Sabtu, 21 Desember 2019

Cara Membuat Pupuk Trichoderma dengan Mudah di Rumah

Jika kamu selalu bergelut dibidang pertanian pasti tidak asing dengan berbagai macam pupuk dan fungsinya. Salah satu jenis pupuk yang sering digunakan adalah fungisida atau pembasmi khusus hama jamur. Ada beragam jenis fungisida yang berkembang mulai dari yang alami sampai kimia. Kebanyakan orang lebih memilih pembasmi alami karena efeknya yang tidak berlanjut parah pada tanamannya.
Namun, kelemahannya adalah reaksi yang lebih lama pada hama yang berkembang di tanaman. Namun, jika pemakaiannya teratur dan bertahap, pastinya hasil akan memuaskan.
Pupuk Trichoderma merupakan salah satu jenis pupuk berbentuk jamur yang kini dikembangbiakkan untuk membasmi jenis hama jamur. Dengan kata lain, membasmi jamur dengan jamur. Ya, Trichoderma merupakan jenis antifungal atau jamur yang memiliki sifat antagonis dengan jamur patogen lain seperti Fusarium monilifome, Rizoctonia solani, Fusarium oxysporum, Rigdiforus lignosus, dan masih bnyak lagi.
Perlu kamu tahu jika jenis jamur Fusarium merupakan jenis jamur patogen yang sulit diatasi dengan bahan aktif fungisida lain. Namun dengan adanya agen hayati berupa Trichoderma ini, perkembangan Fusarium sudah bisa dihambat.
Tentang Trichoderma
Jamur Trichoderma merupakan salah satu fungi atau cendana yang berada dalam kelas Ascomycetes. Kamu bisa menemukanfungi ini di dalam tanah hutan ataupun tanah pertanian dan juga unggul kayu. Trichoderma mampu hidup dengan baik dalam suhu 6 derajat Celcius sampai dengan 41 derajat Celcius. Selain itu pH yang dibutuhkan untuk tumbuh dari angka 3 sampai 7. Sama halnya dengan fungi lainnya, Trichoderma mampu berkembangbiak menggunakan spora atau konidia. Pada umumnya untuk mengembangbiakkan jamur ini perlu perhatian yang sangat intens.
Mulai dari kondisi ruangan sekitar yang harus terhindari dari sinar matahari dan suasana yang harus bersih. Jamur Trichoderma akan terlihat tumbuh apabila usianya mencapai 1 sampai 2 minggu. Jamur Trichoderma yang telah berhasil tumbuh pada media beras dan sekam sudah bisa untuk dibiakan pada media tanah. Nama jamur Trichoderma yang tumbuh di media beras dan sekam disebut juga starter beras.
Langkah Pembuatan Bibit Trichoderma
Setiap pupuk punya cara khusus tersendiri untuk proses pembuatannya. Begitupula dengan cara membuat pupuk booster lengkengcara membuat pupuk ajaib ala haji engcara membuat pupuk AB mix sendiri ramah lingkungancara membuat pupuk enceng gondok dirumah, sampai cara membuat pupuk hayati biofertilizer di rumah. Kali ini, kita akan membahas dengan detail mengenai cara membuat bibit trichoderma dengan mudah di rumah sendiri.
Namun, perlu kamu ketahui jika kamu tak ingin repot membuat fungisida Trichoderma, bibit ini sudah banyak dijual di pasaran dengan harga yang cukup mahal sekitar 100 ribu sampai dengan 200 ribu perbotol. Maka dari itu, tak ada salahnya bukan mengirit biaya dengan membuat fungisida Trichoderma sendiri?
Bahan-bahan Pembuatan Fungisida Trichoderma
Sebelum memulai proses pembuatan Trichoderma, siapkan terlebih dulu bahan-bahan yang diperlukan.
  1. Nasi basi sebanyak 1 sampai 2 mangkok. Ukuran mangkok bisa kamu sesuaikan dengan kebutuhanmu. Nasi basi ini sebagai media tempat pertumbuhan jamur Trichoderma.
  2. Bambu 3 ruas. Perlu diketahui jika rekomendasi bambu baru yang baru ditebang lebih baik daripada yang sudah lama.
  3. Tali atau karet untuk pengikat
  4. Alkohol dengan kadar 70 persen, bisa kamu dapatkan di apotek terdekat
  5. Kain bersih
  6. Sendok bersih
  7. Toples Bersih
Cara Pembuatan Jamur Trichoderma sebagai Fungisida
Inilah Cara Membuat Pupuk Trichoderma:
  1. Langkah pertama yang perlu kamu lakukan untuk proses pembuatan jamur Trichoderma adalah dengan menyiapkan bambu sepanjang tiga ruas. Bambu tiga ruas tersebut akan dijadikan sebagai tempat nasi khusus dibagian tengahnya saja. Sedangkan untuk bagian pinggir dibiarkan saja sisa sekitar 10 cm saja.
  2. Selanjutnya belah bambu tersebut menjadi 2 bagian. Lalu, lubangi bagian kanan kiri ruas bambu tersebut sebesar jari kelingking.
  3. Setelah itu, bersihkan bagian dalam bambu sampai benar-benar bersih. Jika perlu, aliri bagian tersebut dengan air yang mengalir. Setelah itu, bersihkan bagian dalam bambu menggunakan kain yang sudah dibasahi oleh alkohol 70 persen.
  4. Langkah selanjutnya yaitu mengisi bagian dalam belahan bambu dengan nasi yang telah basi. Atau jika tidak punya, pastikan saja nasi tersebut telah kamu biarkan selama 1 hari 1 malam.
  5. Jika sudah, satukan belahan bambu tersebut dengan menggunakan tali plastik atau karet sampai benar-benar rapat.
  6. Lanjut, kubur bambu tersebut di hutan atau bawah pohon yang memiliki tanah humus dengan kedalaman 10 sampai dengan 20 cm. Lalu, tutup kembali bambu tersebut dengan tanah. Ingat, untuk memudahkan dalam pengambilan, berilah tanda pada bagian tanah tersebut.
  7. Untuk mendapatkan jamur Trichoderma, biarkan bambu beserta isinya tersebut selama kurang lebih 10 hari. Baru setelah itu, kamu bisa mengambilnya. Perhatikan dengan baik apakah terdapat jamur berwarna putih mirip kapas atau tidak disekitar nasi basi tersebut. Jika iya, maka kamu telah berhasil mendapatkan miselium Trichoderma. Miselium inilah yang nantinya akan tumbuh dan berkembang menjadi jamur berwarna hijau, Trichoderma.
  8. Masukkan isi bambu pada toples yang sudah dibersihkan dengan alkohol 70 persen menggunakan sendok yang juga telah disterilkan. Kemudian, tutup secara rapat supaya miselium tersebut mampu tumbuh menjadi jamur hijau. Jamur hijau itulah yang kemudian disebut Trichoderma F0 atau bibit Trichoderma.
  9. Selanjutnya, kamu bisa mengembangbiakkan Trichoderma F0 menjadi Trichoderma F1, F2, F3, dan seterusnya. Perlu kamu tahu jika F1 merupakan hasil anakan dari F0, F2 hasil anakan dari F1 dan seterusnya.
Cara membuat pupuk Trichoderma di atas merupakan salah satu dari cara membuat bibit Trichoderma menggunakan nasi basi. Kamu juga bisa mendapatkan bibit Trichoderma menggunakan cara lain seperti induk jamur Trichoderma dengan media tumbuh yang sama yaitu nasi steril.
Nah, itu dia cara mudah untuk mendapatkan bibit Trichoderma sendiri di rumah. Kamu bisa mengembangbiarkkan dalam jumlah yang lebih banyak untuk bisa diperjualbelikan. Namun, pastikan dulu jika kualitas fungisida tersebut baik. Jika sudah, silakan mengaplikasikan fungisida tersebut pada tanaman yang diserang hama jamur dan lihat bagaimana hasilnya.

