Kamis, 05 November 2020

DOLLAR AMERIKA BUKAN SEKEDAR MATA UANG

US Dollar Bukan Sekedar Mata Uang

               Normalnya, sebuah Negara mendapat pendanaan salah satunya dengan memungut pajak dari rakyatnya. Namun, bagi Negara super power, mereka dapat memungut pajak dari Negara-negara lainnya. Itulah yang berabad-abad kita saksikan terjadi dalam imperium Yunani, Romawi, Ottoman, dan bahkan hingga Inggris Raya.

               Namun, untuk pertama kalinya, Amerika Serikat pada abad 20 bisa memajaki negara-negara lain dunia secara tidak langsung melalui beban inflasi penciptaan mata uang dollar yang tidak didukung dengan logam berharga. Mata uang dollar yang terdistribusi secara luas menempatkan Amerika pada tempat istimewa. Negara-negara lain harus berkeringat menyerahkan hasil buminya dari minyak, tuna, rotan, kayu, emas, tembaga sementara sang super power cukup menukarnya dengan uang kertas yang bisa dicetak kapan saja dan tanpa memiliki nilai intrinsik sedikit pun. Risiko terjadinya inflasi dari penciptaan dollar yang berlebihan dengan cerdik dialihkan kepada 60 % lebih penduduk bumiyang menggunakan mata uang ini.

Stabilitas mata uang

           Dalam perdagangan internasional tidak semua jenis mata uang memiliki legitimasi dan dapat dipergunakan secara luas. Negara berkembang misalnya, jarang yang menggunakan mata uang lokal untuk urusan transaksi internasional karena mata uang mereka dianggap volatile (tidak stabil). Lantaran itu, mereka menggunakan uang yang relative kuat seperti dollar.

             Kriteria stabil ini perlu dites dan diteliti lebih lanjut. Apakah dollar benar-benar mewakili mata uang yang stabil?Banyak ekonom yang berpendapat selama itu masih berupa fiat money, dimanapun ia akan menyimpan bom waktu ketidakstabilan sepanjang masa.Salah satu argumen utamanya, karena pemerintah gampang tergoda menerbitkan uang dalam jumlah yang tak terbatas (unlimited) dengan konsekuensi meroketnya tingkat inflasi.

Bisa disimpulkan bila Amerika menikmati pendapatan yang luar biasa besar dari penciptaan uang ini atau yang dikenal dengan istilah seigniorage (Pendapatan dari penerbitan mata uang). Keuntungan dari penciptaan mata uang semakin besar ketika banyak pendukung yang mensirkulasikan mata uang dollar tersebut ke seluruh penjuru dunia. Karena itu, sangat tidak adil bagi kebanyakan Negara berkembang di mana para buruh bekerja membanting tulang hanya untuk mengejar pendapatan $2-$5 per hari, sementara The Fed dengan sangat leluasa bisa mencetak dollar hampirunlimited untuk membiayaianggaran belanja Negara dengan konsekuensi orang seluruh dunia pengguna dollar ikut “menyumbang” dengan membayar inflasi yang diakibatkannya. Dengan kata lain, pemerintah Amerika secara tidak langsung bisa memajaki pemegang dollar di seluruh dunia melalui skema anggaran yang terinflasi.

The Fed dapat leluasa mencetak Dollar

Tak dapat disangkal saat ini dollar AS menjadi mata uang yang paling banyak dipakai di penjuru bumi. Dollar tidak hanya dipakai dalam perdagangan internasional, tapi juga menjadi mata uang yang paling banyak disimpan secara resmi sebagai cadangan devisa oleh banyak negara.

Kenapa kebanyakan Negara berlomba-lomba menyimpan dollar, bukan euro, pound sterling, yen. Boleh jadi alasan tersebut karena dollar menjadi satu-satunya alat pembayaran untuk komoditi minyak (minyak merupakan sumber energi bagi negara manapun).

Alasan rasional lain karena peran Amerika sebagai mesin ekonomi dunia. Ketika kemudian dalam perdagangan dunia, impor AS melebihi ekspornya (diperkirakan 75% total impor dunia diserap oleh Amerika sendiri), tak pelak dollar membanjiri pasar dunia. Para eksportir dari belahan dunia menerima pembayaran impor dari mitra dagangnya dalam bentuk dollar. Kemudian mereka menukarkan sebagian dollar tersebut ke dalam mata uang domestik ke bank sentral. Ketika dollar masih di-back up dengan emas, sebagian aliran dollar itu oleh bank sentral kemudian dikonversi menjadi emas dengan menukarkannya ke bank sentral AS, The Fed.

