Simbah
KH Abdurrahman Munadi lahir di Polaman, Jatipecaron, Gubug sekitar tahun 1220 H atau 1805 M. Beliau merupakan putra dari K.
Arifin bin K. Muttaqin bin K. Khomsah Baturagung bin K Sihnun Selojari Kecamatan
Klambu Kabupaten Grobogan bin K. Asyifak bin K. Hasan Besari Tegalsari
Ponorogo. Akan tetapi ada riwayat yang menerangkan bahwa beliau putra K. Arifin
bin K. Ishak bin K. Asyifak bin K. Hasan Besari Tegalsari Ponorogo.
Menurut
cerita orang-orang tua nama dusun Polaman diambil dari nama di daerah Kediri
Jawa Timur, yaitu Tegalsari Ponorogo Jawa Timur. Ada pula yang mengatakan bahwa
dusun Polaman itu asalnya dari Mbah Imam Biyoro (seorang Kyai dari Kediri Jawa
Timur), yang pada saat itu melarikan diri dan bersembunyi di daerah Polaman
karena dikejar pasukan Belanda. Setelah sampai di Polaman beliau meminta tolong
kepada petani yang bernama Simbah Umar Janggan. Agar selamat beliau masuk di
saku Mbah Umar Janggan. Setelah itu pasukan belanda datang dan bertanya kepada
Mbah Umar Janggan “Apakah kamu tahu ada orang lari ke sini?”. Jawab Simbah Umar
Janggan “Sekarang saya tidak melihat”, sambil menepukkan tangannya pada sakunya
jadi beliau tidak berbohong. Akhirnya Mbah Imam Biyoro selamat dari tentara Belanda,
setelah itu tempat itu dinamakan Polaman yang artinya pol-pole (sangat) aman,
lalu Mbah Imam Biyoro bermukim di Polaman sampai beliau wafat dan makam Simbah
Umar Janggan di samping Simbah Imam biyoro dan di tengah-tengah kuburan
Polaman.
Simbah
Munadi memperoleh pendidikan di
pesantren-pesantren salaf, yang lebih mengutamakan pendidikan tauhid, akhlaq
dan alquran. Beliau pernah mondok di pondok pesantren KH Hasan Besari Tegalsari Ponorogo, pondok di daerah Madiun
dan lain-lain.
Seluruh
hidup Mbah Munadi didedikasikan untuk menyebarkan agama Islam khususnya di
daerah kawedanan Gubug, salah satunya beliau mendirikan langgar di dukuh Kleben
Karanglangu Kedungjati. Langgar tersebut dibangun bersama simbah K.
Murtadlo dan K. Abdullah, langgar yang sekarang menjadi masjid tersebut
menjadi masjid tertua di daerah Kedungjati bagian selatan. Beliau juga
mendirikan masjid-masjid lain di antaranya masjid Kedungjati, masjid Tambakan,
dan masjid Polaman. Asal mulanya masjid Polaman dibangun di pinggir sungai Tuntang,
karena sungai Tuntang ditanggul maka masjid tersebut dipindah di barat tanggul.
Dalam suatu kisah, di daerah Gubug ada musibah pagebluk
(wabah penyakit), sore sakit paginya meninggal, pagi sakit sorenya meninggal.
Lajeng wedana (pembantu bupati yang membawahi beberapa kecamatan) Gubug
Hadiprojo meminta barokah doa kepada simbah Munadi, supaya wabah penyakit
tersebut bisa pergi. Simbah Munadi bersedia berdoa dengan syarat wedana Hadiprojo harus taat kepada Allah SWT
dan menyelenggarakan acara selamatan dan
membuat makanan berupa onde-onde dan kue lapis yang warnanya merah putih. Simbah
Munadi berkata, "kalau orang Jawa bisa bersatu seperti wijen (pada
onde-onde) ini, maka akan jadi ini (kue lapis merah putih)". Wabah
penyakit itu pun akhirnya bisa hilang dan wedana Hadiprojo taat kepada Allah SWT.
Saat
wedana Hadiprojo hendak membuat pendopo kawedanan Gubug beliau meminta bantuan
kepada Mbah Munadi. Mbah Munadi diminta menginfakkan kayu balok buat bahan.
akan tetapi Mbah Munadi hanya menginfakkan ranting pohon. Wedana Hadiprojo pun
heran. Lalu ranting pohon tersebut bisa jadi kayu balok.
Simbah KH Abdurrahman
Munadi wafat di Gubug, hari Jumat Legi tahun 1901 M, jika dilihat dari
penanggalan hijriah 18 Muharrom 1319 H maka hari itu bertepatan dengan tanggal 14 juni 1901 M.