Jumat, 15 April 2011

MENGALIHKAN KALENDER MASEHI KE HIJRIYAH

Jika sebelumnya kita berbicara mengenai cara memindahkan kalender hijriyah ke masehi, sekarang kita akan membicarakan kebalikannya yaitu cara memindahkan kalender masehi ke hijriyah. Hal ini dimaksudkan apabila kita ingin mengetahui atau penasaran dengan penanggalan kelahiran kita jika dilihat dari tahun hijriyah umpamanya maka catatan berikut ini mungkin sedikit bisa membantu memecahkan permasalahan anda sekaligus untuk mengingatkan kita akan kegiatan hitung-menghitung.
                        Prosesnya adalah kebalikan dari proses mengubah hijriyah ke masehi. Mula-mula kita tetapkan dulu tanggal yang akan kita pindahkan kemudian jabarkan dengan ketentuan tahun dikurangi satu untuk mengetahui tahun yang sempurna, bulan dikurangi satu untuk mengetahui bulan yang lengkap lalu tanggal dibiarkan apa adanya. Misalnya tanggal 2 Mei 1972 jika kita jabarkan menjadi 1971 tahun 4 bulan 2 hari.
                        Langkah selanjutnya adalah membagi angka tahun dengan 4 yaitu jumlah tahun dalam satu daur tahun masehi agar dihasilkan jumlah daur, angka yang tidak terbagi dibiarkan tersisa. Langkah ketiga yaitu mengalikan jumlah daur hasil langkah kedua dengan jumlah hari dalam satu daur masehi ( 1.461 hari yang merupakan hasil penjumlahan hari 3 tahun pendek dan 1 tahun panjang / tahun kabisat  karena satu daur masehi terdiri 3 tahun pendek dan satu tahun panjang, tahun pendek memiliki 365 hari dan tahun panjang memiliki 366 hari ). Angka sisa dalam langkah kedua dikalikan 365 hari, yaitu jumlah hari dalam setahun pada tahun pendek. Hasil perkalian daur dijumlahkan dengan hasil perkalian sisa tahun, jumlah hari dalam penjabaran bulan dan hari.
                        Hasil dari perhitungan yang kita peroleh selanjutnya dikurangi angka selisih tetap masehi-hijriyah yaitu 227.016 hari lalu dikurangi lagi dengan angka koreksi Paus Gregorius XIII yaitu 13 hari. Langkah berikutnya adalah membagi hasil yang didapat dengan jumlah hari dalam siklus hiriyah ( 10.631 hari, angka ini diperoleh dari perkalian 19 tahun pendek dengan 354 ditambah hasil perkalian 11 tahun panjang dengan 355 hari ). Hasilnya adalah jumlah daur tahun hijriyah yang selanjutnya dikalikan 30 ( jumlah tahun dalam satu daur ), sisa angka yang tak terbagi 10.631 dibagi 354 untuk memperoleh angka tahun lalu dikurangi jumlah tahun kabisat sesuai urutan ( tahun kabisat dalam 1 daur adalah tahun ke-2, 5, 7, 10, 13, 15, 18, 21, 24, 26 dan 29 ), sisanya dijadikan bulan dan tanggal ( tahun ganjil 30 hari, tahun genap 29 hari ). Jumlahkan tahun yang sudah diperoleh untuk memperoleh tahun sempurna, tahun yang dicari adalah tahun setelah tahun sempurna, bulan yang dicari juga bulan setelah angka bulan yang didapat, sedang tanggal tetap.
                        Mari kita mencoba mencocokkan sesuai langkah di atas, umpamanya kita akan menjadikan tanggal 2 Mei 1972 menjadi tanggal hijriyah.
1.    Penjabarannya adalah 1971 tahun, 4 bulan 2 hari.
2.    1971 dibagi 4 hasilnya 492 daur masehi sisa 3 tahun
3.    492 dikalikan 1.461 hasilnya 718.812 hari
4.    3 tahun dikalikan 365 hasilnya 1.095 hari
5.    4 bulan (Januari s.d April ) adalah 121 hari ditambah sisa tanggal yaitu 2
6.    718.812 + 1.095 + 121 + 2 = 720.030 hari
7.    720.030 dikurangi 227.016 = 493.014 dikurangi lagi dengan 13 = 493.001 hari
8.    493.001 dibagi 10.631 = 46 daur hijriyah sisa 3.975 hari
9.    46 dikalikan 30 = 1380 tahun hijriyah
10.  3.975 hari dibagi 354 = 11 tahun sisa 81 hari, karena dalam 11 tahun ada 4 tahun kabisat maka 81 hari dikurangi 4 menjadi 77 hari sehingga 3.975 hari sama dengan 11 tahun 77 hari
11.  77 hari sama dengan 2 bulan lebih 18 hari
12. 1380 tahun + 11 tahun + 2 bulan + 18 hari = 1391 tahun 2 bulan 18 hari
Tahun sempurna diperoleh 1391 tahun lebih 2 bulan 18 hari yang berarti tanggal 2 Mei 1972 sama dengan tanggal 18 bulan 3 tahun 1392 H atau 18 Robi’ul Awwal 1392 H.
Selamat mencoba, semoga tidak pusing…