Namun ketika tuntutan konversidari dollar ke emas mulai menggunung dan mulai sulit dipenuhi, AS memainkan kartunya dengan menghentikan konvertibilitas Dollar sekaligus menandai ambruknya sistem Bretton woods yang menghargai 1 ons emas = 35 Dollar AS. Mulai saat itu juga para eksportir dari seluruh belahan dunia menerima pembayaran komoditinya dengan Dollar-uang kertas yang nominalnya tak segram pun didukung dengan emas.

Tiga indikator dasar

Kemampuan Dollar untuk terus bertahan menjadi alat pembayaran utama bisa dideteksi dari tingkat kepercayaan penggunanya. Kepercayaan tersebut sangat bergantung pada kemampuan AS dalam memelihara stabilitas dan kesinambungan fundamental ekonominya. Inflasi, pengangguran, dan tingkat hutang merupakan tiga indikator dasar yang dapat dijadkan acuan dalam menilai stabilitas fundamental ekonomi suatu Negara.

              AS berhasil mengendalikan tingkat inflasinya sejaktahun 1982 dan seterusnya hingga tahun 2007 berfluktuasi tipis antara 1% hingga 6 %. Tingkat pengangguran dapat dikatakan dalam posisi yang moderat berkisar antara 4% hingga 9 % dengan catatan semakin menurun dari tahun ke tahun. Dari 2 indikator tersebut dapat dikatakan bahwa AS tidak memiliki masalah serius dalam fundamental ekonominya.

              Namun bagaimana dengan tingkat hutang luar negerinya?? Total outstanding hutang AS dari tahun ke tahun terus meningkat. Pada tahun 1998 jumlahnya mencapai 5,5 triliun dollar lebih dan meningkat menjadi 6,2 triliun di akhir tahun 2002. Bila sebelumnya AS dikenal sebagai Negara pemberi hutang, saat ini beralih menjadi Negara yang terjerat hutang yang tak terbayangkan. Bedanya, bila Negara-negara miskin harus berjuang sendirian untuk melunasihutangnya, AS bisa mendapatkan solusi yang lebih elegan dengan melibatkan seluruh masyarakat dunia pengguna Dollar untuk bersama-sama menanggung inflasi yang diakibatkan Dollar tersebut.

Manipulasi pasar modal domestik

             Robert Heller, anggota Federal Reserve Board , pada tahun 1989 mengeluarkan pernyataan bahwa atas nama stabilitas ekonomi, The Fed bisa saja membeli saham di pasar modal dalam jumlah besar untuk menstabilkan pasar dari ancaman inflasi akibat dari banyaknya jumlah Dollar yang beredar di masyarakat. Pernyataan ini sangat irasional karena terdapat berbagai persoalan teknis seperti, bagaimana cara The Fed (sebagai bank sentral) untuk masuk ke dalam mekanisme pasar modal.


               Ide menstabilkan pasar ini mengingatkan.    kembali tentang keberadaan tim khusus untuk menangani pasar modal setelah terjadinya market crash 1987. Tim yang dikenal dengan WGFM (Working Group on Financial Market), didirikan pada tahun 1988, adalah tim ad hoc yang terdiri dari menteri keuangan, gubernur The Fed, ketua Securities and Exchange Commision (semacam Bappepam), dan ketua Commodity Futures Trading Commision. Tugas utama dari tim ini adalah untuk mangambil tindakan yang “dianggap perlu” untuk menjaga daya saing dari pasar uang AS.

             Dalam kesempatan lain, Alan Greenspan pernah menyatakan bahwa The Fed juga melakukan upaya-upaya lain yang disebut “unconventional method” untuk menstabilkan ekonomi. Tidak menjelaskan secara terperinci apa maksud metode yang tidak konvensional itu, namun sumber yang tidak mau disebut nama dari The Fed mengakui langkah yang dimaksud adalah mengordinasikan korporasi-korporasi AS untuk saling memborong saham korporasi AS lainnya dalam rangka menarik Dollar yang beredar“terlalu banyak” di masyarakat.

