَخِيرَ مِنْ الْجَبَلَيْنِ اللَّذَيْنِ بِحِذَاءِ السَّعْدِيَّةِ الَّذِي بَيْنَ طَرَفِهِ وَبَيْنَ مَكَّةَ مَرْحَلَتَانِ فَأَقَلُّ وَقَدْ نَصَّ التُّحْفَةُ وَالنِّهَايَةُ وَالْمُغْنِي وَغَيْرُهُمْ عَلَى أَنَّهُ لَا مِيقَاتَ أَقَلُّ مِنْ مَرْحَلَتَيْنِ فَتَبَيَّنَ أَنَّهُ لَيْسَ جَبَلَ يَلَمْلَمُ ، وَإِنَّمَا هُوَ الْأَوَّلُ مِنْ الْجَبَلَيْنِ الْمَذْكُورَيْنِ الَّذِي بَيْنَ طَرَفِهِ وَبَيْنَ مَكَّةَ أَكْثَرُ مِنْ مَرْحَلَتَيْنِ

المجموع - (ج 7 / ص 199)
(وأما) إذا أتى من ناحية ولم يمر بميقات ولا حاذاه فقال أصحابنا لزمه أن يحرم على مرحلتين من مكة اعتبارا بفعل عمر رضى الله عنه في توقيته ذات عرق

المجموع - (ج 7 / ص 206)
(الشرح) قال الشافعي والاصحاب إذا انتهى الآفاقي إلى الميقات وهو يريد الحج أو العمرة أو القران حرم عليه مجاوزته غير محرم بالاجماع فان جاوزه فهو مسئ سواء كان من أهل تلك الناحية أم من غيرها كالشامي يمر بميقات المدينة * قال أصحابنا ومتي جاوز موضعا يجب الاحرام منه غير محرم اثم وعليه العود إليه والاحرام منه ان لم يكن له عذر فان كان عذر كخوف الطريق أو انقطاع عن رفقته أو ضيق الوقت أو مرض شاق أو احرم من موضعه ومضى وعليه دم إذا لم يعد فقد أثم بالمجاوزة ولا يأثم يترك الرجوع

أسنى المطالب - (ج 6 / ص 63)
وَكَتَبَ أَيْضًا ضَابِطُ مُجَاوَزَتِهِ الْمُوجِبَةِ لِلدَّمِ أَنْ يَنْتَهِيَ إلَى مَوْضِعٍ يَجُوزُ لَهُ فِيهِ قَصْرُ الصَّلَاةِ وَلَا عِبْرَةَ بِمُجَاوَزَتِهِ وَمَا دُونَهُ مِنْ الْقَرْيَةِ أَوْ الْحِلَّةِ

أسنى المطالب - (ج 6 / ص 67)
( فَصْلٌ وَمَنْ جَاوَزَ الْمِيقَاتَ مُرِيدًا لِلنُّسُكِ غَيْرَ مُحْرِمٍ ) ، وَلَمْ يَنْوِ الْعَوْدَ إلَيْهِ أَوْ إلَى مِثْلِ مَسَافَتِهِ مِنْ مِيقَاتٍ آخَرَ ( أَسَاءَ ) لِلْإِجْمَاعِ لِلْخَبَرِ السَّابِقِ ( وَلَزِمَهُ الْعَوْدُ ) إلَيْهِ مُحْرِمًا أَوْ لِيُحْرِمَ مِنْهُ تَدَارُكًا لِمَا فَوَّتَهُ ( وَأَثِمَ بِتَرْكِهِ ) أَيْ الْعَوْدِ ( إلَّا لِعُذْرٍ ) كَضِيقِ الْوَقْتِ وَخَوْفِ الطَّرِيقِ أَوْ الِانْقِطَاعِ عَنْ الرُّفْقَةِ وَسَهْوِهِ وَجَهْلِهِ فَلَا عَوْدَ عَلَيْهِ ، وَلَا إثْمَ لِعُذْرِهِ وَقَضِيَّةُ كَلَامِهِمْ أَنَّهُ يَلْزَمُهُ الْعَوْدُ إذَا كَانَ مَاشِيًا ، وَلَمْ يَتَضَرَّرْ بِالْمَشْيِ قَالَ الْإِسْنَوِيُّ وَفِيهِ نَظَرٌ وَيُتَّجَهُ أَنْ يُقَالَ إنْ كَانَ عَلَى دُونِ مَسَافَةِ الْقَصْرِ لَزِمَهُ ، وَإِلَّا فَلَا كَمَا قُلْنَا فِي الْحَجِّ مَاشِيًا قَالَ ابْنُ الْعِمَادِ : وَلِوَجْهِ لُزُومِ الْعَوْدِ مُطْلَقًا ؛ لِأَنَّهُ قَضَاءٌ لِمَا تَعَدَّى فِيهِ فَأَشْبَهَ وُجُوبَ قَضَاءِ الْحَجِّ الْفَاسِدِ ، وَإِنْ بَعُدَتْ الْمَسَافَةُ ( فَإِنْ أَحْرَمَ قَبْلَ الْعَوْدِ ) ، الْأَوْلَى وَلَمْ يَعُدْ ( وَإِنْ كَانَ مَعْذُورًا ) فِي ذَلِكَ ( لَزِمَهُ دَمٌ ) لِإِسَاءَتِهِ بِتَرْكِ الْإِحْرَامِ مِنْ الْمِيقَاتِ