Sabtu, 02 November 2019

Permasalahan Seputar Cadar

Persoalan memakai cadar (niqab) bagi perempuan sebenarnya adalah masalah yang masih diperselisihkan oleh para pakar hukum Islam. Karena keterbatasan ruang dan waktu kami tidak akan menjelaskan secara detail mengenai perbedaan tersebut. Kami hanya akan menyuguhkan secara global sebagaimana yang didokumentasikan dalam kitab Al-Mawsu’atul Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah. Menurut madzhab Hanafi, di zaman sekarang perempuan yang masih muda (al-mar`ah asy-syabbah) dilarang membuka wajahnya di antara laki-laki. Bukan karena wajah itu termasuk aurat, tetapi lebih untuk menghindari fitnah.
 فَذَهَبَ جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ ( الْحَنَفِيَّةُ وَالْمَالِكِيَّةُ وَالشَّافِعِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ ) إِلَى أَنَّ الْوَجْهَ لَيْسَ بِعَوْرَةٍ ، وَإِذَا لَمْ يَكُنْ عَوْرَةً فَإِنَّهُ يَجُوزُ لَهَا أَنْ تَسْتُرَهُ فَتَنْتَقِبَ ، وَلَهَا أَنْ تَكْشِفَهُ فَلاَ تَنْتَقِبَ .قَال الْحَنَفِيَّةُ : تُمْنَعُ الْمَرْأَةُ الشَّابَّةُ مِنْ كَشْفِ وَجْهِهَا بَيْنَ الرِّجَال فِي زَمَانِنَا ، لاَ لِأَنَّهُ عَوْرَةٌ  بَل لِخَوْفِ الْفِتْنَةِ
Artinya, “Mayoritas fuqaha (baik dari madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) berpendapat bahwa wajah bukan termasuk aurat. Jika demikian, wanita boleh menutupinya dengan cadar dan boleh membukanya. Menurut madzhab Hanafi, di zaman kita sekarang wanita muda (al-mar`ah asy-syabbah) dilarang memperlihatkan wajah di antara laki-laki. Bukan karena wajah itu sendiri adalah aurat tetapi lebih karena untuk mengindari fitnah,” (Lihat Al-Mawsu’atul Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Kuwait-Wizaratul Awqaf was Syu’unul Islamiyyah, juz XLI, halaman 134). Berbeda dengan madzhab Hanafi, madzhab Maliki menyatakan bahwa makruh hukumnya wanita menutupi wajah baik ketika dalam shalat maupun di luar shalat karena termasuk perbuatan berlebih-lebihan (al-ghuluw). Namun di satu sisi mereka berpendapat bahwa menutupi dua telapak tangan dan wajah bagi wanita muda yang dikhawatirkan menimbulkan fitnah, ketika ia adalah wanita yang cantik atau dalam situasi banyak munculnya kebejatan atau kerusakan moral.
وَقَال الْمَالِكِيَّةُ : يُكْرَهُ انْتِقَابُ الْمَرْأَةِ - أَيْ : تَغْطِيَةُ وَجْهِهَا ،وَهُوَ مَا يَصِل لِلْعُيُونِ - سَوَاءٌ كَانَتْ فِي صَلاَةٍ أَوْ فِي غَيْرِهَا ، كَانَ الاِنْتِقَابُ فِيهَا لِأجْلِهَا أَوْ لاَ ، لِأَنَّهُ مِنَ الْغُلُوِّ.وَيُكْرَهُ النِّقَابُ لِلرِّجَال مِنْ بَابِ أَوْلَى إِلاَّ إِذَا كَانَ ذَلِكَ مِنْ عَادَةِ قَوْمِهِ ، فَلاَ يُكْرَهُ إِذَا كَانَ فِي غَيْرِ صَلاَةٍ ، وَأَمَّا فِي الصَّلاَةِ فَيُكْرَهُ .وَقَالُوا : يَجِبُ عَلَى الشَّابَّةِ مَخْشِيَّةِ الْفِتْنَةِ سَتْرٌ حَتَّى الْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ إِذَا كَانَتْ جَمِيلَةً ، أَوْ يَكْثُرُ الْفَسَادُ.
Artinya, “Madzhab Maliki berpendapat bahwa dimakruhkan wanita memakai cadar—artinya menutupi wajahnya sampai mata—baik dalam shalat maupun di luar shalat atau karena melakukan shalat atau tidak karena hal itu termasuk berlebihan (ghuluw). Dan lebih utama cadar dimakruhkan bagi laki-laki kecuali ketika hal itu merupakan kebiasaan yang berlaku di masyarakatnya, maka tidak dimakruhkan ketika di luar shalat. Adapun dalam shalat maka dimakruhkan. Mereka menyatakan bahwa wajib menutupi kedua telapak tangan dan wajah bagi perempuan muda yang dikhawatirkan bisa menimbulkan fitnah, apabila ia adalah wanita yang cantik, atau maraknya kebejatan moral,” (Lihat Al-Mawsu’atul Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Kuwait-Wizaratul Awqaf was Syu’unul Islamiyyah, juz, XLI, halaman 134). Sedangkan di kalangan madzhab Syafi’i sendiri terjadi silang pendapat. Pendapat pertama menyatakan bahwa memakai cadar bagi wanita adalah wajib. Pendapat kedua adalah sunah, sedang pendapat ketiga adalah khilaful awla, menyalahi yang utama karena utamanya tidak bercadar.
 وَاخْتَلَفَ الشَّافِعِيَّةُ فِي تَنَقُّبِ الْمَرْأَةِ ، فَرَأْيٌ يُوجِبُ النِّقَابَ عَلَيْهَا ، وَقِيل : هُوَ سُنَّةٌ ، وَقِيل : هُوَ خِلاَفُ الأَوْلَى
Artinya, “Madzhab Syafi’i berbeda pendapat mengenai hukum memakai cadar bagi perempuan. Satu pendapat menyatakan bahwa hukum mengenakan cadar bagi perempuan adalah wajib. Pendapat lain (qila) menyatakan hukumnya adalah sunah. Dan ada juga yang menyatakan khilaful awla,” (Lihat Al-Mawsu’atul Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, Kuwait-Wizaratul Awqaf was Syu’unul Islamiyyah, juz, XLI, halaman 134). Poin penting yang ingin kami katakan dalam tulisan ini adalah bahwa persoalan hukum memakai cadar bagi wanita ternyata merupakan persoalan khilafiyah. Bahkan dalam madzhab Syafi’i sendiri yang dianut mayoritas orang NU terjadi perbedaan dalam menyikapinya. Meskipun harus diakui bahwa pendapat yang mu’tamad dalam dalam madzhab Syafi’i adalah bahwa aurat perempuan dalam konteks yang berkaitan dengan pandangan pihak lain (al-ajanib) adalah semua badannya termasuk kedua telapak tangan dan wajah. Konsekuensinya adalah ia wajib menutupi kedua telapak tangan dan memakai cadar untuk menutupi wajahnya.
أَنَّ لَهَا ثَلَاثُ عَوْرَاتٍ عَوْرَةٌ فِي الصَّلَاِة وَهُوَ مَا تَقَدَّمَ، وَعَوْرَةٌ بِالنِّسْبَةِ لِنَظَرِ الْاَجَانِبِ إِلَيْهَا جَمِيعُ بَدَنِهَا حَتَّى الْوَجْهِ وَالْكَفَّيْنِ عَلَى الْمُعْتَمَدِ
“Bahwa perempuan memiliki tiga uarat. Pertama, aurat dalam shalat dan hal ini telah dijelaskan. Kedua aurat yang terkait dengan pandangan orang lain kepadanya, yaitu seluruh badannya termasuk wajah dan kedua telapak tangannya menurut pendapat yang mu’tamad...” (Lihat Abdul Hamid asy-Syarwani, Hasyiyah asy-Syarwani, Bairut-Dar al-Fikr, juz, II, h. 112) Namun menurut hemat kami, pendapat yang menyatakan wajib memakai cadar bagi wanita jika dipaksakan di Indonesia akan mengalami banyak kendala. Toh faktanya masalah cadar adalah masalah yang diperselisihkan oleh para fuqaha`. Dan NU sendiri bukan hanya mengakui madzhab syafi’i tetapi juga mengakui ketiga madzhab fikih yang lain, yaitu hanafi, maliki, dan hanbali. Jadi yang diperlukan adalah kearifan dalam melihat perbedaan pandangan tentang cadar. Menurut hemat kami, perbedaan pendapat tersebut tidak perlu dipertentangkan dan dibenturkan. Tetapi harus dibaca sesuai konteksnya masing-masing. Demikian jawaban singkat yang dapat kami kemukakan. Semoga bisa dipahami dengan baik. Kami selalu terbuka untuk menerima saran dan kritik dari para pembaca.

Walloohu a'lam bish showab

Minggu, 22 September 2019

Aturan Fiqih tentang Janin yang Meninggal dalam Kandungan

Setiap makhluk yang bernyawa pasti akan merasakan kematian, sebuah peristiwa berpisahnya ruh dengan jasad. Kedatangannya begitu mengejutkan serta tak memandang sosok dan usia. Kapan pun ajal mereka datang, tak ada yang bisa mengundurnya sedetik pun. Begitu pun tatkala ajal mereka belum saatnya, tak ada yang bisa memajukannya walau sesaat.         

