Jumat, 07 Oktober 2016

BIOGRAFI SYEIKH ABU MANSUR AL MATURIDY

                  Nama lengkapnya Abu Manshur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-Maturidi al-Samarqandi, nisbah kepada Maturid, nama distrik di Samarkand, negeri  yang terletak di seberang sungai Amu Dariya (seberang sungai Jihun), daratan Transoxiana.
                 Tidak ada data sejarah yang menginformasikan tahun kelahirannya secara pasti. Akan tetapi menurut dugaan kuat, dia dilahirkan pada masa khalifah al-Mutawakkil (205-247 H/820-861 M), Khalifah ke-10 dari dinasti Abbasiyah. Diperkirakan al-Maturidi lahir sekitar 20 tahun sebelum lahirnya al-Imam al-Asy’ari.
                 Secara geneologis, nasah Abu Manshur al- Maturidi masih bersambung dengan sahabat Rasulullah dari kaum Anshar, yaitu Abu Ayyub al-Anshari (w. 52           H/672 M). hal ini menjadi bukti bahwa al-Maturidi lahir dari keluarga terhormat dan terpandang di kalangan masyarakat, karena ketika Rasulullah hijrah ke kota Madinah,beliau singgah dan tinggal di rumah Abu Ayyub al-Anshari, sahabat yang menjadi saksi hidup peristiwa Bai’at al-‘Aqabah, dan mengikuti peperangan Badar, Uhud, Khandaq dan lain-lain.
               Al-Maturidi lahir dari lingkungan keluarga ulama yang sudah barang tentu mencintai ilmu Agama. Sehingga hal tersebut sangat mempengaruhi perkembangan intelektual Al-Maturidi yang tumbuh dalam lingkungan keluarga yang mencintai ilmu agama sejak usia dini. Selain ditopang dengan kecerdasannya yang luar biasa,  Al-Maturidi juga seorang pelajar yang tekun dan gigih dalam menuntut ilmu, sehingga pada akhirnya mengantar reputasi intelektual Al-Maturidi ke puncak kecemerlangan dengan menyandang beberapa gelar seperti, Imam al-Huda (pemimpin kebenaran), Qudwat Ahl al –Sunnah wa al-Ihtida’ (panutan pengikut sunnah dan petunjuk), Rafi’ ‘Alam al-Sunnah wa al-Jama’ah (pengibar bendera sunnah dan jama’ah), Qali’ Adhalil al-Fitnah wa al-Bid’ah (pencabut kesesatan fitnah dan bid’ah), Imam al-Mutakallimin (penghulu para teolog) dan Mushahhih ‘Aqa’id al-Muslimin (korektor akidah kaum muslimin). Gelar-gelar tersebut membuktikan posisi intelektual Al-Maturidi yang sangat istimewa dalam pandangan murid-muridnya.
Background Sosial, Politik dan Pemikiran Al-Maturidi
                Al-Maturidi hidup di negeri samarkand, Uzbekistan. Kehidupannya berkisar antara paruh kedua abad ketiga Hijriah dan paruh pertama abad keempat Hijriah. Dalam catatan sejarah, Samarkand pada mulanya di masuki dan di taklukan oleh pasukan kaum Muslimin pada tahun 55 H/675 M dibawah kepemimpinan panglima Sa’id bin Utsman , ketika menjabat sebagai gubernur Khurasan pada masa pemerintahan Khalifah Mu’awiyah bin Abi Sufyan. Sa’id bin Utsman menyeberangi sungai Amu Daria dan melakukan pengepungan terhadap negeri Samarkand, tetapi kemudian meninggalkannya. Pada tahun 78 H/697 M, panglima Qutaibah bin Muslim bersama pasukannya untuk pertama kalinya menyeberangi sungai Amu Daria dan memerangi negeri Bukhara, Syas dan singgah di Samarkand. Setelah itu,Qutaibah bin Muslim melakukan penyerangan terhadap negeri-negeri seberang sungai Amu Daria selama tujuh tahun.
            Pada masa Al-Maturidi, kerajaan Samarkand dikuasai oleh dinasti Saman, dinasti yang berasal dari sebuah desa di Samarkand,yang bernama desa Saman. Dinasti ini tercatat sebagai dinasti terbaik yang memerintah Samarkand. Mereka sangat menghormati dan memuliakan ilmu agama dan kalangan ulama. Dinasti Saman ini berhasil menguasai Khurasan dan negeri-negeri seberang sungai Amu Daria sejak tahun 261 H/875 M sampai tahun 389 H/999 M. dinasti ini di pimpim oleh Asad bin Saman dan diteruskan oleh keempat anaknya yang menjadi pembantu Khalifah al-Makmun sekaligus sebagai penguasa otonom di Khurasan dan Samarkand.
            Situasi politik dan pemikiran yang berkembang pada masa Al-Maturidi,berkaitan erat dengan situasi politik dan pemikiran yang sedang berkembang di dunia islam pada umumnya.  Di mana pada saat itu, negara islam pada paruh kedua abad ketiga dan abad keempat menyaksikan berbagai disintregasi politik yang sangat kritis,yang sudah barang tentu membawa pada terpecah belahnya negara dalam beberapa daerah kekuasaan dan pengaruh. Negeri Andalusia di kuasai oleh dinasti Umawi, Maroko dikuasai dinasti Idrisi, Moushul dan Aleppo dikuasai dinasti Hamdan, Mesir dan Syam dikuasai dinasti Thulun dan Akshyid, Irak dikuasai dinasti Turki dengan mengatasnamakan Khalifah Abbasi. Sedangkan Persia menjadi beberapa dinasti yang sangat berpengaruh. Dinasti Dulafiyah menguasai Kurdistan, dinasti Shafariyah menguasai Paris, dinasti Saman menguasai  Persia dan negeri seberang sungai Amu Daria, dinasti Ziyadiyah menguasai Jurjan, dinasti Hasnawiyah menguasai Kurdistan,dinasti Buwaihiyah menguasai Persia bagian selatan, dan dinasti Ghaznawiyah menguasai India dan Afganistan. Disintregasi negara islam yang terpecah belah menjadi beberapa daerah otonom ini, juga disokong oleh lemahnya otoritas Khalifah Abbasi di Baghdad, dan tampilnya ras Turki dan Persia yang berupaya menjadikan Khalifah sebagai boneka. Jabatan Khalifah hanya sebatas simbol belaka, sedangkan penguasa yang sesungguhnya adalah orang-orang Turkmen dan Persia.
Guru-guru Al-Maturidi
Al -Iman Abu Manshur al-Maturidi adalah deklarator madzhab Maturidi, aliran pemikiran dan teologis besar yang merupakan cabang kedua dalam pemikiran Ahlussunnah Wal Jama’ah. Dia berguru kepada para ulama terkemuka bermadzhab Hanafi, yang diakui kedalamannya dalam bidang fiqih dan teologi, yang mereka peroleh dari sumber yang tak pernah kering,yaitu kitab-kitab al-Iman Abu Hanifah yang telah memberikan kesegaran, penjelasan dan analisa terhadap generasi demi generasi. al-Maturidi sendiri menyatakan,telah mempelajari kitab-kitab Abu Hanifah tersebut, yaitu al-Fiqh al-Absath, al-Risalah, al-‘Alim wa al-Muta’allim dan al-Washiyyah kepada guru-gurunya seperti Abu Nashr al-‘Iyadhi, al-Juzajani dan al-Balkhi. Ketiga guru tersebut berguru kepada al-Imam Abu Sulaiman al-Jazujani, murid al-Imam Muhammad bin al-Hasan al-Syaibani.  Untuk lebih jelasnya, berikut ini akan di kemukakan beberapa nama guru-guru al-Maturidi
Ø  Abu Nashr al-‘Iyadhi
Ø  Abu Bakar Ahmad bin Ishaq al-Jazujani
Ø  Nushair bin Yahya al-Balkhi (w. 268 H/863 M)
Ø  Muhammad bin Muqatil al-Razi (w. 248 H/863 M)
Karya-Karya al-Maturidi
Al -Iman Abu Manshur al-Maturidi  telah menulis banyak karangan,yang membuktikan kedalaman,kesuburan dan ilmu pengetahuannya  yang beragam dalam berbagai bidang, mencakup ilmu tafsir, fiqih, ushul fiqih, teologi, bantahan terhadap orang Qaramithah, Rafidhah (Syi’ah), Mu’tazilah dan ateis. Ilmu pengetahuan yang dikuasai  Al -Iman Abu Manshur al-Maturidi secara mendalam dan komprehensif meliputi berbagai ilmu keislaman dan filsafat yang dia tuangkan dalam bentuk karangan karangan.
             Terdapat sekitar 17 judul karya al-Maturidi, diantaranya yaitu kitab al-Tauhid, kitab al-Muqalat, al-Radd ‘Ala a-Qaramithah, Bayan Wahn al-Mu’tazilah, Radd al-Ushul al-Khamsah, Radd kitab Wa’id al-Fussaq, Radd Awa’il al-Adillah, Radd tahdzid al-Jadal, Syarh al-Fiqh al-Akbar dan lain-lain. Namun sayang sekali, dari sekian banyak karya Al -Iman Abu Manshur al-Maturidi, hanya sedikit yang informasinya sampai kepada generasi sekarang, diantaranya adalah :
v  Ta’wilat Ahl al-Sunnah
v  Ma’khadz al-Syara’i dan kitab al-Jadal
v  Kitab al-Tauhid
Wafatnya Al -Iman Abu Manshur al-Maturidi
Ada perbedaan ringan di kalangan sejarawan tentang tahun wafatnya Al -Iman Abu Manshur al-Maturidi , hal ini berbeda dengan tahun kelahirannya, yang tidak ada informasi sama sekali di kalangan mereka. Mayoritas literatur sejarah hampir sepakat bahwa Al -Iman Abu Manshur al-Maturidi  wafat pada tahun 333 H/944 M. akan tetapi Thasy Kubri Zadah dalam kitab Miftah al-Sa’adah dan Ibn Kamal Basya dalam kitab Thabaqat al-Hanafiyyah menyebutkan bahwa ada riwayat lemah yang mengatakan Al -Iman Abu Manshur al-Maturidi wafat tahun 336 H. sementara Abu al-Hasan al-Nadwi ulama kontemporer berkebangsaan India menyebutkan bahwa Al -Iman Abu Manshur al-Maturidi wafat tahun 332 H. barangkali al-Nadwi mengambil informasi tersebut dari kitab Syarh al-Fiqih al-Akbar yang oleh pakar masih diragukan autentisifikasinya sebagai karya Al -Iman Abu Manshur al-Maturidi . boleh jadi,al-Nadwi mengambilnya dari al-Bayadhi dalam  kitab Isyarat al-Maram. Namun riwayat yang paling kuat tentang wafatnya Al -Iman Abu Manshur al-Maturidi adalah tahun 333 H/944 M, karena mayoritas literatur biografi ulama madzhab Hanafi menyepakatinya. Wallahu a’lam

BIOGRAFI SYEIKH ABU HASAN ALI AL ASY'ARY



Abul Hasan Al-Asyari, sebuah nama yang akrab di telinga kaum muslimin. Nama yang begitu membahana, sering  disebut-sebut dalam majelis. Memang, banyak kaum muslimin yang menisbatkan diri kepada beliau terutama dalam  masalah akidah. Yaitu hanya menetapkan sebagian nama dan sifat bagi Allah ‘azza wa jalla.
Kita mungkin sering mendengar lantunan pujian, “Allah Wujud, Qidam, Baqa, Mukhalafatu Lil Hawaditsi, Qiyamuhu binafsihi, Wahdaniyah, Qudrat, Iradah, Ilmu, Hayat …… Inilah yang dikenal dengan dua puluh sifat wajib bagi Allah yang harus diyakini menurut kelompok Asy’ariyah. Sebuah kelompok yang menisbatkan diri kepada Abul Hasan Al-Asy’ari, dan mengklaim diri sebagai pengikutnya. Benarkah ajaran tersebut menjadi akidah terakhir yang diyakini oleh Abul Hasan Al Asy’ari?
Pada hakikatnya, kelompok yang menisbatkan diri kepada beliau tidaklah mengikuti madzhab akidah beliau dengan benar. Hal ini dikarenakan beliau berganti madzhab akidah sesuai dengan fase perjalanan pencarian kebenaran sejati yang beliau lakukan. Kelompok yang menisbatkan diri pada beliau itu hanyalah mengikuti satu fase kehidupan beliau yang belum berakhir. Artinya bukan fase terakhir pada akhir kehidupan beliau rahimahullah. Untuk lebih jelasnya mari kita simak bagaimana perjalanan hidup beliau dalam mencari kebenaran.
Nama lengkap beliau adalah Ali bin Ismail bin Abu Bisyr Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdullah bin Musa bin Bilal bin Abu Burdah bin Abu Musa Al-Asy’ari. Adapun Abul Hasan adalah kuniah (panggilan kehormatan) beliau. Dengan melihat kepada garis keturunan beliau di atas, bisa diketahui bahwa Abul Hasan adalah salah seorang keturunan Abu Musa AI-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu. Seorang shababat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam  yang banyak meriwayatkan hadits dan terkenal dengan keindahan suaranya dalam membaca AI-Qur’an.
Abul Hasan dilahirkan di Bashrah, salah satu kota di Irak pada tahun 260 H (873 M). Sungguh, Allah ta’ala  telah  mengaruniakan talenta yang sangat mengagumkan pada diri beliau sejak usia muda. Beliau dikenal dengan  kecerdasannya yang luar biasa dan ketajaman pemahamannya. Namun demikian, beliau dikenal sebagai pribadi yang sangat zuhud dan qana’ah. Tatkala masih berpemahaman Mu’tazilah, beliau acapkali membela paham tersebut dan membantah siapa saja yang menentangnya. Secara global, beliau menjalani tiga fase kehidupan sebelum akhirnya berpijak kokoh di atas akidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah.

