Rabu, 26 Juni 2019

Sejarah Kata JANCUK

Jancok, Dancok, atau disingkat menjadi Cok (juga ditulis Jancuk atau Cuk, Ancok atau Ancuk) adalah sebuah kata yang menjadi ciri khas komunitas masyarakat di Jawa Timur, terutama Surabaya dan Malang. Meskipun memiliki konotasi buruk, kata jancok menjadi kebanggaan serta dijadikan simbol identitas bagi komunitas penggunanya, bahkan digunakan sebagai kata sapaan untuk memanggil di antara teman. 


Normalnya, kata tersebut digunakan sebagai umpatan pada saat emosi meledak, marah, atau untuk membenci dan mengumpat seseorang. Namun, sejalan dengan perkembangan pemakaian kata tersebut, makna kata jancok meluas hingga menjadi simbol keakraban dan persahabatan khas di kalangan sebagian arek-arek Suroboyo.

Etimologi"Jancok"
Menurut Kamus Online Universitas Gadjah Mada , istilah “jancuk, jancok, diancuk, diancok, cuk, atau cok” didefinisikan sebagai “sialan, keparat, brengsek (ungkapan berupa perkataan umpatan untuk mengekspresikan kekecewaan atau bisa juga digunakan untuk mengungkapkan ekspresi keheranan atas suatu hal yang luar biasa)”.

Sejarah Kata "Jancok"
Kata ini memiliki sejarah yang masih rancu. Kemunculannya banyak ditafsirkan karena adanya pelesetan oleh orang-orang terdulunya yang salah tangkap dalam pemaknaannya, dimana versi-versi ini muncul dari beberapa negara tetangga yang orang-orangnya mengucapkan kata yang memiliki intonasi berbeda namun fon-nya hampir sama. Dikarenakan orang-orang dari beberapa negara tetangga tersebut mengucapkan kata yang hampir mirip kata jancok itu dengan ekspresi marah atau geram dan semacamnya, orang-orang Jawa dulu mengartikan kata jancok (menurut lidah orang Jawa) adalah kata makian.

Setidaknya terdapat empat versi asal-mula kata "Jancok"


Versi kedatangan Arab
Salah satu versi asal-mula kata “Jancuk” berasal dari kata Da’Suk. Da’ artinya “meninggalkanlah kamu”, dan assyu’a artinya “kejelekan”, digabung menjadi Da’Suk yang artinya “tinggalkanlah keburukan”. Kata tersebut diucapkan dalam logat Surabaya menjadi “Jancok”.




Versi penjajahan Belanda
Menurut Edi Samson, seorang anggota Cagar Budaya di Surabaya, istilah Jancok atau Dancok berasal dari bahasa Belanda “yantye ook” yang memiliki arti “kamu juga”. Istilah tersebut popular di kalangan Indo-Belanda sekitar tahun 1930-an. Istilah tersebut diplesetkan oleh para remaja Surabaya untuk mencemooh warga Belanda atau keturunan Belanda dan mengejanya menjadi “yanty ok” dan terdengar seperti “yantcook”. Sekarang, kata tersebut berubah menjadi “Jancok” atau “Dancok”.

Versi penjajahan Jepang
Kata “Jancok” berasal dari kata Sudanco berasal dari zaman romusha yang artinya “Ayo Cepat”. Karena kekesalan pemuda Surabaya pada saat itu, kata perintah tersebut diplesetkan menjadi “Dancok”.

Versi umpatan
Warga Kampung Palemahan di Surabaya memiliki sejarah oral bahwa kata “Jancok” merupakan akronim dari “Marijan ngencuk” (“Marijan berhubungan badan”). Kata encuk merupakan bahasa Jawa yang memiliki arti “berhubungan badan”, terutama yang dilakukan di luar nikah. Versi lain menyebutkan bahwa kata “Jancuk” berasal dari kata kerja “diencuk”. Kata tersebut akhirnya berubah menjadi “Dancuk” dan terakhir berubah menjadi “Jancuk” atau “Jancok”.


Makna

Kata “Jancok” merupakan kata yang tabu digunakan oleh masyarakat Pulau Jawa secara umum karena memiliki konotasi negatif. Namun, penduduk Surabaya dan Malang menggunakan kata tersebut sebagai identitas komunitas mereka sehingga kata “Jancok” memiliki perubahan makna ameliorasi (perubahan makna ke arah positif).