Sebagaimana diketahui bersama, ada empat kewajiban utama orang hidup terhadap orang yang telah meninggal: memandikan, mengafani, menshalatkan, dan menguburkan. Pertanyaannya, bagaimana jika yang meninggal adalah janin, baik meninggalnya sebelum lahir, setelah lahir, atau sesaat setelah lahir? Apa saja kewajiban orang hidup terhadapnya?
Lantas bagaimana pula jika yang meninggal dunia adalah ibu sang janin. Apakah janinnya boleh dikeluarkan? Apakah jenazah ibunya bisa langsung dikebumikan atau menunggu sang janin turut meninggal? Bolehkan ada tindakan yang mempercepat kematian sang janin? 

Sesungguhnya, masalah ini telah menjadi sorotan para ulama fiqih, khususnya para ulama Syafi‘iyyah. Salah satunya adalah Syekh Zainuddil al-Malaibari. Dalam kitabnya, Fath al-Mu‘in (Terbitan Dar Ihya al-Kutub al-‘Araiyyah, hal. 46), ia mengungkapkan: 

ووري أي ستر بخرقة سقط ودفن وجوبا كطفل كافر نطق بالشهادتين. ولا يجب غسلهما بل يجوز. وخرج بالسقط العلقة والمضغة فيدفنان ندبا من غير ستر ولو انفصل بعد أربعة أشهر غسل وكفن ودفن وجوبا. فإن اختلج أو استهل بعد انفصاله صلي عليه وجوبا.

Artinya, “Dan harus dibungkus—maksudnya ditutup—dengan kain serta wajib dikubur mayat janin yang lahir keguguran. Sama halnya dengan mayat anak kecil kafir yang mengucap dua kalimat syahadat. Namun, mayat janin keguguran dan anak kecil kafir itu tidak wajib dimandikan, hanya saja boleh jika mau dimandikan. Dikecualikan dari janin yang keguguran adalah gumpalan darah atau gumpalan daging (calon janin) yang keguguran. Maka keduanya sunnah dikuburkan tanpa harus dibungkus. Namun, bila janin yang keguguran itu telah berusia empat bulan, maka ia wajib dimandikan, dikafani, dan dikebumikan. Berbeda halnya jika setelah keluar sang janin bergerak atau bersuara, maka ia wajib dishalatkan (selain dimandikan, dikafani, dan dikebumikan).” 

Dalam kitab yang sama, Fath al-Mu‘in (Terbitan Daru Ihya al-Kutu al-‘Araiyyah, hal. 46), Syekh Zainuddin al-Malaibari menjelaskan perihal wanita yang meninggal dalam keadaan mengandung. 

ولا تدفن امرأة ماتت في بطنها جنين حتى يتحقق موته أي الجنين ويجب شق جوفها والنبش له إن رجي حياته بقول القوابل لبلوغه ستة أشهر فأكثر فإن لم يرج حياته حرم الشق لكن يؤخر الدفن حتى يموت.

Artinya, “Tidaklah dikebumikan jenazah wanita yang di dalam perutnya masih ada janin, sampai janin itu benar-benar meninggal. Bahkan, wajib membedah perutnya dan menggali kuburannya (jika telah dikuburkan) tatkala sang janin dalam perutnya diharapkan bisa hidup menurut pendapat para dukun bayi/bidan ahli karena telah berusia enam bulan atau lebih. Namun, jika sang janin tidak diharapkan bisa hidup, maka haram membedahnya, sehingga tunggulah proses penguburannya sampai si janin benar-benar meninggal.” 

Dari petikan tentang janin keguguran dan wanita hamil yang meninggal di atas, dapat ditarik sejumlah kesimpulan:

1. Janin yang keguguran dan masih berupa gumpalan darah dan gumpalan daging, sunnah dikuburkan, tidak wajib dibungkus, tidak wajib dimandikan, tidak wajib dishalatkan.   

2. Jika sang janin yang keguguran sebelumnya tidak terlihat hidup, tidak pula terlihat ada tanda-tanda kehidupan, tidak pula tampak rupa dan kesempurnaan fisiknya, maka ia tidak wajib dimandikan dan tidak wajib dishalatkan. Namun, sunnah dibungkus dengan kain dan wajib dikuburkan.

3. Jika sang janin yang keguguran tidak terlihat hidup, tidak pula terlihat tanda-tanda hidup, namun tampak rupa dan kesempurnan fisiknya, terlebih usianya di atas empat bulan, maka jenazahnya wajib dimandikan, dikafani, dan dikuburkan, namun tidak wajib dishalatkan.

4. Jika janin yang keguguran sebelumnya terlihat hidup, tampak pula tanda-tanda kehidupannya, seperti menangis, bergerak, menjerit, menggigil, dan sebagainya, sesaat setelah dilahirkan, maka jenazahnya wajib dimandikan, dikafani, dishalatkan, dan dikuburkan, layaknya orang dewasa, walaupun saat keguguran usianya masih di bawah empat bulan, sebagaimana yang diungkap oleh Syekh Nawawi dalam Nihayah al-Zain (Terbitan Dar al-Fikr, Beirut, Cet. Pertama, hal. 156).

5. Wajib hukumnya membedah perut jenazah wanita yang di dalamnya ada janin, dengan catatan sang sanin diharapkan bisa hidup berdasarkan hasil pemeriksaan dukun bayi, bidan, dokter, atau petugas medis lain, terlebih usia kehamilan telah mencapai enam bulan atau lebih. 

6. Jika janin yang ada dalam rahim sang ibu tidak diharapkan bisa hidup, maka haram membedahnya. Tunggulah sampai ia benar-benar meninggal, sementara penguburan jenazah ibunya ditangguhkan.

7. Walau sang janin tidak dikeluarkan dari perut ibunya karena tidak memungkinkan untuk hidup, tetapi kematiannya tidak boleh dipercepat, seperti perut ibunya dibebani benda tertentu dan sebagainya. Wallahu a’lam.

Sabtu, 24 Agustus 2019

Biografi KH Hasyim Al Asy’ari Pendiri Nahdlatul Ulama (NU)



KH Hasyim Al Asy’ari adalah seorang ulama pendiri Nahdlatul Ulama (NU), organisasi kemasyarakatan terbesar di Indonesia. Ia juga pendiri pesantren Tebuireng, Jawa Timur dan dikenal sebagai tokoh pendidikan pembaharu pesantren. Selain mengajarkan agama dalam pesantren, ia juga mengajar para santri membaca buku-buku pengetahuan umum, berorganisasi, dan berpidato.

Biografi KH Hasyim Al Asy’ari dari Biografi Web

Karya dan jasa Kiai Hasyim Asy’ari yang lahir di Pondok Nggedang, Jombang, Jawa Timur, 10 April 1875 tidak lepas dari nenek moyangnya yang secara turun-temurun memimpin pesantren. Ayahnya bernama Kiai Asyari, pemimpin Pesantren Keras yang berada di sebelah selatan Jombang. Ibunya bernama Halimah. Dari garis ibu, Kiai Hasyim Asy’ari merupakan keturunan Raja Brawijaya VI, yang juga dikenal dengan Lembu Peteng, ayah Jaka Tingkir yang menjadi Raja Pajang (keturunan kedelapan dari Jaka Tingkir).