FASE PERTAMA
Sebenarnya sejak kecil, Abul Hasan diasuh oleh ayahnya yang mencintai Sunah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sang ayah selalu mendidik dan mengarahkannya untuk berpegang teguh dengan AI-Qur’an dan As Sunnah. Oleh sebab itu sebelum wafat, sang ayah berwasiat agar Abul Hasan diasuh oleh Zakaria bin Yahya. Seorang ulama ahli hadits di zamannya. Namun sangat disayangkan, sepeninggal ayahnya sang ibu menikah dengan seseorang yang bernama Abu Ali Muhammad bin Abdul Wahhab Al Juba’i. Dia adalah seorang tokoh Mu’tazilah yang cukup ternama di masanya. Tak pelak lagi, Abul Hasan banyak terpengaruh oleh pemikiran ayah tirinya tersebut. Karenanya, sang ayah menaruh harapan yang besar agar kelak ia menjadi penerusnya.
Sejak saat itu, beliau banyak mengenal dan mempelajari konsep pemikiran Mu’tazilah. Hingga akhirnya beliau menjadi tokoh besar Mu’tazilah yang sangat diandalkan oleh kelompoknya. Beliau banyak menghasilkan karya tulis dan aktif membela madzhab ini. Beliau membantah siapa saja yang menentang madzhab ini. Kondisi semacam ini beliau lakoni selama beberapa puluh tahun. Hingga akhirnya beliau menjadi seorang imam besar Mu’tazilah.
Namun, Allah ‘azza wa jalla, menghendaki kebaikan untuknya. Pada usia empat puluh tahun, Abul Hasan meninggalkan akidah Mu’tazilah yang selama ini diyakini kebenarannya. Perihal taubatnya ini, beliau sampaikan di hadapan khalayak ramai seusai pelaksanaan shalat Jumat di Masjid Jami’.
Beliau menegaskan, “Di dalam dadaku ada kerancuan terkait tentang permasalahan akidah. Pada suatu malam aku bangun lalu mengerjakan shalat dua rakaat. Kemudian memohon kepada Allah ‘azza wa jalla supaya memberi hidayah kepadaku menuju jalan yang lurus. Setelah itu aku pun tertidur dan bermimpi bertemu dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saat itulah aku mengadukan kepada beliau tentang permasalahan yang sedang aku hadapi. Beliau pun menyatakan,’Wajib bagimu untuk berpegang teguh dengan sunnahku.’ Saat itulah aku terbangun dari tidurku.”
Dikisahkan pula oleh Ibnu Asakir rahimahullah bahwa beliau menegaskan di hadapan para hadirin, “Wahai sekalian manusia, aku menghilang dari tengah-tengah kalian selama beberapa waktu, karena aku menjumpai beberapa dalil dan belum bisa membedakan antara yang benar dan yang batil. Kemudian aku memohon petunjuk kepada Allah ‘azza wa jalla.  Allah pun memberikan petunjuk-Nya supaya aku berlepas diri dari buku-buku yang pernah kutulis. Dengan ini saya tinggalkan semua akidah yang aku yakini, sebagaimana aku menanggalkan bajuku ini.” Sambil beliau menanggalkan bajunya.
Sejak saat itu, beliau mulai merilis berbagai karya tulis yang membantah pemikiran-pemikiran Mu’tazilah. Beliau juga sangat antusias dalam menjelaskan kesesatan Mu’tazilah dalam berbagai forum. Di antara pemikiran Mu’tazilah yang beliau tegaskan kesesatannya di hadapan umum adalah bahwa Al-Qur’an itu makhluk bukan Kalamullah, Allah ‘azza wa jalla tidak bisa dilihat dengan pandangan mata di akhirat kelak, dan kesesatan keyakinan Mu’tazilah lainnya.
Dalam versi yang lain, diriwayatkan bahwa faktor pendorong taubatnya Abul Hasan adalah karena para gurunya tidak mampu menjawab beberapa pertanyaan yang beliau disodorkan. Inilah yang memotivasi beliau untuk mencari kebenaran yang selama ini sangat beliau didambakan.

FASE KEDUA
Setelah beliau menegaskan pengumuman taubatnya tersebut, beliau meninggalkan kota Bashrah menuju kota Baghdad. Pada fase ini, beliau memiliki kecondongan kepada pemahaman  ulama Ahlus Sunnah. Namun, beliau belum sepenuhnya memeluk madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Saat itu, beliau masih terpengaruh oleh pemikiran Abu Muhammad Abdullah bin Sa’id bin Kullab. Orang ini adalah gembong sekte Kullabiyah. lbnu Taimiyah rahimahullah menjelaskan tentang tokoh Kullabiyah ini, “Dialah yang menulis berbagai kitab yang isinya membantah Jahmiyah, Mu’tazilah, dan kelompok lainnya. Dia termasuk ahli kalam dalam masalah sifat-sifat Allah. Metode yang dia tempuh mendekati metode ahli hadits dan sunnah, namun masih memuat cara–cara yang bid’ah. Karena dia menetapkan sifat dzatiyah (sifat Allah yang selalu melekat pada Dzat-Nya, seperti sifat maha melihat, maha mendengar, maha kuasa, dll) dan menolak sifat ikhtiyariyah (sifat Allah yang berkaitan dengan kehendak-Nya, seperti sifat turun ke langit dunia, berbicara kepada makhluk-Nya, dll) bagi Allah.”
Berkenaan dengan fase kedua ini, Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Abul Hasan Al-Asy’ari dahulunya adalah seorang Mu’tazilah. Ketika keluar darinya, dia mengikuti konsep pemikiran akidah Muhammad bin Kullab.”
Dalam Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Al-Asy’ari dan orang-orang semisalnya berada di antara akidah salaf dan Jahmiyah. Mereka mengambil akidah yang shahih dari ulama salaf, namun juga mengambil prinsip-prinsip analogi dari orang-orang Jahmiyah yang dianggap benar. Padahal, itu adalah prinsip-prinsip yang salah.”
Ibnu Katsir rahimahullah menyebutkan, “Fase kedua yang dijalani Abul Hasan Al Asy’ari adalah menetapkan tujuh sifat ‘aqliyah (sifat Allah yang masuk di akal) bagi Allah ‘azza wa jalla yaitu Al Hayat, Al Ilmu, Al Qudrah, Al Iradah, As Sam’u, Al Bashar, dan Al Kalam. Tapi di sisi lain, dia menakwilkan (memaknainya dengan keliru) sifat khabariyah (sifat Allah yang datang dalam nash Al-Quran dan sunnah), seperti bahwa Allah memiliki Wajah, Kedua Tangan, Marah, Ridha, Cinta, dan yang semisalnya.”
Adapun akidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah dalam Tauhid Asma’ Was Sifat adalah menetapkan seluruh sifat ikhtiyariyah yang Allah dan rasul-Nya tetapkan untuk diri-Nya. Tanga melakukan takyif (menggambarkan atau mengkhayalkannya), tamtsil (menyerupakan dengan sifat makhluk-Nya), tahrif (menyelewengkan maknanya), dan ta’thil (meniadakannya). Misalnya Allah ‘azza wa jalla memiliki sifat istiwa’ di atas Arsy-Nya, Allah turun ke langit dunia pada sepertiga malam yang terakhir, dan sifat yang lainnya. Allah juga mempunyai sifat murka, senang, ridha dan sifat lainnya yang ditetapkan oleh Rasulullah. Dan seterusnya sebagaimana diterangkan dalam kitab-kitab akidah para ulama.

FASE KETIGA
Adapun fase ketiga adalah saat kembalinya beliau kepada madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Pada fase ini beliau banyak menimba ilmu dari para ulama Ahlus Sunnah. Semisal Al Muhadits Al Musnid Abu Khalifah Al Fadhl Al Jumahi Al Bashri, Al Qadhi Abul Abbas Ahmad bin Suraij Al Baghdadi, dan yang lainnya.
Setelah sekian lama beliau terpengaruh dengan paham Kullabiyah, bahkan mendakwahkannya, akhirnya beliau pun sadar dan kembali kepada akidah yang benar. Itulah akidah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah. Beliau menisbatkan diri kepada Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah. Beliau torehkan akidah ini dalam karya tulis beliau yang terakhir yaitu Al-lbanah ‘an Ushulid Diyanah. Beliau mengatakan dalam Muqaddimahnya, “Nabi datang kepada kita dengan membawa sebuah kitab agung. Tidak ada di dalamnya kebatilan sedikit pun. Kitab yang diturunkan oleh Allah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji. Di dalamnya, Allah ‘azza wa jalla menghimpun ilmu orang-orang terdahulu, dan menyempurnakan berbagai kewajiban agama ini. Itulah jalan Allah yang lurus dan tali-Nya (agama-Nya) yang kuat. Barang siapa berpegang teguh dengannya, dia akan selamat. Siapa raja yang menyelisihinya, maka dia telah sesat, dalam kebodohan dan kebinasaan. Allah ‘azza wa jalla telah menghasung dalam Al-Qur’an supaya kita komitmen terhadap Sunnah Rasul-Nya. Allah ta’ala pun berfirman:
“Apa yang diberikan Rasul kepada kalian, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagi kalian, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kalian kepada Allah.” [Q.S. Al-Hasyr:7].”
Sampai ucapan beliau, “Allah ‘azza wa jalla telah memerintahkan kepada mereka supaya taat kepada Rasul, sebagaimana mereka diperintahkan untuk taat kepada-Nya. Allah juga menyeru mereka supaya berpegang teguh dengan sunnah Nabi-Nya, sebagaimana memerintahkan mereka untuk mengamalkan kitab-Nya. Maka, begitu banyak orang yang diliputi kesengsaraan dan dikuasai syaithan, mereka membuang sunnah-sunnah Nabiyullah di belakang punggung-punggung mereka. Kemudian orangorang tersebut berpaling menuju ajaran nenek moyang mereka, fanatik, dan beragama dengan agama mereka. Mereka menentang dan mengingkari sunah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai bentuk kedustaan mereka atas Allah ta’ala. Sehingga mereka adalah orang-orang yang sesat dan tidak mendapatkan petunjuk.”
Kemudian beliau menyebutkan beberapa prinsip para pelaku bid’ah dan mengisyaratkan tentang kebatilannya. Beliau mengatakan, “Ada seseorang berkata bahwa engkau telah mengingkari pendapat kelompok Mu’tazilah, Jahmiyah, Haruriyah, Rafidhah (syiah), dan Murji’ah, maka beritahukan kepada kami tentang keyakinan dan agama yang kalian anut? Katakan kepadanya bahwa keyakinan dan agama yang kami peluk adalah berpegang teguh dengan kitab Allah ‘azza wa jalla, sunnah Nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan apa yang diriwayatkan dari para shahabat, tabi’in, dan ahli hadits. Kami berpegang teguh dengannya dan sejalan dengan keyakinan Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal (Imam Ahmad), semoga Allah mencerahkan wajahnya, mengangkat derajatnya, dan memperbanyak pahalanya. Dan kami menjauhi siapa saja yang menyelisihi pendapatnya. Karena Ahmad bin Hanbal adalah seorang imam yang utama dan pemimpin yang sempurna.”
Di samping pengakuan Abul Hasan sendiri tentang kembalinya beliau kepada akidah salafus shalih yang diwakili oleh Imam Ahmad rahimahullah, ternyata tidak sedikit ulama yang memberikan persaksian yang sama. Di antaranya adalah Ibnu Katsir rahimahullah, yang dengan tegas menyatakan, “Fase ketiga yang dilalui Abul Hasan adalah menetapkan semua sifat-sifat Allah ‘azza wa jalla tanpa menganalogikan dan menyamakannya dengan sesuatu pun sebagaimana ini prinsip Ahlus sunnah wal Jama’ah. Demikianlah prinsip yang beliau gariskan dalam kitab Al Ibanah ‘an Ushulud Diyanah yang merupakan karya beliau yang terakhir.”
Demikian halnya Muhibbuddin Al-Khatib rahimahullah beliau berkata, “Abul Hasan Al-Asy’ari termasuk tokoh besar ahli kalam dalam sejarah Islam. Pada awal kehidupannya, dia menganut paham Mu’tazilah, dengan berguru kepada Abu Ali Al-Juba’i. Kemudian Allah memberikan hidayah kepadanya ketika beliau menginjak usia paruh baya dan awal  kematangannya. Beliau mengumumkan taubatnya di hadapan manusia dan membeberkan berbagai kesesatan paham Mu’tazilah. Pada fase ini beliau banyak menulis, berdebat, dan mengajar dengan membantah paham Mu’tazilah berlandaskan metode salaf. Kemudian akhirnya beliau benar-benar kembali kepada akidah salaf dengan menetapkan semua sifat-sifat Allah yang wajib diimani oleh para hamba-Nya dengan berlandaskan pada nash Al-Qur’an dan hadits.
Salah satu buktinya adalah beliau menulis sebuah kitab terakhir yang sudah banyak dibaca orang yaitu Al-lbanah ‘an Ushulid Diyanah. Para penulis biografi beliau memastikan bahwa Al lbanah adalah kitab terakhir yang ditulis oleh Abul Hasan.”
Demikianlah perjalanan panjang yang ditempuh oleh Abul Hasan Al Asy’ari dalam mencari kebenaran. Beliau berpindah dari satu pemahaman ke pemahaman lain yang menurutnya lebih benar, hingga akhirnya Allah memberikan hidayah untuk menelusuri jalan kebenaran yang sejati. Padahal sebelumnya beliau adalah tokoh utama dan pembela madzhab Mu’tazilah. Namun, ketika beliau mengetahui kebenaran, maka tanpa ragu dan malu beliau mengumumkan taubatnya. Taubat dari pemahaman yang selama ini beliau yakini. Taubat yang diumumkan di atas mimbar dan di hadapan khalayak ramai. Bahkan, beliau menjadi orang yang paling gencar dalam membongkar kesesatan Mu’tazilah dalam berbagai ceramah dan karya tulis. Sungguh sebuah suri teladan yang sangat baik bagi kita semua.
Dengan ini pula, kita bisa mengetahui bahwa orang-orang di zaman ini yang mengklaim sebagai pengikut Abul Hasan AlAsy’ari, sejatinya mereka tidaklah mengambil akidah yang beliau yakini kebenarannya. Karena sesungguhnya mereka mengambil akidah beliau pada fase pertama atau kedua dalam perjalanannya mencari kebenaran yang hakiki. Allahu a’lam.