Kesimpulan

             Ketika suatu sistem dipimpin oleh pihak yang kurang tepat, maka akan hadir kebijakan yang tidak adil. Faktanya, AS adalah satu-satunya Negara yang dapat mencetak mata uangnya sendiri tanpa khawatir akan meroketnya tingkat inflasi.

              Sistem ini tidak disia-siakan oleh AS. Kemampuannya mencetak uang tanpa batas telah memicu kemauan pemimpin Negara tersebut untuk menjadi rakus akan kekuatan yang dibuktikan dengan menjadi promotor perang Irak, menciptakan konspirasi kemiskinan di Darfur, serta menjaga ketidakstabilan perdamaian timur tengah yang kesemuanya itu dilakukan melalui mesin-mesin perangnya.

               Menjadikan fiat money yang tak sedikit pun di-back up dengan logam mulia bagaikan menyimpan bom waktu yang siap meledak kapan saja. Hal tersebut terjadi ketika disekuilibrium ekonomi tak tertahankan lagi seperti peristiwa great depression yang melanda AS dan krisis moneter yang menghantam seluruh Negara Asia tenggara. Ekonom-ekonom dunia memahami dengan baik fakta tersebut namun yang mereka lakukan justru tetap mempertahankan fiat money dan sekedar menunda terjadinya krisis keuangan berikutnya.

              Pertanyaannya, perlukah kita kembali memilih standar emas atau sistem yang mendekati seperti mekanisme Bretton Woods dulu?

“Gold is going to be part of the structure of international monetary system for the 21st century.”

Robert A. Mundell, Nobel Laureate

Selasa, 28 Juli 2020

BERKURBAN UNTUK ORANG YANG TELAH MENINGGAL DUNIA

               Setiap jelang hari raya Idul Adha selalu muncul pertanyaan seputar kurban,  di antaranya adalah tentang hukum berkurban untuk keluarga yang sudah meninggal. Hukum berkurban itu sendiri adalah sunnah muakkad. Tetapi khusus untuk Rasulullah saw hukumnya adalah wajib. Hal ini didasarkan kepada sabda beliau, salah satunya adalah yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi;

أُمِرْتُ بِالنَّحْرِ وَهُوَ سُنَّةٌ لَكُمْ

“Aku diperintahkan (diwajibkan) untuk berkurban, dan hal itu merupakan sunnah bagi kalian” (HR. At-Tirmidzi).

Kesunnahan dalam hal ini adalah sunnah kifayah jika dalam keluarga adalah satu dari mereka telah menjalankan kurban maka gugurlah kesunnahan yang lain, tetapi jika hanya satu orang maka hukumnya adalah sunnah ‘ain.sedang kesunnahan berkurban ini tentunya ditujukan kepada orang muslim yang merdeka, sudah baligh, berakal dan mampu.

وَالْاُضْحِيَة- ....(سُنَّةٌ) مُؤَكَّدَةٌ فِيحَقِّنَاعَلَى الْكِفَايَةِ إِنْ تَعَدَّدَ أَهْلُ الْبَيْتِ فَإِذَا فَعَلَهَا وَاحِدٌ مِنْ أَهْلِ الْبَيْتِ كَفَى عَنِ الْجَمِيعِ وَإِلَّا فَسُنَّةُ عَيْنٍ وَالْمُخَاطَبُ بِهَا الْمُسْلِمُ اَلْحُرُّ اَلْبَالِغُ اَلْعَاقِلُ اَلْمُسْتَطِيعُ

“Hukum berkurban adalah sunnah muakkad yang bersifat kifayah apabila jumlahnya dalam satu keluarga banyak, maka jika salah satu dari mereka sudah menjalankannya maka sudah mencukupi untuk semuanya jika tidak maka menjadi sunnah ain. Sedangkan mukhatab (orang yang terkena khitab) adalah orang islam yang merdeka, sudah baligh, berakal dan mampu” (Muhammad al-Khathib asy-Syarbini, al-Iqna’ fi Halli Alfazhi Abi asy-Syuja’, Bairut-Maktab al-Buhuts wa ad-Dirasat, tt, juz, 2, h. 588)

Sampai di sini tidak ada persoalan, tetapi persoalan kemudian muncul mengenai berkurban untuk orang yang telah meninggal dunia. Biasanya hal ini dilakukan oleh pihak keluarganya, karena orang yang telah meninggal dunia sewaktu masih hidup belum pernah berkurban. Imam Muhyiddin Syarf an-Nawawi dalam kitab Minhaj ath-Thalibin dengan tegas menyatakan tidak ada kurban untuk orang yang telah meniggal dunia kecuali semasa hidupnya pernah berwasiat.