Kelahiran Dan Masa Kecil

Tidak jauh dari jantung kota Jombang ada sebuah dukuh yang bernama Ngedang Desa Tambak Rejo yang dahulu terdapat Pondok Pesantren yang konon pondok tertua di Jombang, dan pengasuhnya Kiai Usman. Beliau adalah seorang kiai besar, alim dan sangat berpengaruh, istri beliau Nyai Lajjinah dan dikaruniai enam anak:
  1. Halimah (Winih)
  2. Muhammad
  3. Leler
  4. Fadli
  5. Arifah
Halimah kemudian dijodohkan dengan seorang santri ayahandanya yang bernama Asy’ari, ketika itu Halimah masih berumur 4 tahun sedangkan Asy’ari hampir beruisa 25 tahun. Mereka dikarunia 10 anak:
  1. Nafi’ah
  2. Ahmad Saleh
  3. Muhammad Hasyim
  4. Radiyah
  5. Hasan
  6. Anis
  7. Fatonah
  8. Maimunah
  9. Maksun
  10. Nahrowi, dan
  11. Adnan.
Muhammad Hasyim, lahir pada hari Selasa Tanggal 24 Dzulqo’dah 1287 H, bertepatan dengan tanggal 14 Pebruari 1871 M. Masa dalam kandungan dan kelahiran KH.M. Hasyim Asy’ari, nampak adanya sebuah isyarat yang menunjukkan kebesarannya. diantaranya, ketika dalam kandungan Nyai Halimah bermimpi melihat bulan purnama yang jatuh kedalam kandungannya, begitu pula ketika melahirkan Nyai Halimah tidak merasakan sakit seperti apa yang dirasakan wanita ketika melahirkan.
Di masa kecil beliau hidup bersama kakek dan neneknya di Desa Ngedang, ini berlangsung selama enam tahun. Setelah itu beliau mengikuti kedua orang tuanya yang pindah ke Desa Keras terletak di selatan kota Jombang dan di desa tersebut Kiai Asy’ari mendirikan pondok pesantren yang bernama Asy’ariyah.
Principle of early learning, mungkin teori ini layak disandang oleh beliau, berdasarkan kehidupan beliau yang mendukung yaitu hidup dilingkungan pesantren, sehingga wajar kalau nilai-nilai pesantren sangat meresap pada dirinya, begitu pula nilai-nilai pesantren dapat dilihat bagaimana ayahanda dan bundanya memberikan bimbingan kepada santri, dan bagaimana para santri hidup dengan sederhana penuh dengan keakraban dan saling membantu..

Belajar Pada Keluarga

Perjalanan keluarga beliau pulalah yang memulai pertama kali belajar ilmu-ilmu agama baik dari kakek dan neneknya. Desa Keras membawa perubahan hidup yang pertama kali baginya, disini mula-mula ia menerima pelajaran agama yang luas dari ayahnya yang pada saat itu pendiri dan pengasuh Pondok Pesantren Asy’ariyah. Dengan modal kecerdasan yang dimiliki dan dorongan lingkungan yang kondusif, dalam usia yang cukup muda, beliau sudah dapat memahami ilmu-ilmu agama, baik bimbingan keluarga, guru, atau belajar secara autodidak. Ketidakpuasannya terhadap apa yang sudah dipelajari, dan kehausan akan mutiara ilmu, membuatnya tidak cukup hanya belajar pada lingkungan keluarganya. Setelah sekitar sembilan tahun di Desa Keras (umur 15 tahun) yakni belajar pada keluarganya, beliau mulai melakukan pengembaraanya menuntut ilmu.

Mengembara ke Berbagai Pesantren

Dalam usia 15 tahun, perjalanan awal menuntut ilmu, Muhammad Hasyim belajar ke pondok-pondok pesantren yang masyhur di tanah Jawa, khususnya Jawa Timur. Di antaranya adalah Pondok Pesantren Wonorejo di Jombang, Wonokoyo di Probolinggo, Tringgilis di Surabaya, dan Langitan di Tuban (sekarang diasuh oleh K.H Abdullah Faqih), kemudian Bangkalan, Madura, di bawah bimbingan Kiai Muhammad Khalil bin Abdul Latif (Syaikhuna Khalil).
Ada cerita yang cukup mengagumkan tatkala KH.M. Hasyim Asy’ari “ngangsu kawruh” dengan Kiai Khalil. Suatu hari, beliau melihat Kiai Khalil bersedih, beliau memberanikan diri untuk bertanya. Kiai Khalil menjawab, bahwa cincin istrinya jatuh di WC, Kiai Hasyim lantas usul agar Kiai Khalil membeli cincin lagi. Namun, Kiai Khalil mengatakan bahwa cincin itu adalah cincin istrinya. Setelah melihat kesedihan di wajah guru besarnya itu, Kiai Hasyim menawarkan diri untuk mencari cincin tersebut didalam WC. Akhirnya, Kiai Hasyim benar-benar mencari cincin itu didalam WC, dengan penuh kesungguhan, kesabaran, dan keikhlasan, akhirnya Kiai Hasyim menemukan cincin tersebut. Alangkah bahagianya Kiai Khalil atas keberhasilan Kiai Hasyim itu. Dari kejadian inilah Kiai Hasyim menjadi sangat dekat dengan Kiai Khalil, baik semasa menjadi santrinya maupun setelah kembali ke masyarakat untuk berjuang. Hal ini terbukti dengan pemberian tongkat saat Kiai Hasyim hendak mendirikan Jam’iyah Nahdlatul Ulama’ yang dibawa KH. As’ad Syamsul Arifin (pengasuh Pondok Pesantren Syafi’iyah Situbondo).
Setelah sekitar lima tahun menuntut ilmu di tanah Madura (tepatnya pada tahun 1307 H/1891 M), akhirnya beliau kembali ke tanah Jawa, belajar di pesantren Siwalan, Sono Sidoarjo, dibawah bimbingan K. H. Ya’qub yang terkenal ilmu nahwu dan shorofnya. Selang beberapa lama, Kiai Ya’qub semakin mengenal dekat santri tersebut dan semakin menaruh minat untuk dijadikan menantunya.
Pada tahun 1303 H/1892 M., Kiai Hasyim yang saat itu baru berusia 21 tahun menikah dengan Nyai Nafisah, putri Kiai Ya’qub. Tidak lama setelah pernikahan tersebut, beliau kemudian pergi ke tanah suci Mekah untuk menunaikan ibadah haji bersama istri dan mertuanya. Disamping menunaikan ibadah haji, di Mekah beliau juga memperdalam ilmu pengetahuan yang telah dimilkinya, dan menyerap ilmu-ilmu baru yang diperlukan. Hampir seluruh disiplin ilmu agama dipelajarinya, terutama ilmu-ilmu yang berkaitan dengan hadits Rasulullah SAW yang menjadi kegemarannya sejak di tanah air.
Perjalanan hidup terkadang sulit diduga, gembira dan sedih datang silih berganti.demikian juga yang dialami Kiai Hasyim Asy’ari di tanah suci Mekah. Setelah tujuh bulan bermukim di Mekah, beliau dikaruniai putra yang diberi nama Abdullah. Di tengah kegembiraan memperoleh buah hati itu, sang istri mengalami sakit parah dan kemudian meninggal dunia. empat puluh hari kemudian, putra beliau, Abdullah, juga menyusul sang ibu berpulang ke Rahmatullah. Kesedihan beliau yang saat itu sudah mulai dikenal sebagai seorang ulama, nyaris tak tertahankan. Satu-satunya penghibur hati beliau adalah melaksanakan thawaf dan ibadah-ibadah lainnya yang nyaris tak pernah berhenti dilakukannya. Disamping itu, beliau juga memiliki teman setia berupa kitab-kitab yang senantiasa dikaji setiap saat. Sampai akhirnya, beliau meninggalkan tanah suci, kembali ke tanah air bersama mertuanya.

Kematangan Ilmu di Tanah Suci

Kerinduan akan tanah suci rupanya memanggil beliau untuk kembali lagi pergi ke kota Mekah. Pada tahun 1309 H/1893 M, beliau berangkat kembali ke tanah suci bersama adik kandungnya yang bernama Anis. Kenangan indah dan sedih teringat kembali tatkala kaki beliau kembali menginjak tanah suci Mekah. Namun hal itu justru membangkitkan semangat baru untuk lebih menekuni ibadah dan mendalami ilmu pengetahuan. Tempat-tempat bersejarah dan mustajabah pun tak luput dikunjunginya, dengan berdoa untuk meraih cita-cita, seperti Padang Arafah, Gua Hira’, Maqam Ibrahim, dan tempat-tempat lainnya. Bahkan makam Rasulullah SAW di Madinah pun selalu menjadi tempat ziarah beliau. Ulama-ulama besar yang tersohor pada saat itu didatanginya untuk belajar sekaligus mengambil berkah, di antaranya adalah Syaikh Su’ab bin Abdurrahman, Syaikh Muhammad Mahfud Termas (dalam ilmu bahasa dan syariah), Sayyid Abbas Al-Maliki al-Hasani (dalam ilmu hadits), Syaikh Nawawi Al-Bantani dan Syaikh Khatib Al-Minang Kabawi (dalam segala bidang keilmuan).
Upaya yang melelahkan ini tidak sia-sia. Setelah sekian tahun berada di Mekah, beliau pulang ke tanah air dengan membawa ilmu agama yang nyaris lengkap, baik yang bersifat ma’qul maupun manqul, seabagi bekal untuk beramal dan mengajar di kampung halaman.