Peristiwa Tahkim antara Ali dan Mu'awiyah

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Ali bin Abi Thalib adalah sepupu Rasulullah saw. Beliau adalah anak Abu Thalib, paman Rasul. Beliau juga adalah suami dari Fatimah azZahra, puteri Rasul. Ayah dari Hasan dan Husein, dan dari sinilah berkembang keturunan Rasulullah.
Setelah khalifah Utman terbunuh, terjadilah pergolakan politik. Dan sebagian besar kaum Muslim secara aklamasi memilih serta menunjuk imam Ali sebagai khalifah. Namun ada sebagian golongan yang tidak menyukai diangkatnya Ali sebagai khalifah, karena mereka juga menginginkan tahta tersebut dan khawatir akan musnahnya kenyamanan yang mereka peroleh selama ini apabila Ali menjabat sebagai khalifah. Karena Ali dikenal sebagai orang yang sangat keras dan disiplin serta perhitungan dalam mengeluarkan harta negara. Dalam merealisasikan usahanya, Ali menghadapi banyak tantangan dan peperangan, sebab tidak dapat dipungkiri bahwa gerakan pembaharuan yang dirancangnya dapat merongrong dan menghancurkan keuntungan-keuntungan beberapa pribadi dan kelompok.[1]
Pada mula-mula Ali menghadapi tantangan dari Ummul Mukminin Aisyah ra. dalam perang jamal, perang ini terjadi karena pihak Aisyah menuntut bela atas pembunuhan Utsman bin Affan, sedangkan faktor internnya adalah hasutan dari keponakan Aisyah yang juga menginginkan tahta kekhalifahan. Maka terjadilah peperangan antar saudara ini.
 Kemudian majulah Muawiyah dan pengikutnya menentang pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Maka mereka pun bertemu dalam perang Shiffin antar laskar Ali bin Abi Thalib dan laskar Muawiyah.
Selain perang jamal dan perang shiffin, Ali juga menghadapi tantangan dari pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan oleh kaum khawarij. Maka pada masa pemerintahan kekhalifahan Ali bin Abi thalib banyak diwarnai pergolakan-pergolakan dan peperangan, sehingga pemerintahan Ali pun tidak dapat bertahan lama. Ali wafat terbunuh oleh pemberontak dari kaum khawarij.
BAB II
KHALIFAH ALI BIN ABI THALIB
A.    Ali Menjadi Khalifah
Terbunuhnya Amirul Mu’minin, Utsman bin Affan, telah mengakibatkan kekacauan dan kemarahan besar umat islam di Madinah. Hal itu berlangsung cukup lama hingga akhirnya umat islam khawatir akan terjadi bencana setelah mengetahui bahwa pemegang tampuk pemerintahan kosong. Mereka juga melihat imam Ali bin Abu Thalib adalah sosok yang pas untuk memegang jabatan khalifah setelah Utsman
[3]. Rakyat terbanyak, mereka menanti-nantikan Ali dan menyambutnya dengan tangan terbuka. Oleh karena itu pembai’ahan Ali adalah pembai’ahan dari rakyat terbanyak. Mereka segera datang kepada Ali untuk membai’ah beliau.
Sebagaimana diketahui bahwa musuh Ali itu banyak. Di antaranya ada yang menyembunyikan permusuhan itu, dan ada yang menyatakannya terang-terangan.
Kengkatan Ali dapat ditinjau dari berbagai jurusan. Bahwa yang tiada menyukai Ali diangkat menjadi khalifah, bukanlah rakyat umum yang terbanyak, tetapi segolongan kecil (keluarga Umayyah) yaitu keluarga yang pemuda-pemudanya telah banyak tewas dalam peperangan menantang islam. Sekarang mereka tergolong kaum elite, cabang atas. Mereka menantang Ali karena khawatir, kekayaan dan kesenangan mereka akan hilang lenyap karena keadilan yang akan dijalankan Ali.
Dengan memperhatikan suasana pembai’ahan Ali, dapat diambil kesimpulan bahwa pembai’ahan itu bukanlah dengan sepenuh hati kaum muslimin. Terutama bani umayyah, merekalah yang mempelopori orang-orang yang tidak menyetujui Ali.
Ali mempunyai watak dan pribadi sendiri, suka berterus-terang, tegas bertindak dan tak suka berminyak air. Ia tak takut akan celaan siapapun dalam menjalankan kebenaran. Disebabkan oleh kepribadian yang dimilikinya itu, maka sesudah ia dibai’ah menjadi khalifah, dikeluarkannya dua buah ketetapan:
  1. memecat kepala-kepala daerah angkatan Utsman. Dikirmnya kepala daerah baru yang akan menggantikan. Semua kepala daerah angkatan Ali itu terpaksa kembali saja ke Madinah, karena tak dapat memasuki daerah yang ditugaskan kepadanya.
  2. mengambil kembali tanah-tanah yang dibagi-bagikan Utsman kepada famili-famili dan kerabatnya tanpa jalan yang sah. Demikian juga hibah atau pemberian Utsman kepada siapa pun yang tiada beralasan, diambil Ali kembali.
Banyak pendukung-pendukung dan kerabat Ali yang menasehatinya supaya menangguhkan tindakan-tindakan radikal seperti itu, sampai keadaan stabil. Tetapi Ali kurang mengindahkan. Pertama-tama Ali mendapat tantangan dari keluarga Bani Umayyah. Mereka membulatkan tenaga dan bangunlah Muawiyah melancarkan pemberontakan memerangi Ali.[4]
B.     Perang Jamal
Dinamakan perang jamal (unta) karena pada saat itu siti Aisyah isteri Rasulullah dan puteri Abu Bakar asShidiq ikut dalam perang ini dengan mengendarai unta. Peperangan ini dipicu karena pasukan Aisyah menuntut agar dilakukan balasan setimpal atas terbunuhnya Utsman.
Dalam perang jamal Thalhah dan Zubair menggabungkan diri dengan pasukan Aisyah. Sementara dari Yaman datang pula ke Makkah Ya’ali bin Umayyah – Gubernur angkatan Utsman – memberikan 600 keledai serta hartanya untuk disiapkan dalam menghimpun pasukan besar. Dari Basrah pun datang pula Abdullah bin Amir membawa harta yang banyak pula. Dan ditambah dengan keluarga Umayyah yang ada di Hejaz, mereka menggabungkan diri akan menuntut bela Utsman.
Ketika telah sampai ke daerah yang bernama Marbad, pasukan Aisyah telah mencapai 3.000 orang yang di dalamnya terdapat sekitar 1.000 orang Persia. Dari Basrah, banyak umat islam yang hendak ikut tergabung bersama pasukan ummul mu’minin.[5]
Ada faktor penting lain yang diperkirakan mendorong Aisyah mengikuti perang jamal, yaitu faktor Abdullah bin Zubair, putera saudara perempuannya bernama Asma. Abdullah bin Zubair ini diambil Aisyah dari Asma, dijadikan anak angkatnya, diasuh dan dididiknya di rumahya sendiri, karena Aisyah tiada dikaruniai anak. Oleh karena itu Aisyah biasa dipanggil Ummul Abdillah (ibunda Abdullah).
Abdullah mempunyai ambisi hendak menduduki kursi khalifah, tetapi keinginannya itu terhalang karena Ali. Maka dihasutnyalah Aisyah – bibinya – untuk menceburkan diri ke dalam peperangan melawan Ali, siapa tahu kalau Ali gugur, kesempatan akan terbuka baginya, karena tak da lagi orang yang akan menyainginya.
Dilihat secara umum, penduduk Basrah pecah dua, ada yang menyokong dan ada yang menantang. Antara kedua golongan ini terjadi perkelahian yang banyak memakan korban. Ratusan yang mati terutama dari golongan yang menantang Aisyah.
Kemudian Ali datang dengan balatentara yang banyak jumlahnya. Pertama-tama diusahakannya supaya Aisyah dan pengikut-pengikutnya mengurungkan maksud mereka. Dan kepada beberapa orang di antara mereka, diperingatkan Ali akan bai’ah dan sumpah seti yang telah diberikan mereka.
Nasehat Ali termakan oleh mereka. Diadakan perundingan yang hampir berhasil, kaum muslimin akan terhindar dari bahaya perang. Tetapi tanpa mendapat izin dari Ali, malah tidak setahunya, pengikut-pengikut Abdullah bin Saba’ memancing perkelahian dan dibalas oleh pengikut-pengikut Aisyah, maka terjadilah pertempuran antara dua golongan kaum muslimin, pengikut Ali dan pengikut Aisyah.
Pertempuran dalam perang ini terjadi sangat segit, sehingga Zubair melarikan diri. Dia dikejar oleh beberapa orang yang benci kepadanya, lalu dibunuh. Begitu juga Thalhah telah terbunuh pada permulaan perang ini. Akhirnya setelah unta yang ditunggangi ummul Mu’minin dapat dibunuh, maka berhentilah pertempuran dengan kemenangan di pihak Ali.[6]
C.    Perang Shiffin
Perang Shiffin adalah peperangan antara Ali dan Muawiyah. Muawiyah adalah anak Abu Sufyan paman Utsman. Pemuka Bani Umayyah yang amat disegani dan dipatuhi oleh laskarnya.
Dengan memperhatikan selintas lalu, akibatnya yang kelihatan ialah Ali menang, tetapi jika diperhatikan dengan teliti kelihatanlah bahwa perang jamal ini akibatnya sangat besar dan amat dalam dari yang kelihatan semula.
Ribuan tentara Ali telah gugur. Hal ini telah melemahkan tentara Ali. Selanjutnya, pendukung-pendukung Aisyah yang terdiri dari kebanyakan dari penduduk Makkah, Madinah dan Basrah, ditambah dengan sahabat-sahabat Aisyah sendiri, telah gugur pula sebesar jumlah tersebut.
Banyaknya kaum muslimin yang gugur, menimbulkan dendam dan kusumat terhadap Ali. Jika ditilik pula laskar Ali, kebanyakan dari mereka belum pernah sebelumnya berkenalan dengan Ali, dan belum pernah berhutang budi kepada Ali, jadi hubungan yang akrab tidak ada. Untuk merangkul mereka, Ali tidak memiliki kekayaan yang cukup untuk menarik pahlawan-pahlawan dan orang-orang yang menyambung nyawa. Sekiranya kekayaan itu ada, Ali tidaklah akan gampang saja mengeluarkan harta kekayaan Tuhan itu, jika tidak pada tempatnya.
Sementara kekuasaan  Muawiyah telah berurat akar di Syam. Sebagai seorang politikus ulung dia dapat mempergunakan kesempatan. Dia tahu betul bahwa jalan yang paling dekat untuk memikat hati manusia ialah: pemberian dan tipu muslihat.
Negeri Syam adalah negeri yang kaya raya, dan rakyatnya makmur. Semenjak mereka masuk islam, bahkan semenjak sebelaum daerah itu dimasuki islam, penduduknya belum pernah merasakan pemerintah yang selama dan semakmur yang dijalankan Muawiyah.
Amr bin Ash juga menggabungkan diri dengan Muawiyah dan dia pun masih keluarga Umayyah juga. Banyak lagi orang-orang terkemuka dan suku-suku arab yang terang-terangan memihak Muawiyah. Sementara itu, Muawiyah sudah sejak lama dapat membentuk tentara yang disiplin di Syam.[7]
Perang jamal mengakibatkan gugurnya ribuan tentara Ali, berarti dia kehilangan tenaga yang baik. Sementara itu Muawiyah memperkuat laskarnya dengan membagi-bagi uang kepada merak dan pengikutnya, sehingga ikatan kesatuan mereka menjadi kuat.
Mereka dapat dihasut Muawiyah menantang pembunuh-pembunuh Utsman. Baju gamis Utsman yang berlumuran darah dibentangkan Muawiyah di mimbar masjid. Berapa buah anak jari tangan isteri Utsman yang telah terpotong waktu dia menghambat pukulan-pukulan kaum pemberontak atas suaminya, ikut pula digantungkan Muawiyah pada baju gamis Utsman itu.[8]
Penduduk Syam menolak memberikan jabatan khalifah kepada Ali, karena hal itu menurut mereka berarti menyerahkan jabatan itu kepada Bani Hasyim untuk selamanya. Mereka berpendapat bahwa jabatan khalifah itu hak kaum muslimin. Dan mereka memihak kepada Muawiyah karena kehidupan mereka bertambah baik dan makmur dibawah pemerintahannya.
Dalam keadaan demikian, Ali maju dengan tentaranya ke Syam. Kedatangan Ali disambut oleh laskar Muawiyah. Kedua laskar bertemu di sebuah tempat dekat sungai Furat. Ali sudah berkali-kali meminta Muawiyah membai’ahnya dan bersatu dengannya, tapi Muawiyah tidak mendengarkan.[9]
Pertempuran terjadi di antara kedua laskar. Ali dengan keberaniannya dapat membangkitkan semangat dan kekuatan laskarnya, sehingga kemenangan sudah membayang baginya. Muawiyah yang sudah cemas, buru-buru memanggil Amr bin Ash. Dalam kondisi yang betul-betul kritis tersebut, Amr bin Ash mengusulkan mengangkat al-Quran tinggi-tinggi sebagai pertanda mengajak mengajak laskar lawan untuk melakukan tahkim kepada kitabullah.[10]
Laskar Ali menyambut dan mendukung rencana tahkim kepada al-Quran tersebut dan mendinginkan semangat untuk berperang. Akan tetapi berbeda halnya dengan Amirul mu’minin, beliau tetap bersikeras memberikan semangat kepada pasukannya agar tetap berperang dan dan tidak menghiraukan seruan musuh. Ali memberikan peringatan kepada laskarnya akan tipu-daya yang yang dilakukan Amr bin Ash. Tetapi seruan Ali tidak mendapat perhatian, malahan mereka memaksa Ali supaya mengumumkan bahwa perang dihentikan. Ali terpaksa mengikuti.
D.    Tahkim
Kedua laskar memutuskan untuk memilih dua orang pelaku perdamaian (hakamain) dari kedua belah pihak. Muawiyah menugaskan Amr bin Ash sebagai perwakilan perdamaian dari pihaknya. Sedangkan dari pihak Ali ditunjuklah Abdullah bin Abbas,hanya saja kaum Khawarij dan penduduk Yaman menolak, mereka malah meminta Abu Musa al-Asy’ari untuk menjadi perwakilan perdamaian. Ali terpaksa menerima hal ini karena Abu Musa al-Asy’ari dipilih oleh suara terbanyak.
Kedua perwakilan ini berkumpul pada bulan Ramadhan. Sesungguhnya tidak terdapat keseimbangan dalam pertahkiman ini. Mereka bersepakat untuk menanggalkan pemimpin kedua belah pihak, yakni Ali dan Muawiyah. Maka tampillah Abu Musa al-Asy’ari dan Amr bin Ash untuk mengumumkan hasil tahkim mereka ke hadapan khalayak. Amr bin Ash mempersilakan Abu Musa al-Asy’ari untuk maju terlebih dahulu. Maka majulah Abu Musa mengumumkan bahwa dia telah menurunkan Ali dari jabatannya. Tetapi setelah itu, Amr bin Ash maju mengumumkan bahwa dia setuju memperhentikan Ali, kemudian diumumkannya bahwa dia menetapkan Muawiyah.
Peristiwa tahkim menimbulkan perpecahan pada laskar Ali. Kaum Khawarij mulailah memberontak dan meninggalkan Ali, dengan alasan Ali menerima tahkim, padahal kebanyakan kaum khawarij tadinya memaksa Ali supaya menerima tahkim. Mereka bukan tidak mengakui bahwa mereka tadinya mendesak Ali supaya menerima tahkim. Tetapi mereka masih menyalahkan Ali, kata mereka : “Kami telah salah, tetapi mengapa engkau ikut pekataan kami, padahal engkau tahu bahwa kami salah. Sebagai seorang khalifah, harus mempunyai pandangan yang jauh, melebihi pandangan kami, dan pandangan yang lebih tepat dari pendapat kami.” [11]
Kaum Khawarij tidak hanya meninggalkan Ali, malahan mereka juga melakukan berbagai pemberontakan dan pelanggaran di Irak.
Ali masih berusaha mengembalikan mereka kepada kebenaran dengan berbagai cara, tapi tidak berhasil. Akhirnya Ali mengambil keputusan memerangi mereka. Walaupun diperangi, namun mereka tidak dapat dihancurkan. Karena kalau Ali dapat menghancurkan mereka pada satu waktu atau tempat, lantas di wktu atau di tempat lain timbul lgi laskar mereka yang baru. Demikian seterusnya. Maka merosotlah kekuatan dan kekuasaan Ali.
Sementara di Syam kekuasaan dan kekuatan Muawiyah semakin kuat, ditambah lagi Sa’ad bin Abi Waqas dan Abdullah bin Umar juga menggabungkan diri dengan Muawiyah.
E.     Akhir Riwayat Ali
Pada tahun 40H, tiga orang Khawarij yaitu Abdurrahman bin Muljam, Barak bin Abdillah at-Tamimy dan Amr bin Bakr at-Tamimy, berkomplot untuk membunuh Ali, Muawiyah dan Amr bin Ash. Karena menurut tiga orang Khawarij ini ketiga pemimpin inilah yang menyebabkan banyaknya pertikaian, perselisihan dan peperangan.
Maka Abdurrahman bin Muljam berangkat ke Kufah untuk membunuh Ali. Dia berhasil membunuh Ali dengan pedangnya pada saat Ali sedang memanggil orang untuk sholat. Orang-orang yang sholat di masjid itu dapat menangkap ibnu muljam, yang kemudian setelah Ali berpulang ke rahmatullah dia dibunuh.
Adapun Barak dapat menikam Muawiyah, tetapi tidak sampai membawanya mati. Sedangkan Amr bin Bark telah menantikan Amr bin Ash keluar untuk sholat subuh, tetapi beliau tidak keluar, karena kesehatannya terganggu.[12]
Dengan berpulangnya Ali ke rahmatullah habislah masa pemerintahan al Khulafaur Rasyidin.