وَلَا تَضْحِيَةَ عَنْ الْغَيْرِ بِغَيْرِ إذْنِهِ وَلَا عَنْ مَيِّتٍ إنْ لَمْ يُوصِ بِهَا

“Tidak sah berkurban untuk orang lain (yang masih hidup) dengan tanpa seijinnya, dan tidak juga untuk orang yang telah meninggal dunia apabila ia tidak berwasiat untuk dikurbani” (Muhyiddin Syarf an-Nawawi, Minhaj ath-Thalibin, Bairut-Dar al-Fikr, cet ke-1, 1425 H/2005 M, h. 321)

Setidaknya argumentasi yang dapat dikemukakan untuk menopang pendapat ini adalah bahwa kurban merupakan ibadah yang membutuhkan niat. Karenanya, niat orang yang berkurban mutlak diperlukan.

Namun ada pandangan lain yang menyatakan kebolehan berkurban untuk orang yang telah meninggal dunia sebagaimana dikemukakan oleh Abu al-Hasan al-Abbadi. Alasan pandangan ini adalah bahwa berkurban termasuk sedekah, sedangkan bersedekah untuk orang yang telah meninggal dunia adalah sah dan bisa memberikan kebaikan kepadanya, serta pahalanya bisa sampai kepadanya sebagaimana yang telah disepakati oleh para ulama.

لَوْ ضَحَّى عَنْ غَيْرِهِ بِغَيْرِإذْنِهِ لَمْ يَقَعْ عَنْهُ (وَأَمَّا) التَّضْحِيَةُ عَنْ الْمَيِّتِ فَقَدْ أَطْلَقَ أَبُوالْحَسَنِ الْعَبَّادِيُّ جَوَازَهَا لِأَنَّهَا ضَرْبٌ مِنْ الصَّدَقَةِ وَالصَّدَقَةُ تَصِحُّ عَنْ الْمَيِّتِ وَتَنْفَعُ هُوَتَصِلُ إلَيْهِ بِالْإِجْمَاعِ
“Seandainya seseorang berkurban untuk orang lain tanpa seizinnya maka tidak bisa. Adapun berkurban untuk orang yang sudah meninggal dunia maka Abu al-Hasan al-Abbadi memperbolehkannya secara mutlak karena termasuk sedekah, sedang sedekah untuk orang yang telah meninggal dunia itu sah, bermanfaat untuknya, dan pahalanya bisa sampai kepadanya sebagaimana ketetapan ijma` para ulama” (Lihat Muhyiddin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab, Bairut-Dar al-Fikr, tt, juz, 8, h. 406)

Di kalangan mazhab Syafi’i sendiri pandangan yang pertama dianggap sebagai pandangan yang lebih sahih (ashah) dan dianut mayoritas ulama dari kalangan mazhab syafi’i. Kendati pandangan yang kedua tidak menjadi pandangan mayoritas ulama mazhab syafi’i, namun pandangan kedua didukung oleh mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali. Hal ini sebagaimana yang terdokumentasikan dalam kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah.

إِذَا أَوْصَى الْمَيِّتُ بِالتَّضْحِيَةِ عَنْهُ، أَوْ وَقَفَ وَقْفًا لِذَلِكَ جَازَ بِالاِتِّفَاقِ. فَإِنْ كَانَتْ وَاجِبَةً بِالنَّذْرِ وَغَيْرِهِ وَجَبَ عَلَى الْوَارِثِ إِنْفَاذُ ذَلِكَ. أَمَّا إِذَا لَمْ يُوصِ بِهَافَأَرَادَ الْوَارِثُ أَوْ غَيْرُهُ أَنْ يُضَحِّيَ عَنْهُ مِنْ مَال نَفْسِهِ، فَذَهَبَ الْحَنَفِيَّةُ وَالْمَالِكِيَّةُ وَالْحَنَابِلَةُ إِلَى جَوَازِ التَّضْحِيَةِ عَنْهُ، إِلاَّ أَنَّ الْمَالِكِيَّةَ أَجَازُوا ذَلِكَ مَعَ الْكَرَاهَةِ. وَإِنَّمَا أَجَازُوهُ لِأَنَّ الْمَوْتَ لاَ يَمْنَعُ التَّقَرُّبَ عَنِ الْمَيِّتِ كَمَا فِي الصَّدَقَةِ وَالْحَجِّ