Sujiwo Tedjo mengatakan:
“Jancuk” itu ibarat sebilah pisau. Fungsi pisau sangat tergantung dari user-nya dan suasana psikologis si user. Kalau digunakan oleh penjahat, bisa jadi senjata pembunuh. Kalau digunakan oleh seorang istri yang berbakti pada keluarganya, bisa jadi alat memasak. Kalau dipegang oleh orang yang sedang dipenuhi dendam, bisa jadi alat penghilang nyawa manusia. Kalau dipegang orang yang dipenuhi rasa cinta pada keluarganya bisa dipakai menjadi perkakas untuk menghasilkan penghilang lapar manusia. Begitupun “jancuk”, bila diucapkan dengan niat tak tulus, penuh amarah, dan penuh dendam maka akan dapat menyakiti. Tetapi bila diucapkan dengan kehendak untuk akrab, kehendak untuk hangat sekaligus cair dalam menggalang pergaulan, “jancuk” laksana pisau bagi orang yang sedang memasak. “Jancuk” dapat mengolah bahan-bahan menjadi jamuan pengantar perbincangan dan tawa-tiwi di meja makan.(Sujiwo Tedjo, 2012, halaman x)
Jancuk merupakan simbol keakraban. Simbol kehangatan. Simbol kesantaian. Lebih-lebih di tengah khalayak ramai yang kian munafik, keakraban dan kehangatan serta santainya “jancuk” kian diperlukan untuk menggeledah sekaligus membongkar kemunafikan itu. (Sujiwo Tejo. 2012 : 397)

Dalam konferensi pers konser Mahacinta Rahwana di JX Internasional pada tanggal 18 November 2013, Sitok Srengenge menambah keterangan Sujiwo Tedjo yang menegaskan bahwa konsep dan filosofi jancukers tumbuh di Jawa Timur, khususnya Surabaya:

"Di sinilah sebuah republik bernama Republik Jancukers itu tumbuh dan memunculkan definisi baru mengenai kata jancuk yang sudah tidak identik dengan konotasi negatif."

Kata seru
Kata ‘Jancok”, atau “cok” dalam bentuk singkatnya, digunakan sebagai kata seru untuk menunjukkan perasaan yang muncul, baik perasaan yang bersifat negatif maupun positif. Contoh kalimat:
"Cok, ora usah cekel-cekel!" ("Cok, tidak usah pegang-pegang!")
"Wih, apik'e, Cok!" ("Wih, bagusnya, Cok!")
Kata sapaan
Diantara para pengguna, kata “Jancok” juga digunakan sebagai kata sapaan untuk mengungkapkan kemarahan atau menunjukkan kedekatan hubungan di antara teman. Karena konotasi buruk yang melekat pada istilah “Jancok”, seseorang akan menjadi marah jika dipanggil menggunakan kata tersebut. Hal tersebut tidak berlaku di antara teman karib, yang malah menunjukkan bahwa kedekatan hubungan mereka membuat mereka tidak akan saling marah jika dipanggil dengan kata “Jancok”.

Meskipun tergolong bahasa gaul anak muda, kata tersebut masih terasa tidak pantas untuk digunakan memanggil orang tua karena arti sebenarnya adalah perkataan kotor.
Contoh kalimat:
"Cok, nang endi ae koe?" ("Cok, kemana saja kamu?")
"Ojo meneng ae, Cok!" ("Jangan diam saja, Cok!")
"Mlaku-mlaku yok, Cok." ("Jalan-jalan yuk, Cok.")
"Jancuk, yok opo kabare rek ?" ("Jancuk, gimana kabarnya kawan")




KATA "JANCOK" bukan KATA UMPATAN
KATA "JANCOK" adalah Simbol KEAKRABAN DAN PERSAHABATAN
Khas Arek SOERABAIA

Minggu, 09 Juni 2019

Menyingkap Asal Mula Istilah Halalbihalal Saat Hari Raya Idul Fitri

Ketika Hari Raya Idul Fitri tiba, acara halalbihalal menjadi tradisi yang tak terpisahkan. Sebuah momen yang berharga berkunjung ke rumah tetangga, saudara, dan kerabat untuk halalbihalal. Setiap individu pun saling memaafkan dan bersalam-salaman.

Meski lazim terdengar, kebanyakan orang mungkin mengira istilah 'halalbihalal' dari bahasa Arab, yakni al-halal-bil-halal. Namun, 'halalbihalal' sebenarnya berasal dari kata serapan 'halal' dengan sisipan 'bi' yang berarti 'dengan' (bahasa Arab) di antara 'halal'. Oleh karena itu, penambahan 'al' pada 'bihalal' tidak tepat.