[1] Prof.Dr.syed Hussain Mohammad Jafri, Moralitas Politik Islam, Cet.I, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2003), h.16
[3] Hilmi Ali Sy’ban, ‘Ali bin Abu Thalib, Cet.I, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2004), h.32
[4] Prof.Dr.A.Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jilid I, Cet.V, (Jakarta: Pustaka Al husna, 1987), h.283-284
[5] Hilmi Ali Sy’ban,  Op.Cit., , h.50
[6] Prof.Dr.A.Syalabi, Op.Cit., , h.292
[7] Ibid., h.300
[8] Ibid.
[9] Ibid.
[10] Hilmi Ali Sy’ban, Op.Cit., , h.73
[11] Prof.Dr.A.Syalabi, Op.Cit,. h.304
[12] Ibid., h.307

DZUL KHUWAISHIROH, SI KHAWARIJ PERTAMA DARI NEJD

Tercatat dalam sejarah, bahwa pemberontakan pertama kali dalam Islam dilakukan oleh Dzul-Khuwaishirah, yang kemudian menurunkan generasi yang berpemikiran Khawarij seperti dia. Lalu ada Abdullah bin Saba’ yang menciptakan gerakan Syi’ah. Pada perkembangan berikutnya, tidak satu pemberontakan pun kecuali pelakunya adalah dua saudara kembar ini: Khawarij dan Syi’ah, atau orang-orang teracuni pemikiran dua aliran sesat tersebut.
Imam Ibnul-Jauzi berkata dalam kitabnya Talbis Iblis:

“Khawarij yang pertama dan yang paling jelek adalah Dzul-Khuwaishirah.”

Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri, bahwa beliau berkata:
‘Ali pernah mengirim dari Yaman untuk Rasulullah, sepotong emas dalam kantong kulit yang telah disamak, dan emas itu belum dibersihkan dari kotorannya. Maka Nabi membaginya kepada empat orang: ‘Uyainah bin Badr, Aqra’ bin Habis, Zaid al-Khail, dan yang ke-empat ‘Alqamah atau ‘Amir bin ath-Thufail. Maka seseorang dari para shahabatnya menyatakan:
“Kami lebih berhak dengan (harta) ini dibanding mereka.”
Ucapan itu sampai kepada Nabi, maka beliau bersabda:
“Apakah kalian tidak percaya kepadaku, padahal aku adalah kepercayaan Dzat yang ada di langit (yakni Allah), wahyu turun kepadaku dari langit di waktu pagi dan sore”.
Kemudian datanglah seorang laki-laki yang cekung kedua matanya, menonjol bagian atas kedua pipinya, menonjol kedua dahinya, lebat jenggotnya, botak kepalanya, dan tergulung sarungnya. Orang itu berkata:
“Takutlah kepada Allah wahai Rasulullah!”
Maka Rasulullah kemudian berkata: “Celaka engkau! Bukankah aku manusia yang paling takut kepada Allah?”
Kemudian orang itu pergi. Maka Khalid bin al-Walid berkata: “Wahai Rasulullah bolehkah aku penggal lehernya?”
Nabi berkata: “Jangan, dia masih shalat (yakni masih muslim).”
Khalid berkata: “Berapa banyak orang yang shalat dan ber-syahadat ternyata bertentangan dengan isi hatinya.”
Nabi berkata: “Aku tidak diperintah untuk meneliti isi hati manusia, dan membelah dada mereka.”
Kemudian Nabi melihat kepada orang itu, sambil berkata:
“Sesungguhnya akan keluar dari keturunan orang ini sekelompok kaum yang membaca Kitabullah (al-Qur’an) secara kontinyu, namun tidak melampaui tenggorokan mereka (*yakni tidak paham makna aslinya). Mereka melesat (keluar) dari (batas-batas) agama seperti melesatnya anak panah dari (sasaran) buruannya.”
Dan saya kira beliau berkata:
“Jika aku menjumpai mereka, niscaya aku akan bunuh mereka seperti dibunuhnya kaum Tsamud.”

Dalam riwayat lain:

Ketika kami bersama Rasulullah, beliau sedang membagi … tiba-tiba Dzul-khuwaishirah —seseorang dari Bani Tamim— mendatangi beliau kemudian berkata:
“Wahai Rasulullah, berbuat adil-lah!”
Rasulullah berkata: “Celaka engkau, siapa lagi yang akan berbuat adil jika saya sudah (dikatakan) tidak adil. Sungguh rugi dan rugi saya jika saya tidak bisa berbuat adil.”
Maka ‘Umar berkata: “Wahai Rasulullah izinkan saya untuk memenggal lehernya!”
Rasulullah menjawab:
“Biarkan dia. Sesungguhnya dia mempunyai pengikut, di mana kalian merendahkan (menganggap kecil) shalat kalian dibanding shalat mereka, shaum kalian dibanding shaum mereka. Mereka membaca al-Qur’an tapi tidak sampai ke tenggorokan mereka. Mereka melesat (keluar) dari (batas-batas) agama seperti melesatnya anak panah dari (sasaran) buruannya ….”
[Muttafaqun ‘aIaihi, HR. AI-Bukhari no. 3344, 3610, 4351, 4667,5058, 6163, 6931, 6933, 7432, 7562; Muslim no. 1064, 1065.]
…akan keluar dari keturunan orang ini suatu kaum yang mereka itu ahli membaca Al Qur’an, namun bacaan tersebut tidaklah melewati tenggorokan mereka. Mereka melesat (keluar) dari (batas-batas) agama seperti melesatnya anak panah dari (sasaran) buruannya. Mereka membunuhi ahlul-Islam dan membiarkan hidup (tidak mereka bunuh) ahlul-Autsan (orang-orang kafir). Jika aku sampai mendapati mereka, akan aku bunuh mereka dengan cara pembunuhan terhadap kaum ‘Aad.”
[Muttafaqun ‘aIaih, HR. AI-Bukhari 3344, Muslim 1064; Abu Dawud 4764.]
Imam Ibnul-Jauzi berkata:
“Orang itu dikenal dengan nama Dzul-Khuwaishirah at-Tamimi. Dia adalah Khawarij pertama dalam sejarah Islam. Penyebab kebinasaannya adalah karena dia merasa puas dengan pendapatnya sendiri. Kalau dia berilmu tentu dia akan tahu bahwa tidak ada pendapat yang lebih tinggi dari pendapat Rasulullah.”
Imam al-Barbahari berkata di dalam Syarhus-Sunnah hal.78:
“Setiap orang yang memberontak kepada imam (pemerintahan) kaum muslimin adalah Khawarij, dan berarti dia telah memecah belah kesatuan kaum muslimin dan menentang sunnah, serta matinya seperti mati jahiliyyah.”
Asy-Syahrastani berkata:
“Setiap orang yang memberontak kepada imam yang telah disepakati kaum muslimin adalah Khawarij. Sama saja, apakah dia memberontak di masa shahabat kepada al-Khulafa-ur-Rasyidun, atau setelah mereka di masa tabi’in dan para imam di setiap zaman.”
Ibnu Hazm al-Andalusi berkata:
“…. Dzul Khuwaishirah yang sangat bodoh dan rendah derajat keagamaannya sehingga ia menyalahkan Nabi dalam keputusan beliau saat pembagian ghanimah. Ia memandang dirinya lebih baik dari Nabi. Padahal ia meyakini bahwa beliau adalah utusan Allah Ta’ala yang jadi panutan dan pembawa agama Islam. Tanpa Rasulullah, mungkin ia tak lebih dari seekor keledai, bahkan bisa jadi lebih buruk. Kami berlindung kepada Allah dari kesesatan.”
Ibnu Taimiyah berkata tentang Khawarij:
“Pangkal kesesatan mereka karena meyakini bahwa para imam dan mayoritas umat Islam tidak berbuat adil dan sesat. Ini juga merupakan titik kesalahan orang-orang yang keluar dari sunnah, seperti Syiah Rafidhah dan lainnya. Mereka menganggap suatu kezaliman sebagai kekufuran, akibatnya banyak hukum yang mereka karang-karang sendiri.”
Ibnu al-Jauzi juga menjelaskan tentang kebodohan mereka, ia berkata:
“Mereka telah menghalalkan membunuh anak-anak, namun tidak menghalalkan memakan buah tanpa membayar harganya. Mereka berpayah-payah dalam beribadah hingga tidak tidur malam. Ibnu Muljam ketakutan saat lidahnya dipotong karena khawatir tidak dapat berzikir. Mereka menghalalkan membunuh Ali kemudian menghunuskan pedangnya kepada orang-orang muslim. Tidak mengherankan jika mereka sudah puas dengan keilmuan mereka dan merasa lebih pintar daripada Ali. Karena Dzul-Khuwaishirah sendiri pernah mengatakan kepada Rasulullah: “Berbuatlah adil, anda tidak adil.” Iblis saja tidak akan pernah melakukan tindakan serendah itu. Kami berlindung kepada Allah dari kesesatan.”