Mendirikan Pondok Pesantren Tebuireng

Sepulang dari tanah suci sekitar Tahun1313 H/1899 M, beliau memulai mengajar santri, beliau pertama kali mengajar di Pesantren Ngedang yang diasuh oleh mediang kakeknya, sekaligus tempat dimana ia dilahirkan dan dibesarkan. Setelah itu belaiu mengajar di Desa Muning Mojoroto Kediri. Disinilah beliau sempat menikahi salah seoarang putri Kiai Sholeh Banjar Melati. Akungnya, karena berbagai hal, pernikahan tersebut tidak berjalan lama sehingga Kiai Hasyim kembali lagi ke Jombang.
Ketika telah berada di Jombang beliau berencana membangun sebuah pesantren yang dipilihlah sebuah tempat di Dusun Tebuireng yang pada saat itu merupakan sarang kemaksiatan dan kekacauan. Pilihan itu tentu saja menuai tanda tanaya besar dikalangan masyarakat, akan tetapi semua itu tidak dihiraukannaya.
Nama Tebuireng pada asalnya Kebo ireng (kerbau hitam). Ceritanya, Di dearah tersebut ada seekor kerbau yang terbenam didalam Lumpur, dimana tempat itu banyak sekali lintahnya, ketika ditarik didarat, tubuh kerbau itu sudah berubah warna yang asalnya putih kemerah-merahan berubah menjadi kehitam-hitaman yang dipenuhi dengan lintah. Konon semenjak itulah daerah tadi dinamakan Keboireng yang akhirnya berubah menjadi Tebuireng.
Pada tanggal 26 Robiul Awal 1317 H/1899 M, didirikanlah Pondok Pesantren Tebuireng, bersama rekan-rekan seperjuangnya, seperti Kiai Abas Buntet, Kiai Sholeh Benda Kereb, Kiai Syamsuri Wanan Tara, dan beberapa Kiai lainnya, segala kesuliatan dan ancaman pihak-pihak yang benci terhadap penyiaran pendidikan Islam di Tebuireng dapat diatasi.
KH. M. Hasyim Asya’ri memulai sebuah tradisi yang kemudian menjadi salah satu keistimewaan beliau yaitu menghatamkan kitab shakhihaini “Al-Bukhori dan Muslim” dilaksanakan pada setiap bulan suci ramadlan yang konon diikuti oleh ratusan kiai yang datang berbondong-bondong dari seluruh jawa. Tradisi ini berjalan hingga sampai sekarang (penggasuh PP. Tebuireng KH. M.Yusuf Hasyim). Para awalnya santri Pondok Tebuireng yang pertama berjumlah 28 orang, kemudian bertambah hingga ratusan orang, bahkan diakhir hayatnya telah mencapai ribuan orang, alumnus-alumnus Pondok Tebuireng yang sukses menjadi ulama’ besar dan menjadi pejabat-pejabat tinggi negara, dan Tebuireng menjadi kiblat pondok pesantren.

Mendirikan Nahdlatul Ulama’

Disamping aktif mengajar beliau juga aktif dalam berbagai kegiatan, baik yang bersifat lokal atau nasional. Pada tanggal 16 Sa’ban 1344 H/31 Januari 1926 M, di Jombang Jawa Timur didirikanlah Jam’iyah Nahdlotul Ulama’ (kebangkitan ulama) bersama KH. Bisri Syamsuri, KH. Wahab Hasbullah, dan ulama’-ulama’ besar lainnya, dengan azaz dan tujuannya: “Memegang dengan teguh pada salah satu dari madzhab empat yaitu Imam Muhammad bin Idris Asyafi’i, Imam Malik bin Anas, Imam Abu Hanifah An-Nu’am dan Ahmad bin Hambali. Dan juga mengerjakan apa saja yang menjadikan kemaslahatan agama Islam”. KH. Hasyim Asy’ari terpilih menjadi rois akbar NU, sebuah gelar sehingga kini tidak seorang pun menyandangnya. Beliau juga menyusun qanun asasi (peraturan dasar) NU yang mengembangkan faham ahli sunnah waljama’ah.
Nahdlatul ulama’ sebagai suatu ikatan ulama’ seluruh Indonesia dan mengajarkan berjihad untuk keyakinan dengan sistem berorganisasi. Memang tidak mudah untuk menyatukan ulama’ yang berbeda-beda dalam sudut pandangnya, tetapi bukan Kiai Hasyim kalau menyerah begitu saja, bahwa beliau melihat perjuangan yang dilakukan sendiri-sendiri akan lebih besar membuka kesempatan musuh untuk menghancurkannya, baik penjajah atau mereka yang ingin memadamkan sinar dan syi’ar Islam di Indonesia, untuk mengadudomba antar sesama. Beliau sebagai orang yang tajam dan jauh pola pikirnya dalam hal ini, melihat bahaya yang akan dihadapkannya oleh umat Islam, dan oleh karena itu beliau berfikir mencari jalan keluarnya yaitu dengan membentuk sebuah organisasi dengan dasar-dasar yang dapat diterima oleh ulama’ulama lain.
Jam’iyah ini berpegang pada faham ahlu sunnah wal jama’ah, yang mengakomodir pada batas-batas tertentu pola bermadzhab, yang belakangan lebih condong pada manhaj dari pada sekedar qauli. Pada dasawarsa pertama NU berorentasi pada persoalan agama dan kemasyarakatan. Kegiatan diarahkankan pada persoalan pendidikan, pengajian dan tabligh. Namun ketika memasuki dasawarsa kedua orentasi diperluas pada persoalan-persolan nasional. Hal tersebut terkait dengan keberadaannya sebagai anggota federasi Partai dan Perhimpunan Muslim Indonesia (MIAI) NU bahkan pada perjalanan sejarahnya pernah tampil sebagai salah satu partai polotik peserta pemilu, yang kemudian menyatu dengan PPP, peran NU dalam politik praktis ini kemudian diangulir dengan keputusan Muktamar Situbono yanh menghendaki NU sebagai organisasi sosial keagamaan kembali pada khitohnya.

Pejuang Kemerdekaan

Peran KH. M. Hasyim Asy’ari tidak hanya terbatas pada bidang keilmuan dan keagamaan, melainkan juga dalam bidang sosial dan kebangsaan, beliau terlibat secara aktif dalam perjuangan membebaskan bangsa dari penjajah belanda.
Pada tahun 1937 beliau didatangi pimpinan pemerintah belanda dengan memberikan bintang mas dan perak tanda kehormatan tetapi beliau menolaknya. Kemudian pada malam harinya beliau memberikan nasehat kepada santri-santrinya tentang kejadian tersebut dan menganalogkan dengan kejadian yang dialami Nabi Muhammad SAW yang ketika itu kaum Jahiliyah menawarinya dengan tiga hal, yaitu:
  • Kursi kedudukan yang tinggi dalam pemerintahan
  • Harta benda yang berlimpah-limpah
  • Gadis-gadis tercantik
Akan tetapi Nabi SAW menolaknya bahkan berkata: “Demi Allah, jika mereka kuasa meletakkan matahari ditangan kananku dan bulan ditangan kiriku dengan tujuan agar aku berhenti dalam berjuang, aku tidak akan mau menerimanya bahkan nyawa taruhannya”. Akhir KH.M. Hasyim Asy’ari mengakhiri nasehat kepada santri-santrinya untuk selalu mengikuti dan menjadikan tauladan dari perbuat Nabi SAW.
Masa-masa revolusi fisik di Tahun 1940, barang kali memang merupakan kurun waktu terberat bagi beliau. Pada masa penjajahan Jepang, beliau sempat ditahan oleh pemerintah fasisme Jepang. Dalam tahanan itu beliau mengalami penyiksaan fisik sehingga salah satu jari tangan beliau menjadi cacat. Tetapi justru pada kurun waktu itulah beliau menorehkan lembaran dalam tinta emas pada lembaran perjuangan bangsa dan Negara republik Indonesia, yaitu dengan diserukan resolusi jihad yang beliau memfatwakan pada tanggal 22 Oktober 1945, di Surabaya yang lebih dikenal dengan hari pahlawan nasional.
Begitu pula masa penjajah Jepang, pada tahun 1942 Kiai Hasyim dipenjara (Jombang) dan dipindahkan penjara Mojokerto kemudian ditawan di Surabaya. Beliau dianggap sebagai penghalang pergerakan Jepang.
Setelah Indonesia merdeka Pada tahun 1945 KH. M. Hasyim Asy’ari terpilih sebagai ketua umum dewan partai Majlis Syuro Muslimin Indonesia (MASYUMI) jabatan itu dipangkunya namun tetap mengajar di pesantren hingga beliau meninggal dunia pada tahun 1947.