Dari penjelasan dalam unggahan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, ditulis pada Sabtu (23/6/2018), cara penulisan pun harus digabung, yang menjadi 'halalbihalal', bukan 'halal bihalal.' Ini dikarenakan ketiga unsur (halal, bi, halal) adalah satu kesatuan.

Halalbihalal tidak dapat diartikan secara harfiah dan satu persatu antara halal, bi, dan halal.  Istilah 'halal' berasal dari kata 'halla' dalam bahasa Arab, yang mengandung tiga makna, yaitu halal al-habi (benang kusut terurai kembali); halla al-maa (air keruh diendapkan); serta halla as-syai (halal sesuatu).

Dari ketiga makna tersebut dapat ditarik kesimpulan makna halalbihalal adalah kekusutan,kekeruhan atau kesalahan yang selama ini dilakukan dapat dihalalkan kembali. Artinya, semua kesalahan melebur, hilang, dan kembali sedia kala.

Penggagas istilah
Halal BIhalal

Penggagas istilah 'halal bihalal adalah KH Abdul Wahab Chasbullah. Cerita bermula setelah Indonesia merdeka, tepatnya tahun 1948. Pada waktu itu termasuk pertengahan bulan Ramadan.

Para elit politik saling bertengkar dan tidak mau duduk dalam satu forum. Sementara itu, pemberontakan terjadi di mana-mana, seperti Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) dan PKI Madiun.

Terkait hal tersebut, Bung Karno memanggil KH Wahab Chasbullah, ulama dan tokoh besar Nahdlatul Ulama (NU) ke Istana Negara. Ia diminta saran untuk mengatasi situasi politik Indonesia yang tengah carut-marut.

Saran KH Wahab adalah menyelenggarakan silaturahim. Hal itu dilontarkan bertepatan menyambut Hari Raya Idul Fitri, yang mana seluruh umat Islam disunahkan bersilaturahim.

"Silaturahimkan biasa, saya ingin istilah yang lain," komentar Bung Karno, sebagaimana ditulis KH Masdar Farid Mas’udi, Rais Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama dari laman NU Online.

KH Wahab menjawab, para elit politik tidak mau bersatu dikarenakan mereka saling menyalahkan. Saling menyalahkan itu adalah dosa.

"Dosa itu haram. Supaya mereka tidak punya dosa, maka harus dihalalkan. Mereka harus duduk dalam satu meja untuk saling memaafkan, saling menghalalkan. Sehingga silaturahim nanti kita pakai istilah 'halal bihalal', jelas KH Wahab.

Atas saran KH Wahab, pada Hari Raya Idul Fitri di tahun 1948, Bung Karno mengundang seluruh tokoh politik untuk datang ke Istana Negara untuk menghadiri silaturahim yang diberi judul 'Halalbihalal.'

Para tokoh politik akhirnya duduk satu meja. Mereka mulai menyusun kekuatan dan persatuan bangsa ke depan.

Sejak saat itu, berbagai instansi pemerintah di masa pemerintahan Bung Karno menyelenggarakan halalbihalal. Halalbihalal kemudian diikuti masyarakat Indonesia secara luas, terutama masyarakat muslim di Jawa sebagai pengikut para ulama.

Bung Karno bergerak di instansi pemerintah, sedangkan  KH Wahab menggerakkan masyarakat. Halalbihalal menjadi kegiatan rutin dan budaya Indonesia saat Hari Raya Idul Fitri hingga sekarang.

Sungkem dalam halalbihalal

Sungkem yang ada pada halalbihalal sendiri dimulai sejak  Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara I atau yang dikenal dengan Pangeran Sambernyawa. Setelah Hari Raya Idul Fitri, ia menyelenggarakan pertemuan antara Raja dengan para punggawa juga prajurit secara serentak di balai istana.

Mereka dengan tertib melakukan sungkem kepada raja dan permaisuri. Budaya ini pun ditiru oleh masyarakat luas, termasuk organisasi keagamaan dan instansi pemerintah. Namun, sungkem yang dilaksanakan Pangeran Sambernyawa belum menyebut istilah 'halalbihalal.'

Itilah "halal bihalal" dicetuskan oleh KH Wahab Chasbullah dengan makna pertama (thalabu halâl bi tharîqin halâl) adalah mencari penyelesaian masalah atau mencari keharmonisan hubungan dengan cara mengampuni kesalahan. Makna kedua (halâl "yujza'u" bi halâl) adalah pembebasan kesalahan dibalas  dengan pembebasan kesalahan dengan cara saling memaafkan.