FITNAH DZUL KHUWAISHIROH



Fitnah orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari Bani Tamim
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda bahwa fitnah datangnya dari orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari Bani Tamim yakni orang-orang yang menyempal keluar (kharaja) dari mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham) yang disebut dengan khawarij.
Khawarij adalah bentuk jamak (plural) dari kharij (bentuk isim fail) artinya yang keluar.
Khawarij adalah orang-orang yang menyalahkan umat Islam lainnya yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka.
Oleh karena mereka salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah sehingga mengkafirkan umat Islam yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka dan ada yang berujung menghalalkan darah atau membunuh umat Islam yang yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka.
Berikut ciri-ciri orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim atau kaum khawarij.
1. Suka berdalil atau mengutip ayat Al Qur’an dan Hadits namun salah paham
Orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah, penduduk Najed bani Tamim atau kaum khawarij disebut oleh Rasulullah dengan kata kiasan “orang-orang muda” yakni orang-orang yang belum memahami agama dengan baik, mereka seringkali berdalil atau mengutip ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi, tapi itu semua dipergunakan untuk menyesatkan, atau bahkan untuk mengkafirkan orang-orang yang berada di luar kelompok mereka. Padahal kualitas iman mereka sedikitpun tidak melampaui kerongkongan mereka.
Telah bercerita kepada kami Muhammad bin Katsir telah mengabarkan kepada kami Sufyan dari Al A’masy dari Khaitsamah dari Suwaid bin Ghafalah berkata, ‘Ali radliallahu ‘anhu berkata; Sungguh, aku terjatuh dari langit lebih aku sukai dari pada berbohong atas nama beliau shallallahu ‘alaihi wasallam dan jika aku sampaikan kepada kalian tentang urusan antara aku dan kalian, (ketahuilah) bahwa perang itu tipu daya. Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang bersabda: Akan datang di akhir zaman orang-orang muda dalam pemahaman (lemah pemahaman atau sering salah pahaman). Mereka berbicara dengan ucapan manusia terbaik (Khairi Qaulil Bariyyah, maksudnya suka berdalil dengan Al Qur’an dan Hadits)) namun mereka keluar dari agama bagaikan anak panah melesat keluar dari target buruan yang sudah dikenainya. Iman mereka tidak sampai ke tenggorokan mereka. (HR Bukhari 3342)
2. Suka menganggap mayoritas kaum muslim telah rusak
Jika seseorang beranggapan mayoritas kaum muslim telah rusak maka sesungguhnya dia sendri yang rusak
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ بْنِ قَعْنَبٍ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ سَلَمَةَ عَنْ سُهَيْلِ بْنِ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ح و حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى قَالَ قَرَأْتُ عَلَى مَالِكٍ عَنْ سُهَيْلِ بْنِ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِذَا قَالَ الرَّجُلُ هَلَكَ النَّاسُ فَهُوَ أَهْلَكُهُمْ
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Maslamah bin Qa’nab; Telah menceritakan kepada kami Hammad bin Salamah dari Suhail bin Abu Shalih dari Bapaknya dari Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Demikian juga diriwayatkan dari jalur lainnya, Dan telah menceritakan kepada kami Yahya bin Yahya dia berkata; Aku membaca Hadits Malik dari Suhail bin Abu Shalih dari Bapaknya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Apabila ada seseorang yang berkata; ‘Celakalah (rusaklah) manusia’, maka sebenarnya ia sendiri yang lebih celaka (rusak) dari mereka. (HR Muslim 4755)
3. Suka “menjelaskan tentang kekafiran” yakni menggunakan ayat-ayat yang diturunkan bagi orang-orang kafir untuk menyerang kaum muslim yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka
Orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim atau kaum khawarij suka “menjelaskan tentang kekafiran” yakni menggunakan ayat-ayat yang diturunkan bagi orang-orang kafir untuk menyerang kaum muslim yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka. Abdullah bin Umar ra dalam mensifati kelompok khawarij mengatakan: “Mereka menggunakan ayat-ayat yang diturunkan bagi orang-orang kafir lantas mereka terapkan untuk menyerang orang-orang beriman”.[Lihat: kitab Sahih Bukhari jilid:4 halaman:197]
4. Suka menuduh muslim lainnya telah terjerumus kemusyrikan
Orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah, penduduk Najed bani Tamim atau kaum khawarij terhadap muslim lainnya yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka suka dituduh musyrik.
Dari Hudzaifah Radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya yang paling aku khawatirkan atas kamu adalah seseorang yang telah membaca al-Qur’an, sehingga ketika telah tampak kebagusannya terhadap al-Qur’an dan dia menjadi pembela Islam, dia terlepas dari al-Qur’an, membuangnya di belakang punggungnya, dan menyerang tetangganya dengan pedang dan menuduhnya musyrik”. Aku (Hudzaifah) bertanya, “Wahai nabi Allah, siapakah yang lebih pantas disebut musyrik, penuduh atau yang dituduh?”. Beliau menjawab, “Penuduhnya”.
Siapapun yang menuduh muslim lainnya musyrik atau telah kafir namun karena salah memahami Al Qur’an dan As Sunnah sehingga kembali kepada si penuduh. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Siapa pun orang yang berkata kepada saudaranya, ‘Wahai kafir’ maka sungguh salah seorang dari keduanya telah kembali dengan kekufuran tersebut, apabila sebagaimana yang dia ucapkan. Namun apabila tidak maka ucapan tersebut akan kembali kepada orang yang mengucapkannya.” (HR Muslim)
5. Suka mengkhawatirkan muslim lainnya telah terjerumus kemusyrikan
Sedangkan Rasulullah bersabda, “Demi Allah, saya tidak mengkhawatirkan kalian akan berbuat syirik sepeninggalku”.
Berikut hadits selengkapnya,
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Aku lebih dahulu wafat daripada kalian, dan aku menjadi saksi atas kalian, dan aku demi Allah, sungguh telah melihat telagaku sekarang, dan aku diberi kunci-kunci perbendaharaan bumi atau kunci-kunci bumi. Demi Allah, saya tidak mengkhawatirkan kalian akan berbuat syirik sepeninggalku, namun yang justru aku khawatirkan atas kalian adalah kalian bersaing terhadap kekayaan-kekayaan bumi.” (HR Bukhari 5946)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Aku mendahului kalian ke telaga. Lebar telaga itu sejauh antara Ailah ke Juhfah. Aku tidak khawatir bahwa kalian akan kembali musyrik sepeninggalku. Tetapi yang aku takutkan ialah kamu terpengaruh oleh dunia. Kalian berlomba-lomba untuk mendapatkannya kemudian berbunuh-bunuhan, dan akhirnya kalian musnah seperti kemusnahan umat sebelum kalian”. (HR Muslim 4249)
6. Suka menghalalkan darah dan membunuh orang-orang Islam karena kesalahpahaman mereka dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah memperingatkan bahwa orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari Bani Tamim atau kaum khawarij karena kesalahpahaman mereka dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah sampai mereka menghalalkan darah dan membunuh orang-orang Islam.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Dari kelompok orang ini, akan muncul nanti orang-orang yang pandai membaca Al Qur`an tetapi tidak sampai melewati kerongkongan mereka, bahkan mereka membunuh orang-orang Islam, dan membiarkan para penyembah berhala; mereka keluar dari Islam seperti panah yang meluncur dari busurnya. Seandainya aku masih mendapati mereka, akan kumusnahkan mereka seperti musnahnya kaum ‘Ad. (HR Muslim 1762)
Mereka membunuh orang-orang Islam, dan membiarkan para penyembah berhala, maksudnya mereka memahami Al Qur’an dan As Sunnah dan berkesimpulan atau menuduh kaum muslim lainnya telah musyrik (menyembah selain Allah) seperti menuduh menyembah kuburan atau menuduh berhukum dengan selain hukum Allah, sehingga membunuhnya namun dengan pemahaman mereka tersebut mereka membiarkan penyembah berhala yang sudah jelas kemusyrikannya.
Penyembah berhala yang terkenal adalah kaum Yahudi atau yang sekarang dikenal sebagai kaum Zionis Yahudi atau disebut juga dengan freemason, iluminati, lucifier yakni kaum yang meneruskan keyakinan pagan (paganisme)
Allah Ta’ala berfirman yang artinya, “Dan setelah datang kepada mereka seorang Rasul dari sisi Allah yang membenarkan apa (kitab) yang ada pada mereka, sebahagian dari orang-orang yang diberi kitab (Taurat) melemparkan kitab Allah ke belakang (punggung)nya, seolah-olah mereka tidak mengetahui (bahwa itu adalah kitab Allah). Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan sihir).” (QS Al Baqarah [2]:101-102)
Mereka bukan sekedar membiarkan namun bekerjasama dengan para penyembah berhala, kaum yang dimurkai oleh Allah Azza wa Jalla. Mereka menjadikannya teman kepercayaan, penasehat, pemimpin dan pelindung.
Firman Allah Ta’ala yang artinya
“Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang menjadikan suatu kaum yang dimurkai Allah sebagai teman? Orang-orang itu bukan dari golongan kamu dan bukan (pula) dari golongan mereka. Dan mereka bersumpah untuk menguatkan kebohongan, sedang mereka mengetahui“. (QS Al Mujaadilah [58]:14 )
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya” , (QS Ali Imran, 118)
“Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, padahal mereka tidak menyukai kamu, dan kamu beriman kepada kitab-kitab semuanya. Apabila mereka menjumpai kamu, mereka berkata “Kami beriman”, dan apabila mereka menyendiri, mereka menggigit ujung jari antaran marah bercampur benci terhadap kamu. Katakanlah (kepada mereka): “Matilah kamu karena kemarahanmu itu”. Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati“. (QS Ali Imran, 119)
Hamad bin Salamah meriwayatkan dari Adi bin Hatim, dia berkata, “Saya bertanya kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam ihwal ‘bukan jalannya orang-orang yang dimurkai’. Beliau bersabda, “Yaitu kaum Yahudi.’ Dan bertanya ihwal ‘bukan pula jalannya orang-orang yang sesat’. “Beliau bersabda, ‘Kaum Nasrani adalah orang-orang yang sesat.’
Dari Abu Musa al-Asy’ari , berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam , “Demi Allah, yang diriku ada dalam genggaman tanganNya, tidaklah mendengar dari hal aku ini seseorangpun dari umat sekarang ini. Yahudi, dan tidak pula Nasrani, kemudian tidak mereka mau beriman kepadaku, melainkan masuklah dia ke dalam neraka. ”
7. Suka menampakkan “bekas” amalnya
Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya yang paling kutakutkan atas kalian ialah syirik kecil”. Mereka bertanya, “Apakah syirik kecil tersebut wahai Rasulullah?” Jawab Beliau, “Riya’ ”. (H.R. Ahmad dengan sanad yang shahih)
Dari Abu Sa’id dia berkata, ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah keluar bersama kami, sementara kami saling mengingatkan tentang Al Masih Ad Dajjal, maka beliau bersabda: “Maukah aku beritahukan kepada kalian tentang sesuatu yang lebih aku khawatirkan terhadap diri kalian daripada Al Masih Ad Dajjal ?” Abu Sa’id berkata, “Kami menjawab, “Tentu.” Beliau bersabda: “Syirik yang tersembunyi, yaitu seseorang mengerjakan shalat dan membaguskan shalatnya dengan harapan agar ada seseorang yang memperhatikannya.” (Hadits Hasan. Sunan Ibni Majah 4204)
Orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tami suka menampakkan “bekas’ amalnya karena salah memahami firman Allah seperti yang artinya
“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada wajah mereka dari bekas sujud” (QS Al Fath [48]:29)
Tafsir Ibnu Katsir mengatakan: dalam menafsirkan “tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka” Ibnu Abbas mengatakan perilaku yang baik. Mujahid dan lainnya mengatakan khusyu’ dan tawadhu’. (Tafsir Ibnu Katsir, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut Juz. VII, Hal. 337)
Dari Manshur, Aku bertanya kepada Mujahid tentang maksud dari firman Allah, ‘tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud’ (QS Al Fath [48]:29), apakah yang dimaksudkan adalah bekas di wajah? Jawaban beliau, “Bukan, bahkan ada orang yang ‘kapal’ yang ada di antara kedua matanya itu bagaikan ‘kapal’ yang ada pada lutut onta namun dia adalah orang bejat. Tanda yang dimaksudkan adalah kekhusyu’an” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3702)
Dalam al-Shawi ‘ala al-Jalalain dikatakan terjadi perbedaan pendapat mengenai makna tanda tersebut. Sebagian ulama mengatakan bagian wajah yang kena sujud itu dilihat pada hari kiamat laksana bulan purnama. Pendapat lain mengatakan pucat wajah karena berjaga malam. Sebagian lain berpendapat khusyu’ yang muncul pada anggota tubuh sehingga seperti dilihat mereka dalam keadaan sakit, padahal mereka tidak sakit.
Selanjutnya al-Shawi menegaskan tidak termasuk dari maksud tanda dari bekas sujud itu apa yang dilakukan oleh sebagian orang bodoh yang sengaja memperlihatkan tanda bekas sujud pada dahinya, maka itu adalah perbuatan kaum Khawarij. Kemudian al-Shawi mengutip hadits Nabi yang berbunyi :
اني لابغض الرجل واكره اذا رايت بين عينيه اثر السجود
Artinya : Sesungguhnya aku sangat membenci seseorang apabila aku melihat di antara dua matanya bekas sujud
(Al-Shawi, Hasyiah al-Shawi ‘ala al-Jalalain, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. IV, Hal. 106)
Hadits yang dikutip oleh al-Shawi di atas adalah hadits dari Syarik bin Syihab
Dari al Azroq bin Qois, Syarik bin Syihab berkata, “Aku berharap bisa bertemu dengan salah seorang shahabat Muhammad yang bisa menceritakan hadits tentang Khawarij kepadaku. Suatu hari aku berjumpa dengan Abu Barzah yang berada bersama satu rombongan para shahabat. Aku berkata kepadanya, “Ceritakanlah kepadaku hadits yang kau dengar dari Rasulullah tentang Khawarij!”. Beliau berkata, “Akan kuceritakan kepada kalian suatu hadits yang didengar sendiri oleh kedua telingaku dan dilihat oleh kedua mataku.
Sejumlah uang dinar diserahkan kepada Rasulullah lalu beliau membaginya. Ada seorang yang plontos kepalanya dan ada hitam-hitam bekas sujud di antara kedua matanya. Dia mengenakan dua lembar kain berwarna putih. Dia mendatangi Nabi dari arah sebelah kanan dengan harapan agar Nabi memberikan dinar kepadanya namun beliau tidak memberinya. Dia lantas berkata, “Hai Muhammad hari ini engkau tidak membagi dengan adil”. Mendengar ucapannya, Nabi marah besar. Beliau bersabda, “Demi Allah, setelah aku meninggal dunia kalian tidak akan menemukan orang yang lebih adil dibandingkan diriku”. Demikian beliau ulangi sebanyak tiga kali.
Kemudian beliau bersabda, “Akan keluar dari arah timur orang-orang yang seperti itu penampilan mereka. Dia adalah bagian dari mereka. Mereka membaca al Qur’an namun al Qur’an tidaklah melewati tenggorokan mereka. Mereka melesat dari agama sebagaimana anak panah melesat dari binatang sasarannya setelah menembusnya kemudia mereka tidak akan kembali kepada agama. (HR Ahmad no 19798)
Dari Salim Abu Nadhr, ada seorang yang datang menemui Ibnu Umar. Setelah orang tersebut mengucapkan salam, Ibnu Umar bertanya kepadanya, “Siapakah anda?”. “Aku adalah anak asuhmu”, jawab orang tersebut.
Ibnu Umar melihat ada bekas sujud yang berwarna hitam di antara kedua matanya. Beliau berkata kepadanya, “Bekas apa yang ada di antara kedua matamu? Sungguh aku telah lama bershahabat dengan Rasulullah, Abu Bakr, Umar dan Utsman. Apakah kau lihat ada bekas tersebut pada dahiku?” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3698)
Dari Humaid bin Abdirrahman, aku berada di dekat as Saib bin Yazid ketika seorang yang bernama az Zubair bin Suhail bin Abdirrahman bin Auf datang. Melihat kedatangannya, as Saib berkata, “Sungguh dia telah merusak wajahnya. Demi Allah bekas di dahi itu bukanlah bekas sujud. Demi Allah aku telah shalat dengan menggunakan wajahku ini selama sekian waktu lamanya namun sujud tidaklah memberi bekas sedikitpun pada wajahku” (Riwayat Baihaqi dalam Sunan Kubro no 3701).
8.  Suka keras terhadap sesama muslim  yang tidak sepaham (sependapat) dan bahkan membunuhnya namun lemah lembut terhadap orang-orang kafir
Dalam syarah Shahih Muslim, Jilid. 17, No.171 diriwayatkan Khalid bin Walīd ra bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tentang orang-orang seperti Dzul Khuwaisarah penduduk Najed dari bani Tamim yang suka menampakkan “bekas” amalnya dan berakhlak buruk dengan pertanyaan,
“Wahai Rasulullah, orang ini memiliki semua bekas dari ibadah-ibadah sunnahnya: matanya merah karena banyak menangis, wajahnya memiliki dua garis di atas pipinya bekas airmata yang selalu mengalir, kakinya bengkak karena lama berdiri sepanjang malam (tahajjud) dan janggut mereka pun lebat”
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menjawab : camkan makna ayat ini : qul in’kuntum tuhib’būnallāh fattabi’unī – Katakanlah: “Jika kamu mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. karena Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”
Khalid bin Walid bertanya, “Bagaimana caranya ya Rasulullah ? ”
Nabi shallallahu alaihi wasallam menjawab, “Jadilah orang yang ramah seperti aku, bersikaplah penuh kasih, cintai orang-orang miskin dan papa, bersikaplah lemah-lembut, penuh perhatian dan cintai saudara-saudaramu dan jadilah pelindung bagi mereka.”
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menegaskan bahwa ketaatan yang dilakukan oleh orang-orang seperti Dzul Khuwaisarah penduduk Najed dari bani Tamim dan suka “menampakkannya” (riya) tidaklah berarti apa-apa karena tidak menimbulkan ke-sholeh-an seperti bersikap ramah, penuh kasih, mencintai orang-orang miskin dan papa, lemah lembut penuh perhatian dan mencintai saudara muslim dan menjadi pelindung bagi mereka.
Indikator atau ciri-ciri atau tanda-tanda orang yang mencintai Allah dan dicintai oleh Allah adalah
1. Bersikap lemah lembut terhadap sesama muslim
2. Bersikap keras (tegas / berpendirian) terhadap orang-orang kafir
3. Berjihad di jalan Allah, bergembira dalam menjalankan kewajibanNya dan menjauhi laranganNya
4. Tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela.