Rabu, 13 April 2011

MENCOCOKKAN HIJRIYAH KE MASEHI

               Sering kita menemukan sebuah catatan lama dari kakek atau nenek kita yang hanya menampilkan catatan peristiwa berdasarkan penanggalan hijriyah saja. Kadang catatan tersebut ternyata kita perlukan sebagai bukti otentik atau sebagai biografi dari orang yang kita hormati. Sekarang sudah banyak program instan yang bisa kita gunakan, tetapi tidak ada salahnya jika kita mencoba menggunakan teknik yang sedikit rumit dengan cara manual, hitung-hitung untuk mengasah otak kita dalam pelajaran berhitung.
               Ada beberapa langkah dan tahap penghitungan dalam proses pengalihan kalender tersebut. Mula-mula kita tentukan tanggal yang hendak kita pindahkan kemudian tanggal tersebut kita jabarkan dan kelompokkan dalam tahun, bulan dan tanggal. Langkah selanjutnya kita membagi tahun dengan 30 ( jumlah tahun dalam satu daur kalender hijriyah ) agar diperoleh jumlah daurnya dan sisa tahun yang tak terbagi. Sisa tahun yang tak terbagi tersebut kita pilah-pilah menjadi tahun kabisat ( tahun panjang ) dan tahun basithoh atau tahun pendek. Dalam satu daur hijriyah yang berisi 30 tahun terdapat 11 tahun panjang dan 19 tahun pendek. Tahun panjang adalah tahun ke-2, 5, 7, 10, 13, 15, 18, 21, 24, 26 dan 29. Selain tahun-tahun tersebut berarti tahun pendek. misalnya sisa tahun setelah dibagi 30 adalah 13 maka berarti terdapat 5 tahun kabisat atau tahun panjang yaitu tahun ke-2, 5, 7, 10, 13 dan sisanya 8 tahun adalah basithoh atau tahun pendek. Kemudian daur hasil pembagian dikalikan dengan jumlah hari dalam satu daur hijriyah yaitu 10.631 hari, tahun kabisat dikalikan 355 hari dan tahun pendek dikalikan 354 hari. Bulan hasil penjabaran dikalikan 30 lalu dikurangi jumlah bulan genap (bulan genap berusia 29 hari). Jumlah tanggal hasil penjabaran kemudian dijumlah dengan hasil dari semua perhitungan. Hasilnya ditambak dengan selisih tetap antara tahun masehi dan hijriyah yaitu 227.016 hari dan ditambah lagi dengan 13 hari yaitu hari hasil koreksi kesalahan kalender masehi oleh Paus Gregorius XIII.
                   Hasil keseluruhan adalah jumlah hari sebenarnya dari penanggalan yang kita inginkan. Langkah selanjutnya adalah membagi hasil tersebut dengan jumlah hari dalam satu siklus masehi yaitu 1461 agar diperoleh angka siklus. Angka siklus lalu dibagi 4, sisa angka yang tak diperoleh siklus dibagi 365 ( jumlah hari tahun pendek ), jika masih ada sisanya lagi maka bagilah dengan 30 dan kurangi dengan jumlah bulan genap, sisanya dijadikan tanggal.
                  Mari kita buatkan contoh : Kita akan mencocokkan tanggal 14 Robi'ul Akhir 1392.
1. Kita jabarkan menjadi 1391 tahun lebih 3 bulan 14 hari
2. 1391 dibagi 30 diperoleh daur 46 daur sisa 11 tahun
3. 11 tahun sisa terdapat 4 tahun panjang ( thn ke-2, 5, 7, 10 ) dan 7 tahun pendek
4. 46 dikalikan 10.631 hasilnya 489.026
5. 4 kabisat dikalikan 355 hasilnya 1.420
6. 7 tahun pendek dikalikan 354 hasilnya 2.478
7. 3 bulan dalam penjabaran dikali 30 dikurangi 1 tahun genap hasilnya 89
8. Sisa penjabaran 14 hari + 489.026+1.420+2.478+89 = 493.027
9. 493.027 ditambah selisih masehi hijriyah 227.016 dan ditambah koreksi Paus Gregorius XIII yaitu 13  
    hasilnya 720.056 hari.
10. 720.056 dibagi hari dalam siklus masehi yaitu 1.461 hasilnya 492 siklus sisa 1244 hari
11. 492 x 4 = 1968
12. 1244 : 365 = 3 tahun sisa 149 hari
13. 149 hari = 4 bulan 28 hari ( Januari 31, Februari 29 hari karena 1968 +3 = 1971 yang berarti tahun yang
      dihitung berada di tahun 1972 yang merupakan tahun kabisat, Maret 31, April 30 =121 hari )
14. Hasilnya adalah 1971 tahun lebih 4 bulan lebih 28 hari atau berarti bertepatan dgn tanggal 28 Mei 1972
      Kesimpulannya tanggal 14 Robi'ul Akhir 1392 H. sama dengan tanggal 28 Mei 1972 M.