Keluarga Dan Sisilah

Hampir bersamaan dengan berdirinya Pondok Pesantren Tebuireng (1317 H/1899 M), KH. M. Hasyim Asya’ri menikah lagi dengan Nyai Nafiqoh putri Kiai Ilyas pengasuh Pondok Pesantren Sewulan Madiun. Dari perkawinan ini kiai hasyim dikaruniai 10 putra dan putri yaitu:
  1. Hannah
  2. Khoiriyah
  3. Aisyah
  4. Azzah
  5. Abdul Wahid
  6. Abdul hakim (Abdul Kholiq)
  7. Abdul Karim
  8. Ubaidillah
  9. Mashurroh
  10. Muhammad Yusuf.
Menjelang akhir Tahun 1930, KH. M. Hasyim Asya’ri menikah kembali denagn Nyai Masruroh, putri Kiai Hasan, pengasuh Pondok Pesantren Kapurejo, Kecamatan Pagu Kediri, dari pernikahan tersebut, beliua dikarunia 4 orang putra-putri yaitu:
  1. Abdul Qodir
  2. Fatimah
  3. Chotijah
  4. Muhammad Ya’kub
Garis keturunan KH. M. Hasyim Asy’ari (Nenek ke-sembilan )
Muhammad Hasyim bin Asy’ari bin Abdul Wahid (Pangeran Sambo) bin Abdul Halim (Pangeran Benowo) bin Abdul Rahman (Mas Karebet/Jaga Tingkir) yang kemudian bergelar Sultan Hadiwijaya bin Abdullah (Lembu Peteng) yang bergelar Brawijaya VI

Wafatnya Sang Tokoh

Pada Tanggal 7 Ramadhan 1366 M. jam 9 malam, beliau setelah mengimami Shalat Tarawih, sebagaimana biasanya duduk di kursi untuk memberikan pengajian kepada ibu-ibu muslimat. Tak lama kemudian, tiba-tiba datanglah seorang tamu utusan Jenderal Sudirman dan Bung Tomo. Sang Kiai menemui utusan tersebut dengan didampingi Kiai Ghufron, kemudian tamu itu menyampaikan pesan berupa surat. Entah apa isi surat itu, yang jelas Kiai Hasyim meminta waktu semalam untuk berfikir dan jawabannya akan diberikan keesokan harinya.
Namun kemudian, Kiai Ghufron melaporkan situasi pertempuran dan kondisi pejuang yang semakin tersudut, serta korban rakyat sipil yang kian meningkat. Mendengar laporan itu, Kiai Hasyim berkata, “Masya Allah, Masya Allah…” kemudian beliau memegang kepalanya dan ditafsirkan oleh Kiai Ghufron bahwa beliau sedang mengantuk. Sehingga para tamu pamit keluar. Akan tetapi, beliau tidak menjawab, sehingga Kiai Ghufron mendekat dan kemudian meminta kedua tamu tersebut untuk meninggalkan tempat, sedangkan dia sendiri tetap berada di samping Kiai Hasyim Asy’ari. Tak lama kemudian, Kiai Ghufron baru menyadari bahwa Kiai Hasiyim tidak sadarkan diri. Sehingga dengan tergopoh-gopoh, ia memanggil keluarga dan membujurkan tubuh Kiai Hasyim. Pada saat itu, putra-putri beliau tidak berada di tempat, misalnya Kiai Yusuf Hasyim yang pada saat itu sedang berada di markas tentara pejuang, walaupun kemudian dapat hadir dan dokter didatangkan (Dokter Angka Nitisastro).
Tak lama kemudian baru diketahui bahwa Kiai Hasyim terkena pendarahan otak. Walaupun dokter telah berusaha mengurangi penyakitnya, namun Tuhan berkehendak lain pada kekasihnya itu. KH.M. Hasyim Asy’ari wafat pada pukul 03.00 pagi, Tanggal 25 Juli 1947, bertepatan dengan Tanggal 07 Ramadhan 1366 H. Inna LiLlahi wa Inna Ilaihi Raji’un.
Kepergian belaiu ketempat peristirahatan terakhir, diantarkan bela sungkawa yang amat dalam dari hampir seluruh lapisan masyarakat, terutama dari para pejabat sipil maupun militer, kawan seperjuangan, para ulama, warga NU, dan khususnya para santri Tebuireng. Umat Islam telah kehilangan pemimpin besarnya yang kini berbaring di pusara beliau di tenggah Pesantrn Tebuireng. Pada saat mengantar kepergianya, shahabat dan saudara beliau, KH. Wahab hazbulloh, sempat mengemukakan kata sambutan yang pada intinya menjelaskan prinsip hidup belaiu, yakni, “berjuang terus dengan tiada mengenal surut, dan kalau perlu zonder istirahat”.

Karya Kitab Klasik

Peninggalan lain yang sangat berharga adalah sejumlah kitab yang beliau tulis disela-sela kehidupan beliau didalam mendidik santri, mengayomi ribuan umat, membela dan memperjuangkan bumi pertiwi dari penjajahan. Ini merupakan bukti riil dari sikap dan perilakunya, pemikirannya dapat dilacak dalam beberapa karyanya yang rata-rata berbahasa Arab.
Tetapi sangat disayangkan, karena kurang lengkapnya dokumentasi, kitab-kitab yang sangat berharga itu lenyap tak tentu rimbanya. Sebenarnya, kitab yang beliau tulis tidak kurang dari dua puluhan judul. Namun diakungkan yang bisa diselamatkan hanya beberapa judul saja, diantaranya:
  1. Al-Nurul Mubin Fi Mahabati Sayyidi Mursalin. Kajian kewajiban beriman, mentaati, mentauladani, berlaku ikhlas, mencinatai Nabi SAW sekaligus sejarah hidupnya
  2. Al-Tanbihat al-Wajibat Liman Yashna’u al-Maulida Bi al-Munkarat. Kajian mengenai maulid nabi dalam kaitannya dengan amar ma’ruf nahi mungkar
  3. Risalah Ahli Sunnah Wal Jama’ah. Kajian mengenai pandangan terhadap bid’ah, Konsisi salah satu madzhab, dan pecahnya umat menjadi 73 golongan
  4. Al-Durasul Muntasyiroh Fi Masail Tis’a ‘asyaraoh. Kajian tentang wali dan thoriqoh yang terangkum dalam sembilan belas permasalahan.
  5. Al-Tibyan Fi Nahyi’an Muqatha’ah al-Arham Wa al-Aqrab Wa al-Akhwal. Kajian tentang pentingnya jalinan silaturahmi antar sesama manusia
  6. Adabul ‘Alim Wa Muata’alim. Pandangan tentang etika belajar dan mengajar didalam pendidikan pesantrren pada khususnya
  7. Dlau’ al-Misbah Fi Bayani Ahkami Nikah. Kajian hukum-hukum nikah, syarat, rukun, dan hak-hak dalam perkawinan
  8. Ziyadah Ta’liqot. Kitab yang berisikan polemic beliau dengan syaikh Abdullah bin yasir Pasuruaan

Kamis, 01 Agustus 2019

Hukum Memotong Kuku dan Mencukur Rambut bagi yang Hendak Berkurban

Hukum Potong Kuku dan Rambut Ketika Kurban

Hukum Potong Kuku dan Rambut Ketika Kurban
Boleh atau tidaknya potong kuku dan rambut bagi orang yang ingin berkurban memang masih menjadi perdebatan. Perdebatan ini tidak hanya terjadi belakangan, seperti yang terlihat di medsos, tetapi juga sudah didiskusikan oleh ulama terdahulu.

Permasalahan ini berawal dari perbedaan ulama dalam memahami hadits riwayat Ummu Salamah yang terdokumentasi dalam banyak kitab hadits. Ia pernah mendengar Rasulullah SAW berkata:

إذا دخل العشر من ذي الحجة وأراد أحدكم أن يضحي فلا يمس من شعره ولا بشره شيئا حتى يضحي

Artinya, “Apabila sepuluh hari pertama Dzulhijjah telah masuk dan seorang di antara kamu hendak berkurban, maka janganlah menyentuh rambut dan kulit sedikitpun, sampai (selesai) berkurban,” (HR Ibnu Majah, Ahmad, dan lain-lain).