“Adapun jika (orang yang telah meninggal dunia) belum pernah berwasiat untuk dikurbani kemudian ahli waris atau orang lain mengurbani orang yang telah meninggal dunia tersebut dari hartanya sendiri maka mazhab hanafii, maliki, dan hanbali memperbolehkannya. Hanya saja menurut mazhab maliki boleh tetapi makruh. Alasan mereka adalah karena kematian tidak bisa menghalangi orang yang meninggal dunia untuk ber-taqarrub kepada Allah sebagaimana dalam sedekah dan ibadah haji” (Lihat, Wizarah al-Awqaf wa asy-Syu`un al-Islamiyyah-Kuwait, Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwatiyyah, Bairut-Dar as-Salasil, juz, 5, h. 106-107)

Demikian pandangan yang dapat kami kemukakan mengenai sebagian permasalahan kurban.  Jika ada yg berbeda pendapat, jadikan perbedaan pandangan para ulama dalam masalah fikih sebagai rahmat.

Jika Anda dan saudara-saudara Anda ingin berkurban untuk orang tua yang telah meninggal dunia, maka berarti anda mengikuti pendapat ulama yang kedua, seperti dijelaskan di atas. Bahwa berkurban dalam hal ini dimaksudkan sebagai sedekah, sedangkan bersedekah untuk orang yang telah meninggal dunia adalah sah dan bisa memberikan kebaikan kepadanya, serta pahalanya bisa sampai kepadanya sebagaimana yang telah disepakati oleh para ulama.

_Walloohu a'lam bish showab_.

Rabu, 04 Maret 2020

Tarjih Dalil Menurut Madzhab Syafi'i - Satu Contoh Kasus-

Methode tarjih atau ijtihad ulama madzhab yang tidak disadari oleh ahli tarjih sekarang dan kemudian dengan enteng melemahkan produk hukum dalam madzhab Syafi'i dapat dicontohkan pada bab praktik tayammum

Dalam madzhab Syafi'i (dan Hanafi), tayammum adalah dengan mengusap wajah dan kedua lengan tangan hingga siku. Hukum ini sekilas tampak menyelisihi hadits shahih riwayat Bukhari dan Muslim saat Rasulullah mempraktikkan tayammum dihadapan sahabat Ammar bin Yasir dengan mengusap wajah dan telapak tangan (hingga pergelangan) saja. Sementara hadits-hadits yang dipakai madzhab Syafi'i secara umum adalah hasan (lighairihi) atau shahih level bawah sehingga tak cukup kuat jika harus dihadapkan dengan hadits Ammar yang shahih dengan muttafaq alaih. Tapi, madzhab Syafi'i tidak hanya memakai dasar hadits, mereka juga memakai zhahir ayat tayammum, qiyas dan perbuatan sahabat. Sehingga dalam pandangan madzhab Syafi'i, hadits hasan (shahih) yang dikuatkan zhahir nash Qur'an, perbuatan sahabat, dan qiyas lebih layak diambil daripada zhahir hadits Ammar yang walaupun shahih muttafaq alaih. Ini versi madzhab Syafi'i. 

Bagi yang hanya mencukupkan dalil hadits saja tanpa melihat hujjah atau argumentasi lain, tentu dengan mudah memvonis dalil dalam madzhab Syafi'i lemah dan tidak kuat untuk diikuti. Inilah diantara sulitnya melakukan tarjih aqwal madzahib kecuali bagi mereka yang dianugerahi Allah kemampuan untuk itu. Hal ini berbeda dengan mereka yang melakukan ijtihad sendiri tanpa melakukan tarjih atau tanpa terikat dengan aqwal madzahib. Mereka hanya memerlukan syarat ijtihad walaupun sangat berat. 

Kemudian ta'wil atas hadits Ammar adalah bahwa saat itu Rasulullah hanya sekedar mencontohkan tayammum, tapi dengan tidak disempurnakan.