SHODAQOH DI HARI KEMATIAN ORANG-ORANG TERCINTA


                      Sudah menjadi tradisi di masyarakat Indonesia terutama orang-orang Jawa menyediakan hidangan bagi orang-orang yang bertakziah dan  bagi para penggali kubur, bahkan di sebagian daerah tidak afdlol rasanya jika kepergian orang tua menghadap Ilahi tidak disertai dengan penyembelihan kambing untuk disedekahkan bagi para pelayat dan penggali kubur menjelang pemberangkatan terakhir atau sesaat setelah mayyit dikuburkan. Jika mereka tidak melakukan hal itu maka akan digunjing oleh para tetangga dan dikatakan tidak berbakti kepada orang tua.
                       Hal ini sering menjadi bahan perbincangan di kalangan orang – orang Islam yang tidak memahami latar belakang kehidupan orang – orang Indonesia dan adat mereka apalagi mereka yang baru getol – getolnya mempelajari ajaran Islam dengan semangat kembali ke Al Qur’an dan Al Hadits. Dengan cepat mereka akan mengatakan haram karena itu adalah bid’ah, karena semua bid’ah itu sesat dan semua yang sesat akan bertempat di neraka. Selalu itu dalil yang dilontarkan guna mengikis adat dan budaya asli Indonesia.
                       Tidak bisa dipungkiri bahwa tradisi menyuguhkan makanan pada waktu kematian orang tua atau kerabat merupakan budaya asli Indonesia, bukan budaya Arab. Tetapi apakah sekejam itu kita memperlakukan tradisi semacam itu dengan kata-kata haram, sesat, atau masuk neraka? Apakah semua yang bukan tradisi Arab itu pasti tidak Islamy? Bagaimanakah sebenarnya cara kita memandang semua itu? Mengapa para penyebar agama Islam di Indonesia  (Wali Songo) membiarkan itu semua tetap berjalan meski dengan memberi sentuhan nilai-nilai Islam ke dalamnya? Hal itu tentu ada penyebabnya, mereka tidak melakukan sesuatu tanpa alasan, kita meyakini hal itu.
                       Mari kita mencoba mengurai benang kusut permasalahan shodaqoh untuk mayyit ini. Apa sebenarnya komentar para ulama’ mengenai hal ini. Salah seorang ‘ulama’ besar Mazhab Syafi’iy yaitu Syech Ibnu Hajar Al Haitamy dalam kitab Al Fatawy al Kubro Juz II halaman 7 cetakan Darul Fikr berpendapat bahwa kebiasaan penduduk menyembelih hewan sembelihan kemudian memasaknya lalu dibawa di belakang mayyit menuju kuburan untuk disedekahkan kepada para penggali kubur, kebiasaan penyediaan makanan pada malam ketiga, malam ketujuh dan pada genap sebulan dengan memberi roti para wanita yang bertakziah dan lain-lain adalah bid’ah yang tercela tetapi tidak sampai haram ( hanya makruh saja ), kecuali jika prosesi penghormatan pada mayyit bertujuan untuk meratapi atau memuji mayyit secara berlebihan. Dan jika prosesi tersebut dilakukan guna menghindari ocehan dan gunjingan