9.  Status orang-orang yang terbunuh karena kesalahpahaman mereka
Sebaik-baiknya orang yang wafat karena dibunuh adalah orang-orang yang dibunuh oleh orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim atau kaum khawarij
Sedangkan seburuk-buruknya orang terbunuh adalah anjing-anjing neraka yakni terbunuhnya para pembunuh dari orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim atau kaum khawarij
Dari Abi Ghalib rahimahullah berkata: “Abu Umamah radiyallahu ‘anhu melihat kepala-kepala manusia (kaum khawarij) ditancapkan ditangga masjid Damaskus. Maka Abu Umamah radiyallahu ‘anhu berkata: Mereka adalah anjing-anjing neraka, seburuk-buruk orang yang terbunuh di kolong langit, dan sebaik-baik orang yang dibunuh adalah orang yang mereka bunuh, kemudian membaca ayat (pada hari yang diwaktu itu ada muka yang putih berserih, dan ada pula muka yang hitam buram) QS Ali Imran [3]:106, Aku berkata kepada Abu Umamah radiyallahu ‘anhu. Apakah kamu mendengarnya dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa salam? Beliau berkata, tidaklah saya mendengar kecuali sekali, dua kali tiga kali, empat kali, lima kali, enam kali, tujuh kali maka saya tidak mungkin mengabarkan hadits ini kepada kalian”. (Shahih Tirmidzi:3199).
10.  Para pembunuh karena kesalahpahaman mereka ditetapkan telah murtad
Dari hadits-hadits tentang orang-orang seperti Dzul Khuwaishirah penduduk Najed dari bani Tamim atau kaum khawarij maka dapat kita simpulkan bahwa yang ditetapkan telah murtad (keluar dari Islam) seperti melesatnya anak panah dari busurnya adalah bagi siapa saja yang karena kesalahpahamannya dalam memahami Al Qur’an dan As Sunnah sehingga menghalalkan darah atau membunuh umat Islam yang yang tidak sepaham (sependapat) dengan mereka.
Mereka membunuh orang-orang Islam yang dituduh kafir, dituduh bukan Islam, dituduh berhukum dengan hukum thaghut , dituduh musyrik menggunakan ayat-ayat yang diturunkan bagi orang-orang kafir namun mereka membiarkan atau bahkan bekerjasama dengan kaum yang dimurkai Allah yakni para penyembah berhala yang sudah jelas kemusyrikannya.
11. Jika telah bermunculan orang yang murtad, membunuh karena kesalahpahamannya
Allah Azza wa Jalla telah berfirman bahwa jika telah bermunculan orang-orang yang murtad dari agamanya seperti melesatnya anak panah dari busurnya maka hijrahlah atau ikutilah (merujuklah) kepada para ulama Allah yakni suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya
Firman Allah Ta’ala yang artinya, “Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang murtad dari agamanya maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mu’min, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha Mengetahui.” (QS Al Ma’iadah [5]:54)
Abu Musa al-Asy’ari meriwayatkan dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda , ‘Allah akan mendatangkan suatu kaum yang dicintai-Nya dan mereka mencintai Allah”. Bersabda Nabi shallallahu alaihi wasallam : mereka adalah kaummu Ya Abu Musa, orang-orang Yaman’.
Dari Jabir, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ditanya mengenai ayat tersebut, maka Rasul menjawab, ‘Mereka adalah ahlu Yaman dari suku Kindah, Sukun dan Tajib’.
Ibnu Jarir meriwayatkan, ketika dibacakan tentang ayat tersebut di depan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, beliau berkata, ‘Kaummu wahai Abu Musa, orang-orang Yaman’.
Dalam kitab Fath al-Qadir, Ibnu Jarir meriwayat dari Suraikh bin Ubaid, ketika turun ayat 54 surat al-Maidah, Umar berkata, ‘Saya dan kaum saya wahai Rasulullah’. Rasul menjawab, ‘Bukan, tetapi ini untuk dia dan kaumnya, yakni Abu Musa al-Asy’ari’.
Al-Hafidz Ibnu Hajar al-Asqalani telah meriwayatkan suatu hadits dalam kitabnya berjudul Fath al-Bari, dari Jabir bin Math’am dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkata, ‘Wahai ahlu Yaman kamu mempunyai derajat yang tinggi. Mereka seperti awan dan merekalah sebaik-baiknya manusia di muka bumi’
Dalam Jami’ al-Kabir, Imam al-Suyuthi meriwayatkan hadits dari Salmah bin Nufail, ‘Sesungguhnya aku menemukan nafas al-Rahman dari sini’. Dengan isyarat yang menunjuk ke negeri Yaman”. Masih dalam Jami’ al-Kabir, Imam al-Sayuthi meriwayatkan hadits marfu’ dari Amru ibnu Usbah , berkata Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, ‘Sebaik-baiknya lelaki, lelaki ahlu Yaman‘.
Dari Ali bin Abi Thalib, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Siapa yang mencintai orang-orang Yaman berarti telah mencintaiku, siapa yang membenci mereka berarti telah membenciku”
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah menyampaikan bahwa ahlul Yaman adalah orang-orang yang mudah menerima kebenaran, mudah terbuka mata hatinya (ain bashiroh) dan banyak dikaruniakan hikmah (pemahaman yang dalam terhadap Al Qur’an dan Hadits) sebagaimana Ulil Albab
Telah menceritakan kepada kami Abul Yaman Telah mengabarkan kepada kami Syu’aib Telah menceritakan kepada kami Abu Zinad dari Al A’raj dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda: “Telah datang penduduk Yaman, mereka adalah orang-orang yang berperasaan dan hatinya paling lembut, kefaqihan dari Yaman, hikmah ada pada orang Yaman.” (HR Bukhari 4039)
Dan telah menceritakan kepada kami Amru an-Naqid dan Hasan al-Hulwani keduanya berkata, telah menceritakan kepada kami Ya’qub -yaitu Ibnu Ibrahim bin Sa’d- telah menceritakan kepada kami bapakku dari Shalih dari al-A’raj dia berkata, Abu Hurairah berkata; “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Telah datang penduduk Yaman, mereka adalah kaum yang paling lembut hatinya. Fiqh ada pada orang Yaman. Hikmah juga ada pada orang Yaman. (HR Muslim 74)
Dari Abi Hurairah (radiyallahu ‘anhu) dari Nabi (Shalallahu ‘alaihi wassallam) beliau bersabda : “Telah datang kepada kalian Ahlul Yaman, mereka orang yang lemah lembut hatinya, Iman itu di negara Yaman, dan hikmah di negara Yaman dan fiqih (ilmu) itu di negara Yaman,”. (Muttafaqun ‘alaih).
Berkata para Ulama’ tentang arti hadits di atas :
Al-Hafidz Ibn Rajab Al-Hanbali (Rahimahullah Ta’ala) telah menggambarkan Ahlul Yaman, berkata (rahimahullah) : “Mereka orang-orang yang sedikit berbicara akan tetapi banyak beramal, oleh karena mereka orang-orang yang beriman, dan diantara arti Iman adalah beramal”.
Berkata As-Safaarini (Rahimahullah Ta’ala) : “Dan yang dimaksud bahwa Nabi (Shalallahu ‘alaihi wassalam) menyifatkan hati-hati mereka (orang-orang Yaman) dengan lemah lembut hatinya adalah bahwa mereka memilki hubungan yang erat untuk membela agama dari segala tipu-daya yang menyesatkan dan dari syahwat (hawa nafsu) yang diharamkan”. [Tsulatsiyaat Musnad Al-Imam Ahmad (1/698-699)].
Berkata Abu Bakar Ibnul ‘Arabi (Rahimahullah Ta’ala) : “Adapun pujian Ar-Rasul (Shalallahu ‘alaihi wassalam) untuk negara Yaman karena penduduk negeri tersebut orang-orang yang menolong agama dan penjaga agama Islam dan yang memberikan perlindungan kepada Ar-Rasul (Salallahu ‘Alaihi Wa Salam). Adapun arti dari “Al-Hikmah” adalah karena amalan mereka berdasarkan ilmu dan itulah orang-orang Yaman”. [‘Aridlo Al-Ahwadzi (9/45)]
Para Habib mengikuti sunnah Rasulullah hijrah ke Hadramaut, Yaman.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda bahwa jika telah bermunculan fitnah atau perselisihan atau bahkan pembunuhan terhadap umat la ilaha illallah karena perbedaan pendapat maka hijrahlah ke Hadramaut, Yaman, bumi para Wali Allah atau ikutilah (merujuklah) kepada pendapat Ahlul Hadramaut, Yaman.
Diriwayatkan dari Ibnu Abi al-Shoif dalam kitab Fadhoil al-Yaman, dari Abu Dzar al-Ghifari, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Kalau terjadi fitnah pergilah kamu ke negeri Yaman karena disana banyak terdapat keberkahan’
Diriwayatkan oleh Jabir bin Abdillah al-Anshari, Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Dua pertiga keberkahan dunia akan tertumpah ke negeri Yaman. Barang siapa yang akan lari dari fitnah, pergilah ke negeri Yaman, Sesungguhnya di sana tempat beribadah’
Abu Said al-Khudri ra meriwayatkan hadits dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, ‘Pergilah kalian ke Yaman jika terjadi fitnah, karena kaumnya mempunyai sifat kasih sayang dan buminya mempunyai keberkahan dan beribadat di dalamnya mendatangkan pahala yang banyak’
Alhamdulillah, Islam Nusantara atau ajaran Islam yang dibawa ke Nusantara oleh para ulama dari kalangan ahlul bait, keturunan cucu Rasulullah yang bersumber dari para ulama Hadramaut, Yaman
Dengan menelusuri Islam Nusantara atau Islam masuk ke Nusantara sehingga kita tegakkan ukhuwah Islamiyah dengan Islam Malaysia, Brunei, Singapore, Thailand atau Asia Tenggara bermazhab Syafi’i karena bersumber yang sama dengan apa yang disampaikan oleh Imam Ahmad Al Muhajir bin Isa bin Muhammad bin Ali Al Uraidhi bin Ja’far Ash Shodiq bin Muhammad Al Baqir bin Ali Zainal Abidin bin Sayyidina Husain ra. Imam Ahmad Al Muhajir , sejak Abad 7 H di Hadramaut Yaman, beliau menganut madzhab Syafi’i dalam fiqih , Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam akidah (i’tiqod) mengikuti Imam Asy’ari (bermazhab Imam Syafi’i) dan Imam Maturidi (bermazhab Imam Hanafi) serta tentang akhlak atau tentang ihsan mengikuti ulama-ulama tasawuf muktabaroh yang bermazhab dengan Imam Mazhab yang empat.
Di Hadramaut kini, akidah dan madzhab Imam Al Muhajir yang adalah Sunni Syafi’i, terus berkembang sampai sekarang, dan Hadramaut menjadi kiblat kaum sunni yang “ideal” karena kemutawatiran sanad serta kemurnian agama dan aqidahnya.
Dari Hadramaut (Yaman), anak cucu Imam Al Muhajir menjadi pelopor dakwah Islam sampai ke “ufuk Timur”, seperti di daratan India, kepulauan Melayu dan Indonesia. Mereka rela berdakwah dengan memainkan wayang mengenalkan kalimat syahadah, mereka berjuang dan berdakwah dengan kelembutan tanpa senjata , tanpa kekerasan, tanpa pasukan , tetapi mereka datang dengan kedamaian dan kebaikan. Juga ada yang ke daerah Afrika seperti Ethopia, sampai kepulauan Madagaskar. Dalam berdakwah, mereka tidak pernah bergeser dari asas keyakinannya yang berdasar Al Qur’an, As Sunnah, Ijma dan Qiyas.
Islam Nusantara adalah Ahlus Sunnah wal Jama’ah disingkat ASWAJA yakni ajaran Islam sebagaimana yang disampaikan Imam Ahmad Al Muhajir bermazhab Syafi’i dibawa ke Nusantara oleh para ulama keturunan cucu Rasulullah
Silahkan saksikan penjelasan Habib Luthfi bin Yahya dalam bentuk video tentang sejarah Islam Nusantara yang dipublikasikan pada http://www.youtube.com/watch?v=r2lVnJfuHW8
Prof.Dr.H. Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) dalam majalah tengah bulanan “Panji Masyarakat” No.169/ tahun ke XV11 15 februari 1975 (4 Shafar 1395 H) halaman 37-38 menjelaskan bahwa pengajaran agama Islam diajarkan langsung oleh para ulama keturunan cucu Rasulullah mulai dari semenanjung Tanah Melayu, Nusantara dan Philipina
Berikut kutipan penjelasan Buya Hamka
***** awal kutipan ****
“Rasulallah shallallahu alaihi wasallam mempunyai empat anak-anak lelaki yang semuanya wafat waktu kecil dan mempunyai empat anak wanita. Dari empat anak wanita ini hanya satu saja yaitu (Siti) Fathimah yang memberikan beliau shallallahu alaihi wasallam dua cucu lelaki dari perkawinannya dengan Ali bin Abi Thalib. Dua anak ini bernama Al-Hasan dan Al-Husain dan keturunan dari dua anak ini disebut orang Sayyid jamaknya ialah Sadat. Sebab Nabi sendiri mengatakan, ‘kedua anakku ini menjadi Sayyid (Tuan) dari pemuda-pemuda di Syurga’. Dan sebagian negeri lainnya memanggil keturunan Al-Hasan dan Al-Husain Syarif yang berarti orang mulia dan jamaknya adalah Asyraf. Sejak zaman kebesaran Aceh telah banyak keturunan Al-Hasan dan Al-Husain itu datang ketanah air kita ini. Sejak dari semenanjung Tanah Melayu, kepulauan Indonesia dan Pilipina.
Harus diakui banyak jasa mereka dalam penyebaran Islam diseluruh Nusantara ini. Diantaranya Penyebar Islam dan pembangunan kerajaan Banten dan Cirebon adalah Syarif Hidayatullah yang diperanakkan di Aceh. Syarif kebungsuan tercatat sebagai penyebar Islam ke Mindanao dan Sulu. Yang pernah jadi raja di Aceh adalah bangsa Sayid dari keluarga Jamalullail, di Pontianak pernah diperintah bangsa Sayyid Al-Qadri. Di Siak oleh keluaga Sayyid bin Syahab, Perlis (Malaysia) dirajai oleh bangsa Sayyid Jamalullail. Yang dipertuan Agung 111 Malaysia Sayyid Putera adalah Raja Perlis. Gubernur Serawak yang ketiga, Tun Tuanku Haji Bujang dari keluarga Alaydrus.
Kedudukan mereka dinegeri ini yang turun temurun menyebabkan mereka telah menjadi anak negeri dimana mereka berdiam. Kebanyakan mereka jadi Ulama. Mereka datang dari hadramaut dari keturunan Isa Al-Muhajir dan Fagih Al-Muqaddam. Yang banyak kita kenal dinegeri kita yaitu keluarga Alatas, Assegaf, Alkaff, Bafaqih, Balfaqih, Alaydrus, bin Syekh Abubakar, Alhabsyi, Alhaddad, Al Jufri, Albar, Almusawa, bin Smith, bin Syahab, bin Yahya …..dan seterusnya.
Yang terbanyak dari mereka adalah keturunan dari Al-Husain dari Hadramaut (Yaman selatan), ada juga yang keturunan Al-Hasan yang datang dari Hejaz, keturunan syarif-syarif Makkah Abi Numay, tetapi tidak sebanyak dari Hadramaut. Selain dipanggil Tuan Sayid mereka juga dipanggil Habib. Mereka ini telah tersebar didunia. Di negeri-negeri besar seperti Mesir, Baqdad, Syam dan lain-lain mereka adakan NAQIB, yaitu yang bertugas mencatat dan mendaftarkan keturunan-keturunan Sadat tersebut. Disaat sekarang umum- nya mencapai 36-37-38 silsilah sampai kepada Sayyidina Ali bin Abi Thalib dan Sayyidati Fathimah Az-Zahra ra.
Kesimpulan dari makalah Prof.Dr.HAMKA: Baik Habib Tanggul di Jawa Timur dan Almarhum Habib Ali di Kwitang, Jakarta, memanglah mereka keturunan dari Ahmad bin Isa Al-Muhajir yang berpindah dari Bashrah/Iraq ke Hadramaut, dan Ahmad bin Isa ini cucu yang ke tujuh dari cucu Rasulallah shallallahu ‘alaihi wasallam Al-Husain bin Ali bin Abi Thalib.”
****** akhir kutipan ******