ترشيح المستفيدين ص182, ونصه :
ولايجوز له تأخير احرامه الى الوصول الى جدة خلافا لما افتى به شيخنا (قوله خلافا لما افتى به شيخنا) اى فى التحفة وافتى بما فيها الشيخ محمد صالح الرئيس تبعا للشيخ ادريس الصعيدىوعلله بان مبنى المواقيت على التقريب لتصريحهم بان يلملم وذات عرق وجدة على مرحلتين مع ان بعضها يزيد على ذلك وسمعت ان يلملم جبل طويل وان اخره الى مكة كجدة اليها اواقل فان صح ذلك اتجه بل اتضح مافى التحفة لان العبرة فى المواقيت باخرها, بشرىوممن قال بجواز التأخير الى جدة كما فى الكردى النشيلى مفتى مكة والفقية احمد بلحاج وابن زياد اليمنى وغيرهم. اهـ وكان شيخنا السيد محمد  بن حسين الحبشى مفتى الشافعية بمكة رحمه الله تعالى يفتى به

نوازل الحج تأليف د. عبد الله السكاكر - (ج 1 / ص 15)
* المسألة الأولى هي : إذا قلنا أن جدة ميقات فرعي. فالذي يأتي من جهة البحر مثلاً من السودان أومن مصر أو نحو ذلك. يأتي إلى جدة هذا لا إشكال فيه لان هذا الميقات هو أول ميقات يصل إليه فحينئذ يحرم منه ولا خلاف بين من يقول هذا القول في انه قد احرم من الميقات وانه ليس عليه شيء أمام الله سبحانه وتعالى وانه احرم من الميقات الفرعي المقيس على الميقات الذي وقته رسول الله _صلى الله عليه وسلم_ لكن الإشكال هو في أمثالنا مثلاً من يأتي مثلاً من القصيم أو من الرياض أو من الشام أو من اليمن فيأتي عن طريق الطائرة مثلاً أو عن طريق السيارة فيتجاوز قرن المنازل ويذهب إلى جدة أو يتجاوز ذا الحليفة أو يتجاوز الجحفة ويذهب إلى جدة ويقول لن احرم إلا من جدة فما حكم هذا؟ أهل العلم يبحثون هذه المسألة في مسألة حكم تجاوز الميقات إلى ميقات آخر. يعني افترض أنك أنت من أهل المدينة وأردت أنك تعتمر وقلت لن احرم من ذي الحليفة ميقات أهل المدينة وسأذهب إلى الجحفة فتعتمر من هناك ما حكم هذا عند أهل العلم ؟ المسألة فيها قولان عند أهل العلم : أكثر أهل العلم يقولون لا يجوز أن يتجاوز الإنسان ميقاتًا إلى ميقاتٍ آخر. وهذا يقول به كثير من أهل العلم وعلى هذا من يذهب من هنا على الطائرة لا يجوز له أن يحرم من جدة بل يجب عليه أن يحرم إذا حاذى السيل أو حاذى ذا الحليفة أو حاذى الجحفة ولا يجوز له أن يتجاوز ذلك إلى الميقات الآخر وهو جدة هذا هو القول الأول . واستدلوا لذلك بقول النبي _صلى الله عليه وسلم_ _ عن هذه المواقيت _" هن لهن ولمن أتى عليهن من غير أهلهن" فإن من يأتي على أي ميقات من المواقيت سواء كان من أهله أو من غير أهله فأنه لا يجوز له أن يتجاوز إلا بإحرام . ومن أهل العلم وهو منسوب إلى الإمام مالك وأبي حنيفة و أبي ثوروهو قبل ذلك مروي عن عائشة _رضي الله عنها_ من يقول أنه يجوز تجاوز الميقات إلى ميقات آخر. فإنه قد ذكر أهل العلم أن عائشة _رضي الله عنها _كانت مقيمه في المدينة فكانت إذا أرادت أن تعتمر أحرمت من الجحفة وإذا أرادت أن تحج أحرمت من ذي الحليفة فإذا أرادت أن تعتمر فلا شك أنها تجاوزت ذا الحليفة إلى الجحفه وثبت أيضا في الصحيحين من حديث أبي قتادة _رضي الله عنه_ أنه خرج مع المسلمين عام الحديبية فالمسلمون أحرموا من ذي الحليفة وأبو قتادة _رضي الله تعالى عنه_ ما احرم من ذي الحليفة فالموفق ابن قدامة يقول إنه أحرم من الجحفة فيكون أبو قتادة _رضي الله تعالى عنه_ أيضاً مثل عائشة تجاوز ميقاتًا إلى ميقاتٍ آخر. وأيضا يمكن أن يُستدل لأ صحاب هذا القول بقول النبي _صلى الله عليه وسلم_" هن لهن ولمن أتى عليهن من غير أهلهن" فإذا أتيت إلى جدة وإن كانت جدة ليست ميقاتا لك إلا أنك إذا أتيت من جهتها تصبح ميقاتا لك والذي يظهر لي والله سبحانه وتعالى أعلم أن هذا القول هو الراجح

Pertanyaan:
  1. Bersandar pada realita bahwa Sayyidina Umar telah membuat ‘jalur miqat baru’, adakah peluang menjadikan Jiddah sebagai miqat bagi jamaah haji yang melalui bandara tersebut? Dan haruskah jamaah haji yang miqat di Jiddah membayar Dam?