Pemahaman ulama terhadap hadits ini dapat dipilah menjadi dua kategori. Pendapat pertama memahami hadits ini mengatakan bahwa Nabi SAW melarang orang yang berkurban memotong kuku dan rambutnya. Sementara pendapat kedua mengatakan, yang dilarang itu bukan memotong kuku dan rambut orang yang berkurban (al-mudhahhi), tetapi hewan kurban (al-mudhahha). Uraiannya sebagai berikut.

Argumentasi Pendapat Pertama
Pendapat pertama mengatakan hadis di atas bermaksud larangan Nabi untuk tidak memotong rambut dan kuku bagi orang yang ingin berkurban. Larangan tersebut dimulai dari sejak awal sepuluh hari pertama bulan Dzulhijjah. Artinya, ia diperbolehkan memotong kuku dan rambutnya setelah selesai kurban.

Kendati kelompok pertama sepakat akan pemaknaan hadits ini ditujukan untuk orang berkurban, namun mereka berbeda pendapat terkait maksud dan implikasi larangan Nabi tersebut: apakah berimplikasi pada kerahaman? Makruh? Atau hanya mubah saja? Mula Al-Qari dalam Mirqatul Mafatih menyimpulkan.

الحاصل أن المسألة خلافية، فالمستحب لمن قصد أن يضحي عند مالك والشافعي أن لا يحلق شعره، ولا يقلم ظفره حتي يضحي، فإن فعل كان مكروها. وقال أبو حنيفة: هو مباح ولا يكره ولا يستحب، وقال أحمد: بتحريمه

Artinya, “Intinya ini masalah khilafiyah: menurut Imam Malik dan Syafi’i disunahkan tidak memotong rambut dan kuku bagi orang yang berkurban, sampai selesai penyembelihan. Bila dia memotong kuku ataupun rambutnya sebelum penyembelihan dihukumi makruh. Sementara Abu Hanifah berpendapat memotong kuku dan rambut itu hanyalah mubah (boleh), tidak makruh jika dipotong, dan tidak sunah pula bila tidak dipotong. Adapun Imam Ahmad mengharamkannya.

Itulah pendapat ulama terkait kebolehan potong kuku dan rambut pada saat berkurban. Ada ulama menganjurkan, membolehkan, bahkan mengharamkan. Imam An-Nawawi dalam Al-Majmu’ mengatakan, hikmah dari kesunahan ini ialah agar seluruh tubuh di akhirat kelak diselamatkan dari api neraka. Sebab sebagaimana diketahui, ibadah kurban dapat menyelamatkan orang dari siksa api neraka.

Selain itu, ada pula yang berpendapat bahwa larangan potong rambut dan kuku ini disamakan orang yang ihram. Artinya, selama sepuluh hari awal bulan Dzulhijjah tidak dibolehkan potong rambut dan kuku sebagaimana halnya orang ihram. Pendapat ini dikritik oleh sebagian ulama karena analoginya tidak tepat. Imam An-Nawawi mengatakan sebagai berikut.

قال أصحابنا الحكمة في النهي أن يبقى كامل الأجزاء ليعتق من النار وقيل للتشبيه بالمحرم قال أصحابنا وهذا غلط لأنه لا يعتزل النساء ولا يترك الطيب واللباس وغير ذلك مما يتركه المحرم

Artinya, “Ulama dari kalangan madzhab kami mengatakan hikmah di balik larangan tersebut adalah agar seluruh anggota tubuh tetap ada/sempurna dan terbebas dari api neraka. Adapula yang berpendapat, karena disamakan (tasyabbuh) dengan orang ihram. Menurut ashab kami, pendapat ini tidak tepat, karena menjelang kurban mereka tetap boleh bersetubuh, memakai wangian, pakaian, dan tindakan lain yang diharamkan bagi orang ihram.

Argumentasi Pendapat Kedua
Pendapat kedua menyatakan bahwa yang dilarang itu bukan memangkas rambut orang yang berkurban ataupun memotong kukunya, tetapi memotong bulu dan kuku hewan kurban. Alasannya, karena bulu, kuku, dan kulit hewan kurban tersebut akan menjadi saksi di hari akhirat kelak.

Pandangan ini sebetulnya tidak populer dalam kitab fikih, terutama fikih klasik. Maka dari itu, Mula Al-Qari menyebut ini pendapat gharib (aneh/unik/asing). Ia mengatakan dalam Mirqatul Mafatih.

وأغرب ابن الملك حيث قال: أي: فلا يمس من شعر ما يضحي به وبشره أي ظفره وأراد به الظلف

Artinya, “Ada pendapat gharib dari Ibnul Malak. Menurutnya, hadits tersebut berarti tidak boleh mengambil (memotong) bulu dan kuku hewan yang dikurbankan.”

Pendapat yang dikatakan asing oleh Mula Al-Qari ini, belakangan dikuatkan oleh Kiai Ali Mustafa Yaqub. Dalam kitabnya At-Turuqus Shahihah fi Fahmis Sunnatin Nabawiyah, Kiai Ali mengatakan, hadits ini perlu dikomparasikan dengan hadits lain. Pemahaman matan hadits tidak akan sempurna jika hanya memahami satu hadits. Sebab itu, almarhum sering menegaskan Al-hadits yufassiru ba’dhuhu ba’dhan (hadits saling menafsirkan antara satu dengan lainnya).

Dalam disiplin pemahaman hadits (fiqhul hadits atau turuqu fahmil hadits) dikenal istilah wihdatul mawdhu’iyah fil hadits (kesatuan tema hadits). Teori ini digunakan untuk menelusuri ‘illat atau maksud satu hadits. Terkadang dalam satu hadits tidak disebutkan ‘illat dan tujuan hukumnya sehingga perlu dikomparasikan dengan hadits lain yang lebih lengkap, selama ia masih satu pembahasan. Terlebih lagi, ada satu hadits yang maknanya umum, sementara pada hadits lain, dalam kasus yang sama, maknanya lebih spesifik dan jelas.

Menurut Kiai Ali, memahami hadis Ummu Salamah di atas perlu dikomparasikan dengan riwayat ‘Aisyah yang berbunyi sebagai berikut.

ما عمل آدمي من عمل يوم النحر أحب إلى الله من إهراق الدم، إنه ليأتي يوم القيامة بقرونها وأشعارها وأظلافها. وإن الدم ليقع من الله بمكان قبل أن يقع من الأرض فطيبوا بها نفسا

Artinya, “Rasulullah SAW mengatakan, ‘Tidak ada amalan anak adam yang dicintai Allah pada hari Idhul Adha kecuali berkurban.  Karena ia  akan datang pada hari kiamat bersama tanduk, bulu, dan kukunya. Saking cepatnya,  pahala kurban sudah sampai kepada Allah sebelum darah hewan sembelihan jatuh ke tanah. Maka hiasilah diri kalian dengan berkurban (HR Ibnu Majah).

Begitu pula dengan hadits riwayat al-Tirmidzi:

لصاحبها بكل شعرة حسنة

Artinya, “Bagi orang yang berkurban, setiap helai rambut (bulu hewan kurban) adalah kebaikan,” (HR At-Tirmidzi).

Berdasarkan pertimbangan dua hadits ini, Kiai Ali menyimpulkan bahwa yang dilarang Nabi itu bukan memotong rambut dan kuku orang yang berkurban, tapi hewan kurban. Karena, rambut dan kuku hewan itulah yang nanti menjadi saksi di akhirat kelak. Almarhum Kiai Ali mengatakan.

فالعلة في تحريم قطع الشعر والأظافر ليكون ذلك شاهدا لصاحبها يوم القيامة وهذا الإشهاد إنما يناسب إذا كان المحرم من القطع شعر الأضحية وأظافرها، لا شعر المضحى

Artinya, “’Illat larangan memotong rambut dan kuku ialah karena ia akan menjadi saksi di hari kiamat nanti. Hal ini tepat bila dikaitkan dengan larangan memotong  bulu dan kuku hewan kurban, bukan rambut orang yang berkurban.”

Kedua pendapat di atas merupakan upaya masing-masing ulama memahami dalil. Yang perlu ditegaskan di sini adalah bahwa konteks hadits di atas tertuju bagi orang yang berkurban saja, bukan untuk semua orang. Bagi orang yang tidak berkurban, tidak ada soal jika ia akan memangkas rambut atau memotong kukunya.

Menurut pandangan kami pribadi, kedua pendapat di atas dapat diamalkan sekaligus: selama menunggu proses kurban, lebih baik tidak memangkas rambut ataupun memotong kuku, bila itu memang tidak diperlukan. Namun andaikan, kukunya sudah panjang dan kotor, dan rambutnya sudah panjang dan berkutu, silakan dipotong dan kurbannya tetap dilanjutkan. Sebab memotong rambut tersebut tidak berimplikasi pada sah atau tidaknya kurban.