Islam Nusantara didakwahkan merangkul budaya, melestarikan budaya, menghormati budaya, berbaur dengan budaya yang ada adalah hasil (output) dari metode pemahaman dan istinbath (menetapkan hukum perkara) dalam implementasi agama dan menghadapi permasalahan kehidupan dunia sampai akhir zaman yang bersumber dari Al Qur’an dan Hadits mengikuti metode pemahaman dan istinbath Imam Mazhab yang empat kalau di negara kita mengikuti Mazhab Syafi’i
Jadi selama budaya atau adat tersebut tidak bertentangan dengan Al Qur’an dan Hadits maka hukum asalnya adalah mubah (boleh)
Oleh karenanya Islam Nusantara mensyaratkan bagi pondok pesantren, majelis tafsir, ormas-ormas yang mengaku Islam, lembaga kajian Islam maupun lembaga-lembaga Islam lainnya termasuk lembaga Bahtsul Masail untuk dapat memahami dan beristinbat (menetapkan hukum perkara) dalam implementasi agama dan menghadapi permasalahan kehidupan dunia sampai akhir zaman yang bersumber dari Al Qur’an dan Hadits, wajib menguasai ilmu-ilmu yang terkait bahasa Arab atau ilmu tata bahasa Arab atau ilmu alat seperti nahwu, sharaf, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’) ataupun ilmu untuk menggali hukum secara baik dan benar dari al Quran dan as Sunnah seperti ilmu ushul fiqih sehingga mengetahui sifat lafad-lafad dalam al Quran dan as Sunnah seperti ada lafadz nash, ada lafadz dlahir, ada lafadz mijmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada yang umum, ada yang khusus, ada yang mutlaq, ada yang muqoyyad, ada majaz, ada lafadz kinayah selain lafadz hakikat. ada pula nasikh dan mansukh dan lain-lain Dengan penelusuran Islam Nusantara atau menelusuri Islam masuk ke Nusantara sehingga mengenali sanad ilmu (sanad guru) tersambung kepada lisannya Imam Ahmad Al Muhajir bermazhab Syafi’i yang tersambung kepada lisannya Rasulullah
Cara untuk menelusuri kebenaran adalah melalui para ulama yang sholeh yang memiliki sanad ilmu (sanad guru) tersambung kepada lisannya Rasulullah karena kebenaran dari Allah Ta’ala dan disampaikan oleh RasulNya.
Pada asalnya, istilah sanad atau isnad hanya digunakan dalam bidang ilmu hadits (Mustolah Hadits) yang merujuk kepada hubungan antara perawi dengan perawi sebelumnya pada setiap tingkatan yang berakhir kepada Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam pada matan haditsnya.
Namun, jika kita merujuk kepada lafadz Sanad itu sendiri dari segi bahasa, maka penggunaannya sangat luas. Dalam Lisan Al-Arab misalnya disebutkan: “Isnad dari sudut bahasa terambil dari fi’il “asnada” (yaitu menyandarkan) seperti dalam perkataan mereka: Saya sandarkan perkataan ini kepada si fulan. Artinya, menyandarkan sandaran, yang mana ia diangkatkan kepada yang berkata. Maka menyandarkan perkataan berarti mengangkatkan perkataan (mengembalikan perkataan kepada orang yang berkata dengan perkataan tersebut)“.
Ibnul Mubarak berkata :”Sanad merupakan bagian dari agama, kalaulah bukan karena sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa saja yang mau dengan apa saja yang diinginkannya (dengan akal pikirannya sendiri).” (Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Muqoddimah kitab Shahihnya 1/47 no:32)
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Qaasim dan Sa’iid bin Nashr, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami Qaasim bin Ashbagh : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ismaa’iil At-Tirmidziy : Telah menceritakan kepada kami Nu’aim : Telah menceritakan kepada kami Ibnul-Mubaarak : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Lahi’ah, dari Bakr bin Sawaadah, dari Abu Umayyah Al-Jumahiy : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Sesungguhnya termasuk tanda-tanda hari kiamat ada tiga macam yang salah satunya adalah diambilnya ilmu dari Al-Ashaaghir” (ulama kecil / ulama muda)
Nu’aim berkata : Dikatakan kepada Ibnul-Mubaarak : “Siapakah itu Al-Ashaaghir?”. Ia menjawab : “Orang yang berkata-kata menurut akal pikiran mereka semata. Adapun ulama kecil (ulama muda) yang meriwayatkan hadits dari Al-Kabiir (ulama besar / ulama tua / ulama sebelumnya), maka ia bukan termasuk golongan Ashaaghir itu”.
Sehinggga jika ada orang menyampaikan sesuatu berdasarkan Al Qur’an dan As Sunnah namun menyelisihi atau tidak pernah disampaikan oleh para ulama terdahulu yang memiliki sanad ilmu (sanad guru) tersambung kepada Rasulullah maka sanad ilmu (sanad guru) orang tersebut terputus pada akal pikirannya sendiri sehingga apa yang disampaikannya adalah paham baru atau ajaran baru, bukan ajaran yang disampaikan oleh lisannya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
Pada kenyataannya umat Islam berselisih karena berbeda pendapat bahkan sampai saling membunuh (bunuh membunuh) sehingga umat Islam hancur dari dalam dan meruntuhkan ukhuwah Islamiyah adalah diakibatkan orang-orang yang merasa benar sehingga merasa pasti masuk surga padahal mereka mengikuti Al Ashaaghir yakni ulama yang memahami Al Qur;an dan As Sunnah bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikirannya sendiri.
Sayyidina Umar ra menasehatkan “Yang paling aku khawatirkan dari kalian adalah bangga terhadap pendapatnya sendiri. Ketahuilah orang yang mengakui sebagai orang cerdas sebenarnya adalah orang yang sangat bodoh. Orang yang mengatakan bahwa dirinya pasti masuk surga, dia akan masuk neraka“
Janganlah mengambil pendapat atau ilmu agama dari ulama dlaif yakni orang-orang yang kembali kepada Al Qur’an dan As Sunnah bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran mereka sendiri.
Syaikh Nashir al-Asad menyampaikan bahwa para ulama menilai sebagai ulama dlaif (lemah) bagi orang-orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperoleh dan memperlihatkannya kepada ulama
Syaikh Nashir al-Asad ketika diajukan pertanyaan, “Apakah orang yang otodidak dari kitab-kitab hadits layak disebut ahli hadits ?”, menjawabnya bahwa “Orang yang hanya mengambil ilmu melalui kitab saja tanpa memperlihatkannya kepada ulama dan tanpa berjumpa dalam majlis-majlis ulama, maka ia telah mengarah pada distorsi. Para ulama tidak menganggapnya sebagai ilmu, mereka menyebutnya shahafi atau otodidak, bukan orang alim. Para ulama menilai orang semacam ini sebagai orang yang dlaif (lemah). Ia disebut shahafi yang diambil dari kalimat tashhif, yang artinya adalah seseorang mempelajari ilmu dari kitab tetapi ia tidak mendapatkan dan mendengar langsung dari para ulama, maka ia melenceng dari kebenaran. Dengan demikian, Sanad dalam riwayat menurut pandangan kami adalah untuk menghindari kesalahan semacam ini” (Mashadir asy-Syi’ri al-Jahili 10)
Boleh kita menggunakan segala macam wasilah atau alat atau sarana dalam menuntut ilmu agama seperti buku, internet, audio, video dan lain lain namun kita harus mempunyai guru untuk tempat kita bertanya karena syaitan tidak berdiam diri melihat orang memahami Al Qur’an dan Hadits
“Man la syaikha lahu fasyaikhuhu syaithan” yang artinya “barang siapa yang tidak mempunyai guru maka gurunya adalah syaitan
Al-Imam Abu Yazid Al-Bustamiy , quddisa sirruh (Makna tafsir QS.Al-Kahfi 60) ; “Barangsiapa tidak memiliki susunan guru dalam bimbingan agamanya, tidak ragu lagi niscaya gurunya syetan” Tafsir Ruhul-Bayan Juz 5 hal. 203
Orang yang berguru tidak kepada guru tapi kepada buku saja maka ia tidak akan menemui kesalahannya karena buku tidak bisa menegur tapi kalau guru bisa menegur jika ia salah atau jika ia tak faham ia bisa bertanya, tapi kalau buku jika ia tak faham ia hanya terikat dengan pemahaman dirinya sendiri menurut akal pikirannya sendiri.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,“Barangsiapa menguraikan Al Qur’an dengan akal pikirannya sendiri dan merasa benar, maka sesungguhnya dia telah berbuat kesalahan”. (HR. Ahmad)
Negara kita sebaiknya mencontoh negara tetangga Malaysia dalam upaya mencegah kekacauan yang ditimbulkan oleh mereka yang memahami Al Qur’an dan As Sunnah bersandarkan mutholaah (menelaah kitab) secara otodidak (shahafi) dengan akal pikiran mereka sendiri
Majlis Fatwa Kebangsaan Malaysia membenarkan apa dilakukan Majlis Agama Islam Negeri Sembilan yang mengeluarkan fatwa mengharamkan penyebaran Wahabi di negeri itu untuk menghindari kacau balau di dalam negeri, dan Majlis Fatwa Kebangsaan Malaysia sepakat memutuskan aliran Wahabi tidak sesuai untuk diamalkan di Malaysia
Dalam kabar tersebut Pengerusi Jawatankuasa Fatwa Kebangsaan, Prof Emeritus Tan Sri Dr Abdul Shukor Husin menyampaikan
****** awal kutipan *****
“Hak mengeluarkan fatwa adalah hak negeri masing-masing. Contoh seperti apa dilakukan Majlis Agama Islam Negeri Sembilan yang mengeluarkan fatwa mengharamkan penyebaran Wahabi di negeri itu, sememangnya ia tidak bertentangan.
“Saya fikir, negeri tersebut mengharamkan Wahabi kerana tidak mahu berlaku kacau bilau dalam masyarakat Islam negeri itu,” katanya.
Dalam pada itu, Abdul Shukor berkata, tindakan negeri tersebut juga tidak akan menjejaskan hubungan negara dan Arab Saudi kerana sememangnya itu hak negeri tersebut.
“Jika perkara itu akan menjejaskan hubungan, maknanya tiada hak kepada negeri untuk membuat keputusan sendiri.
“Malahan Jakim dan Majlis Fatwa Kebangsaan telah membincangkan perkara tersebut lebih awal sebelum isu ini kembali disensasikan,” katanya.
****** akhir kutipan *******
Begitupula Pemerintah Tunisia berencana menutup sekitar 80 masjid yang diduga kerap menghasut dan memicu kekerasan. Langkah ini dilakukan pemerintah sebagai upaya kontraterorisme setelah serangan penembakan di hotel tepi pantai di kawasan pantai wisata di Sousse, Tunisia pada Jumat (26/6)