Jawaban:
Mempertimbangkan dua khilaf di atas, maka menurut ulama yang memperboleh, Jeddah adalah jalur miqat yang baru, sementara menurut ulama yang tidak memperbolehkan, maka tidak bisa dijadikan sebagai miqat. Terkait masalah Dam, juga ada khilaf yang didasarkan atas dua perbedaan pendapat tersebut.

المجموع - (ج 7 / ص 197)
قال أصحابنا وغيرهم والاربعة الاولى من هذه الخمسة نص عليها رسول الله صلى الله عليه وسلم بلا خلاف وهذا مجمع عليه للاحاديث وفى ذات عرق وجهان ذكرهما المصنف وسائر الاصحاب (أحدهما) وهو نص الشافعي في الام كما ذكره المصنف وغيره انه مجتهد فيه اجتهد فيه عمر رضى الله عنه لحديث ابن عمر السابق (لما فتح المصران) (والثاني) وهو الصحيح عند جمهور أصحابنا انه منصوص عليه من النبي صلى الله عليه وسلم وممن صرح بتصحيحه الشيخ أبو حامد في تعليقه والمحاملي في كتابيه المجموع والتجريد وصاحب الحاوي واختاره القاضى أبو الطيب في تعليقه وصاحب الشامل وغيرهما قال الرافعى واليه ميل الاكثرين ورجح جماعة كونه مجتهدا فيه منهم القاضى حسين وإمام الحرمين وغيرهما وقطع به الغزالي في الوسيط قال إمام الحرمين الصحيح ان عمر وقته قياسا على قرن ويلملم قال والذى عليه التعويل انه باجتهاد عمر وذكر القاضى أبو الطيب في تعليقه أن قول الشافعي قد اختلف في ذات عرق فقال في موضع هو منصوص عليه وفي موضع ليس منصوصا عليه وممن قال انه مجتهد فيه من السلف طاووس وابن سيرين وأبو الشعثاء جابر بن زيد وحكاه البيهقى وغيره عنهم وممن قال من السلف انه منصوص عليه عطاء بن أبي رباح وغيره وحكاه ابن الصباغ عن أحمد وأصحاب أبى حنيفة (واحتج) من قال انه مجتهد فيه بحديث ابن عمر (لما فتح المصران (واحتج) القائلون بأنه منصوص عليه بالاحاديث السابقة فيه عن النبي صلى الله عليه وسلم) قالوا وإن كانت أسانيد مفرداتها ضعيفة فمجموعها يقوى بعضه بعضا ويصير الحديث حسنا ويحتج به ويحمل تحديد عمر رضي الله عنه باجتهاده على انه لم يبلغه تحديد النبي صلى الله عليه وسلم فحدده باجتهاد فوافق النص وكذا قال الشافعي في أحد نصيه السابقين انه مجتهد فيه لعدم ثبوت الحديث عنده وقد اجتمعت طرقه عند غيره فقوى وصار حسنا والله أعلم * قال الشافعي في المختصر والمصنف وسائر الاصحاب لو أحرم أهل المشرق من العقيق كان أفضل وهو واد وراء ذات عرق مما بلي المشرق

المجموع , ج7, ص178, مانصه :
(وأما) إذا أتى من ناحية ولم يمر بميقات ولا حاذاه فقال أصحابنا لزمه أن يحرم على مرحلتين من مكة اعتبارا بفعل عمر رضى الله عنه في توقيته ذات عرق

غاية تلخيص المراد من فتاوى ابن زياد, ص117, وعبارته:
)مسألة): من ركب البحر من جهة اليمن وحاذى يلملم من جهة البحر فهذا ميقاته, فإذا جاوزه إلى جهة جدة فقد ذكر أهل الخبرة أن مجاوزة ذلك ليست مجاوزة للميقات إلى جهة الحرم, بل إلى جهة يسار الميقات وهو لا يضر إلا إن كان إلى جهة الحرم, فإن صح ما قالوه وأحرم من جدة وكانبينها وبين مكة كما بين يلملم ومكة أو أكثر فلا دم عليه

الايضاح للامام النووى ص 120
ويجوز ان يحرم قبل وصوله الميقات من دويرة اهله ومن غيرها وفى الافضل قولان الصحيح ان يحرم من الميقات اقتداء برسول الله e والثانى من دويرة اهله