Kemudian untuk mengakomodasi pendapat kedua, jangan sampai kita mematahkan tanduk, kuku, ataupun memangkas bulu hewan kurban, karena kelak ia akan menjadi saksi di hadapan Allah SWT. Wallahu a’lam.

Rabu, 26 Juni 2019

Sejarah Kata JANCUK

Jancok, Dancok, atau disingkat menjadi Cok (juga ditulis Jancuk atau Cuk, Ancok atau Ancuk) adalah sebuah kata yang menjadi ciri khas komunitas masyarakat di Jawa Timur, terutama Surabaya dan Malang. Meskipun memiliki konotasi buruk, kata jancok menjadi kebanggaan serta dijadikan simbol identitas bagi komunitas penggunanya, bahkan digunakan sebagai kata sapaan untuk memanggil di antara teman. 


Normalnya, kata tersebut digunakan sebagai umpatan pada saat emosi meledak, marah, atau untuk membenci dan mengumpat seseorang. Namun, sejalan dengan perkembangan pemakaian kata tersebut, makna kata jancok meluas hingga menjadi simbol keakraban dan persahabatan khas di kalangan sebagian arek-arek Suroboyo.

Etimologi"Jancok"
Menurut Kamus Online Universitas Gadjah Mada , istilah “jancuk, jancok, diancuk, diancok, cuk, atau cok” didefinisikan sebagai “sialan, keparat, brengsek (ungkapan berupa perkataan umpatan untuk mengekspresikan kekecewaan atau bisa juga digunakan untuk mengungkapkan ekspresi keheranan atas suatu hal yang luar biasa)”.

Sejarah Kata "Jancok"
Kata ini memiliki sejarah yang masih rancu. Kemunculannya banyak ditafsirkan karena adanya pelesetan oleh orang-orang terdulunya yang salah tangkap dalam pemaknaannya, dimana versi-versi ini muncul dari beberapa negara tetangga yang orang-orangnya mengucapkan kata yang memiliki intonasi berbeda namun fon-nya hampir sama. Dikarenakan orang-orang dari beberapa negara tetangga tersebut mengucapkan kata yang hampir mirip kata jancok itu dengan ekspresi marah atau geram dan semacamnya, orang-orang Jawa dulu mengartikan kata jancok (menurut lidah orang Jawa) adalah kata makian.

Setidaknya terdapat empat versi asal-mula kata "Jancok"


Versi kedatangan Arab
Salah satu versi asal-mula kata “Jancuk” berasal dari kata Da’Suk. Da’ artinya “meninggalkanlah kamu”, dan assyu’a artinya “kejelekan”, digabung menjadi Da’Suk yang artinya “tinggalkanlah keburukan”. Kata tersebut diucapkan dalam logat Surabaya menjadi “Jancok”.




Versi penjajahan Belanda
Menurut Edi Samson, seorang anggota Cagar Budaya di Surabaya, istilah Jancok atau Dancok berasal dari bahasa Belanda “yantye ook” yang memiliki arti “kamu juga”. Istilah tersebut popular di kalangan Indo-Belanda sekitar tahun 1930-an. Istilah tersebut diplesetkan oleh para remaja Surabaya untuk mencemooh warga Belanda atau keturunan Belanda dan mengejanya menjadi “yanty ok” dan terdengar seperti “yantcook”. Sekarang, kata tersebut berubah menjadi “Jancok” atau “Dancok”.

Versi penjajahan Jepang
Kata “Jancok” berasal dari kata Sudanco berasal dari zaman romusha yang artinya “Ayo Cepat”. Karena kekesalan pemuda Surabaya pada saat itu, kata perintah tersebut diplesetkan menjadi “Dancok”.

Versi umpatan
Warga Kampung Palemahan di Surabaya memiliki sejarah oral bahwa kata “Jancok” merupakan akronim dari “Marijan ngencuk” (“Marijan berhubungan badan”). Kata encuk merupakan bahasa Jawa yang memiliki arti “berhubungan badan”, terutama yang dilakukan di luar nikah. Versi lain menyebutkan bahwa kata “Jancuk” berasal dari kata kerja “diencuk”. Kata tersebut akhirnya berubah menjadi “Dancuk” dan terakhir berubah menjadi “Jancuk” atau “Jancok”.


Makna

Kata “Jancok” merupakan kata yang tabu digunakan oleh masyarakat Pulau Jawa secara umum karena memiliki konotasi negatif. Namun, penduduk Surabaya dan Malang menggunakan kata tersebut sebagai identitas komunitas mereka sehingga kata “Jancok” memiliki perubahan makna ameliorasi (perubahan makna ke arah positif).

Sujiwo Tedjo mengatakan:
“Jancuk” itu ibarat sebilah pisau. Fungsi pisau sangat tergantung dari user-nya dan suasana psikologis si user. Kalau digunakan oleh penjahat, bisa jadi senjata pembunuh. Kalau digunakan oleh seorang istri yang berbakti pada keluarganya, bisa jadi alat memasak. Kalau dipegang oleh orang yang sedang dipenuhi dendam, bisa jadi alat penghilang nyawa manusia. Kalau dipegang orang yang dipenuhi rasa cinta pada keluarganya bisa dipakai menjadi perkakas untuk menghasilkan penghilang lapar manusia. Begitupun “jancuk”, bila diucapkan dengan niat tak tulus, penuh amarah, dan penuh dendam maka akan dapat menyakiti. Tetapi bila diucapkan dengan kehendak untuk akrab, kehendak untuk hangat sekaligus cair dalam menggalang pergaulan, “jancuk” laksana pisau bagi orang yang sedang memasak. “Jancuk” dapat mengolah bahan-bahan menjadi jamuan pengantar perbincangan dan tawa-tiwi di meja makan.(Sujiwo Tedjo, 2012, halaman x)
Jancuk merupakan simbol keakraban. Simbol kehangatan. Simbol kesantaian. Lebih-lebih di tengah khalayak ramai yang kian munafik, keakraban dan kehangatan serta santainya “jancuk” kian diperlukan untuk menggeledah sekaligus membongkar kemunafikan itu. (Sujiwo Tejo. 2012 : 397)

Dalam konferensi pers konser Mahacinta Rahwana di JX Internasional pada tanggal 18 November 2013, Sitok Srengenge menambah keterangan Sujiwo Tedjo yang menegaskan bahwa konsep dan filosofi jancukers tumbuh di Jawa Timur, khususnya Surabaya:

"Di sinilah sebuah republik bernama Republik Jancukers itu tumbuh dan memunculkan definisi baru mengenai kata jancuk yang sudah tidak identik dengan konotasi negatif."

Kata seru
Kata ‘Jancok”, atau “cok” dalam bentuk singkatnya, digunakan sebagai kata seru untuk menunjukkan perasaan yang muncul, baik perasaan yang bersifat negatif maupun positif. Contoh kalimat:
"Cok, ora usah cekel-cekel!" ("Cok, tidak usah pegang-pegang!")
"Wih, apik'e, Cok!" ("Wih, bagusnya, Cok!")
Kata sapaan
Diantara para pengguna, kata “Jancok” juga digunakan sebagai kata sapaan untuk mengungkapkan kemarahan atau menunjukkan kedekatan hubungan di antara teman. Karena konotasi buruk yang melekat pada istilah “Jancok”, seseorang akan menjadi marah jika dipanggil menggunakan kata tersebut. Hal tersebut tidak berlaku di antara teman karib, yang malah menunjukkan bahwa kedekatan hubungan mereka membuat mereka tidak akan saling marah jika dipanggil dengan kata “Jancok”.

Meskipun tergolong bahasa gaul anak muda, kata tersebut masih terasa tidak pantas untuk digunakan memanggil orang tua karena arti sebenarnya adalah perkataan kotor.
Contoh kalimat:
"Cok, nang endi ae koe?" ("Cok, kemana saja kamu?")
"Ojo meneng ae, Cok!" ("Jangan diam saja, Cok!")
"Mlaku-mlaku yok, Cok." ("Jalan-jalan yuk, Cok.")
"Jancuk, yok opo kabare rek ?" ("Jancuk, gimana kabarnya kawan")




KATA "JANCOK" bukan KATA UMPATAN
KATA "JANCOK" adalah Simbol KEAKRABAN DAN PERSAHABATAN
Khas Arek SOERABAIA