***** awal kutipan *****
Reuters melaporkan bahwa Perdana Menteri Habib Essid menyatakan bahwa selain memicu kekerasan, terdapat dugaan puluhan masjid tersebut ikut mendanai sejumlah kelompok militan setempat.
Langkah ini diambil setelah serangan teroris “yang dilakukan kelompok radikal Wahabi” menewaskan 39 orang, sebagian wisatawan asing termasuk warga Inggris, Jerman, dan Belgia, yang hendak berlibur dan menginap di The RIU Imperial Marhaba Hotel yang terletak di tepi pantai di Sousse, 140 km dari ibukota Tunisia.
Serangan ini terjadi hampir bersamaan dengan serangan pemenggalan kepala di pabrik gas di Saint-Quentin-Fallavier di sebelah tenggara Perancis dan pengeboman bunuh diri di masjid Syiah di Kuwait ketika salat Jumat.
***** akhir kutipan *****
Sedangkan Kementerian Wakaf (Kementerian Agama) Mesir lakukan pemeriksaan di sejumlah masjid di Kairo. Dari pemeriksaan tersebut pemerintah menyita buku-buku yang berbau gerakan Salafi, terutama buku-buku yang ditulis oleh; Muhammad bin Abdul Wahab, Ibn Baz, Ibn Utsaimin, Ibn Taimiyah, Said Abdul ‘Adhim, Abdul Latif Mustahri, Abu Ishaq al-Huwaini, Mohammed Hussein Yacoub, dan Mohammed Hassan
***** awal kutipan *****
Kementerian Wakaf (Agama) mengingatkan para imam masjid, khotib dan dan petugas masjid untuk meneliti buku-buku yang ada di perpustakaan masjid, dan menyita buku-buku yang mengadopsi pemikiran wahabi yang tidak sesuai dengan toleransi dalam Islam, atau buku-buku yang berbau militansi, seperti buku-buku yang ditulis oleh ikhwanul muslimin, terutama pendahulu mereka Hasan al-Bana dan Yusuf al-Qardhawi.
Kementerian itu juga membantah berita pembakaran buku-buku yang disita, lebih lanjut ia menegaskan bahwa mereka hanya mengarahkan pemeriksaan semua buku, sebagai langkah awal pembentukan sebuah komite pemeriksaan ulang buku-buku tersebut, demi menghindari pemikiran radikal wahabi.
Sementara itu, Depertemen Kementerian Wakaf (Agama) akan terus memantau dan melakukan pemeriksaan masjid dan perpustakaan di setiap Provinsi, untuk memastikan dua tempat itu bersih dari buku-buku yang mengajak pada “militansi dan ekstremisme”, baik perafiliasi dengan pemikiran Ikhwanul Muslimin maupun Salafi Wahabi.
***** akhir kutipan *****
Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj santai saja menanggapi bocoran kawat dari Wikileaks yang menyebutkan kerajaan Saudi Arabia meminta informasi lebih lanjut atas dirinya pada kedutaannya di Indonesia karena dalam berbagai ceramahnya, ia dianggap menyerang Saudi
***** awal kutipan *****
Ya, ngak apa-apa, boleh-boleh saja. Dimana-mana saya sangat getol membela aswaja karena salafi menganggap kita ahli bid’ah. Wajar saya membela,” katanya di gedung PBNU, Jum’at (3/7).
Ia menjelaskan ajaran Wahabisme yang menjadi ajaran resmi Saudi Arabia mengharamkan maulid nabi, memusyrikkan ziarah kubur, membid’ahkan tawassul dan amalan lainnya yang menjadi tradisi warga NU.
“Ini hak kita untuk membela. Kalau kita diamkan saja gimana. Mereka dengan seenaknya hampir mengkafirkan kita,” tegasnya.
***** akhir kutipan *****
Waspadalah dengan orang-orang yang salah paham atau bahkan menyalahgunakan firman Allah (QS Al An’aam [6]:116) untuk menghasut umat Islam agar menyempal keluar (kharaja) dari mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham)
Firman Allah Ta’ala yang artinya “Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)” (QS Al An’aam [6]:116)
Yang dimaksud “menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi” adalah menuruti kaum musyrik. Hal ini dapat kita ketahui dengan memperhatikan ayat-ayat sebelumnya pada surat tersebut.
Dalam memahami Al Qur’an tidak cukup dengan ayat sepotong-potong atau satu ayat saja tanpa memperhatikan kaitan dengan ayat sebelumnya, kaitan dengan ayat lain pada surah yang lain, kaitannya dengan hadits, asbabun nuzul, gaya bahasa (uslub), kemampuan dalam balaghah, ilmu bayan dll. Contohnya dalam membaca Al Qur’an itu minimal 1 ‘Ain (sekitar setengah halaman atau 3-9 ayat). Jadi tidak asal baca / potong saja.
Mereka menyempal keluar (kharaja) dari mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham) karena mereka merasa sebagai yang dimaksud dengan Al Ghuroba atau orang-orang yang asing.
Mereka salah memahami hadits seperti,
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abbad dan Ibnu Abu Umar semuanya dari Marwan al-Fazari, Ibnu Abbad berkata, telah menceritakan kepada kami Marwan dari Yazid -yaitu Ibnu Kaisan- dari Abu Hazim dari Abu Hurairah dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Islam muncul dalam keadaan asing, dan ia akan kembali dalam keadaan asing, maka beruntunglah orang-orang yang terasing.” (HR Muslim 208)
Ghuroba atau “orang-orang yang terasing” dalam hadits tersebut bukanlah mereka yang mengasingkan diri dari para ulama yang sholeh atau mereka yang menyempal dari mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham)
Hal yang dimaksud dengan ghuroba adalah semakin sedikit kaum muslim yang sholeh diantara mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam besabda “Orang yang asing, orang-orang yang berbuat kebajikan ketika manusia rusak atau orang-orang shalih di antara banyaknya orang yang buruk, orang yang menyelisihinya lebih banyak dari yang mentaatinya”. (HR. Ahmad)
Dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda “Sesungguhnya Islam itu pada mulanya datang dengan asing dan akan kembali dengan asing lagi seperti pada mulanya datang. Maka berbahagialah bagi orang-orang yang asing”. Beliau ditanya, “Ya Rasulullah, siapakah orang-orang yang asing itu ?”. Beliau bersabda, “Mereka yang memperbaiki dikala rusaknya manusia”. [HR. Ibnu Majah dan Thabrani]
Pada akhir zaman salah satu tandanya adalah semakin sulit ditemukan muslim yang sholeh
Dari Ummul Mukminin Zainab binti Jahsy (isteri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam), beliau berkata:” (Pada suatu hari) Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam masuk ke dalam rumahnya dengan keadaan cemas sambil bersabda, “La ilaha illallah, celaka (binasa) bangsa Arab dari kejahatan (malapetaka) yang sudah hampir menimpa mereka. Pada hari ini telah terbuka bagian dinding Ya’juj dan Ma’juj seperti ini”, dan Baginda menemukan ujung ibu jari dengan ujung jari yang sebelahnya (jari telunjuk) yang dengan itu mengisyaratkan seperti bulatan. Saya (Zainab binti Jahsy) lalu bertanya, Ya Rasulullah! Apakah kami akan binasa, sedangkan di kalangan kami masih ada orang-orang yang shaleh?” Lalu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, Ya, jikalau kejahatan sudah terlalu banyak.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Marilah kita mengIkuti sunnah Rasulullah untuk mengikuti mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham) dan menghindari sekte atau firqoh yang menyempal keluar (kharaja) dari mayoritas kaum muslim (as-sawadul a’zham)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “Sesungguhnya umatku tidak akan bersepakat pada kesesatan. Oleh karena itu, apabila kalian melihat terjadi perselisihan maka ikutilah as-sawad al a’zham (mayoritas kaum muslim).” (HR.Ibnu Majah, Abdullah bin Hamid, at Tabrani, al Lalika’i, Abu Nu’aim. Menurut Al Hafidz As Suyuthi dalam Jamius Shoghir, ini adalah hadits Shohih)
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak menghimpun ummatku diatas kesesatan. Dan tangan Allah bersama jama’ah. Barangsiapa yang menyelewengkan (menyempal), maka ia menyeleweng (menyempal) ke neraka“. (HR. Tirmidzi: 2168).
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fathul Bari XII/37 menukil perkataan Imam Thabari rahimahullah yang menyatakan: “Berkata kaum (yakni para ulama), bahwa jama’ah adalah as-sawadul a’zham (mayoritas kaum muslim)“
Mayoritas kaum muslim pada masa generasi Salafush Sholeh adalah orang-orang mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yakni para Sahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in
Sedangkan pada masa sekarang mayoritas kaum muslim (as-sawad al a’zham) adalah bagi siapa saja yang mengikuti para ulama yang sholeh yang mengikuti Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan mengikuti Imam Mazhab yang empat.
Memang ada mazhab selain yang empat, namun pada masa sekarang sudah sulit ditemukan ulama yang memiliki ilmu riwayah dan dirayah dari imam mazhab selain yang empat sehingga tidak mudah untuk menjadikannya tempat bertanya.
Sebagaimana pepatah mengatakan “malu bertanya sesat di jalan” maka kesesatan dapat timbul dari keengganan untuk bertanya kepada orang-orang yang dianugerahi karunia hikmah oleh Allah Azza wa Jalla.
Allah Ta’ala berfirman yang artinya
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.” [QS. an-Nahl : 43]
“Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui” (QS Fush shilat [41]:3)
Al Qur’an adalah kitab petunjuk namun kaum muslim membutuhkan seorang penunjuk.
Al Qur’an tidak akan dipahami dengan benar tanpa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagai seorang penunjuk
Firman Allah Ta’ala yang artinya “Dan kami sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi kami petunjuk. Sesungguhnya telah datang rasul-rasul Tuhan kami, membawa kebenaran“. (QS Al A’raf [7]:43)
Secara berjenjang, penunjuk para Sahabat adalah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Penunjuk para Tabi’in adalah para Sahabat. penunjuk para Tabi’ut Tabi’in adalah para Tabi’in dan penunjuk kaum muslim sampai akhir zaman adalah Imam Mazhab yang empat.
Wassalam