orang-orang awam yang memperbincangkan dirinya akibat tidak melakukan tradisi yang umum berlaku maka diharapkan ia akan mendapatkan pahala sebagaimana perintah Nabi Muhammad saw. kepada seseorang yang batal sholatnya karena berhadats untuk menutup hidungnya dengan tangan untuk memberi kesan seolah-olah hidungnya berdarah. Hal ini demi menjaga kehormatan dirinya jika ia berbuat di luar kebiasaan masyarakat.
                       Kemudian sesuai hasil keputusan Muktamar NU pertama di Surabaya pada tanggal 21 Oktober 1926 disebutkan bahwa menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh hukumnya makruh apabila dilakukan dengan cara berkumpul bersama-sama pada hari-hari tertentu. Tetapi kemakruhan tersebut tidak sampai menghilangkan pahala shodaqoh. Dasar pengambilan hukum makruh dan tetapnya pahala ini bisa dilihat dalam kitab I’anatut Tholibin Juz II halaman 145.
                       Dari pandangan para ulama’ tersebut kita bisa melihat bahwa yang menjadi penyebab kemakruhan adalah berkumpul-kumpul di hari-hari tertentu yang dianggap menyerupai meratapi mayyit. Jadi apabila hal tersebut justru menghibur dan menenangkan hati keluarga yang ditinggalkan si mayyit tentu tidak bisa dikatakan meratapi bahkan sesuai tujuan takziah yang secara bahasa bermakna menghibur hati. Dalam hal sampainya pahala shodaqoh mungkin kita pernah mendengar sebuah hadits yang disebutkan dalam Shahih Tirmidzy Juz III halaman 127 yang berbunyi :
روى ابن عباس أنّ رجلا قال لرسول الله صلى الله عليه وسلّم : إنّ أمّى قد توفيت أينفعها إن أتصدق عنها ؟ فقال نعم . قال فإنّ لى مخرفا فأشهدك أنّى قد تصدّقت بها عنها .
Artinya : Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa ada seorang lelaki berkata kepada Rosululloh saw. : “Ibu saya telah meninggal, apakah bermanfaat baginya apabila saya bersedekah atas namanya ?” Beliau bersabda : “ Ya “. Orang tersebut berkata : “ Bahwasannya saya memiliki sebuah kebun. Maka aku persaksikan kepada Tuan bahwa kebun saya itu telah saya sedekahkan atas nama ibu saya”.
                       Marilah kita mencoba untuk merenungi apa yang telah disampaikan para ulama’ di atas dan mari kita mencoba untuk berbuat dan bertindak searif mungkin dengan apa yang ada di sekitar kita. Karena hanya Allah sajalah yang tahu apa yang menjadi tujuan dari tindakan seseorang. Jangan kita berbicara secara subyektif, hanya dengan memandang apa yang menurut kita benar tanpa melihat pendapat orang lain dan kondisi permasalahan yang ada di sekitar kita tersebut. Ini sekedar pendapat, bila hal itu dipandang baik maka wajib disyukuri tetapi bila dianggap buruk maka silakan berbeda pendapat atau meluruskan apa yang ada dalam tulisan dengan arif.