Rabu, 13 April 2011

SHODAQOH DI HARI KEMATIAN ORANG-ORANG TERCINTA


                      Sudah menjadi tradisi di masyarakat Indonesia terutama orang-orang Jawa menyediakan hidangan bagi orang-orang yang bertakziah dan  bagi para penggali kubur, bahkan di sebagian daerah tidak afdlol rasanya jika kepergian orang tua menghadap Ilahi tidak disertai dengan penyembelihan kambing untuk disedekahkan bagi para pelayat dan penggali kubur menjelang pemberangkatan terakhir atau sesaat setelah mayyit dikuburkan. Jika mereka tidak melakukan hal itu maka akan digunjing oleh para tetangga dan dikatakan tidak berbakti kepada orang tua.
                       Hal ini sering menjadi bahan perbincangan di kalangan orang – orang Islam yang tidak memahami latar belakang kehidupan orang – orang Indonesia dan adat mereka apalagi mereka yang baru getol – getolnya mempelajari ajaran Islam dengan semangat kembali ke Al Qur’an dan Al Hadits. Dengan cepat mereka akan mengatakan haram karena itu adalah bid’ah, karena semua bid’ah itu sesat dan semua yang sesat akan bertempat di neraka. Selalu itu dalil yang dilontarkan guna mengikis adat dan budaya asli Indonesia.
                       Tidak bisa dipungkiri bahwa tradisi menyuguhkan makanan pada waktu kematian orang tua atau kerabat merupakan budaya asli Indonesia, bukan budaya Arab. Tetapi apakah sekejam itu kita memperlakukan tradisi semacam itu dengan kata-kata haram, sesat, atau masuk neraka? Apakah semua yang bukan tradisi Arab itu pasti tidak Islamy? Bagaimanakah sebenarnya cara kita memandang semua itu? Mengapa para penyebar agama Islam di Indonesia  (Wali Songo) membiarkan itu semua tetap berjalan meski dengan memberi sentuhan nilai-nilai Islam ke dalamnya? Hal itu tentu ada penyebabnya, mereka tidak melakukan sesuatu tanpa alasan, kita meyakini hal itu.
                       Mari kita mencoba mengurai benang kusut permasalahan shodaqoh untuk mayyit ini. Apa sebenarnya komentar para ulama’ mengenai hal ini. Salah seorang ‘ulama’ besar Mazhab Syafi’iy yaitu Syech Ibnu Hajar Al Haitamy dalam kitab Al Fatawy al Kubro Juz II halaman 7 cetakan Darul Fikr berpendapat bahwa kebiasaan penduduk menyembelih hewan sembelihan kemudian memasaknya lalu dibawa di belakang mayyit menuju kuburan untuk disedekahkan kepada para penggali kubur, kebiasaan penyediaan makanan pada malam ketiga, malam ketujuh dan pada genap sebulan dengan memberi roti para wanita yang bertakziah dan lain-lain adalah bid’ah yang tercela tetapi tidak sampai haram ( hanya makruh saja ), kecuali jika prosesi penghormatan pada mayyit bertujuan untuk meratapi atau memuji mayyit secara berlebihan. Dan jika prosesi tersebut dilakukan guna menghindari ocehan dan gunjingan orang-orang awam yang memperbincangkan dirinya akibat tidak melakukan tradisi yang umum berlaku maka diharapkan ia akan mendapatkan pahala sebagaimana perintah Nabi Muhammad saw. kepada seseorang yang batal sholatnya karena berhadats untuk menutup hidungnya dengan tangan untuk memberi kesan seolah-olah hidungnya berdarah. Hal ini demi menjaga kehormatan dirinya jika ia berbuat di luar kebiasaan masyarakat.
                       Kemudian sesuai hasil keputusan Muktamar NU pertama di Surabaya pada tanggal 21 Oktober 1926 disebutkan bahwa menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh hukumnya makruh apabila dilakukan dengan cara berkumpul bersama-sama pada hari-hari tertentu. Tetapi kemakruhan tersebut tidak sampai menghilangkan pahala shodaqoh. Dasar pengambilan hukum makruh dan tetapnya pahala ini bisa dilihat dalam kitab I’anatut Tholibin Juz II halaman 145.
                       Dari pandangan para ulama’ tersebut kita bisa melihat bahwa yang menjadi penyebab kemakruhan adalah berkumpul-kumpul di hari-hari tertentu yang dianggap menyerupai meratapi mayyit. Jadi apabila hal tersebut justru menghibur dan menenangkan hati keluarga yang ditinggalkan si mayyit tentu tidak bisa dikatakan meratapi bahkan sesuai tujuan takziah yang secara bahasa bermakna menghibur hati. Dalam hal sampainya pahala shodaqoh mungkin kita pernah mendengar sebuah hadits yang disebutkan dalam Shahih Tirmidzy Juz III halaman 127 yang berbunyi :
روى ابن عباس أنّ رجلا قال لرسول الله صلى الله عليه وسلّم : إنّ أمّى قد توفيت أينفعها إن أتصدق عنها ؟ فقال نعم . قال فإنّ لى مخرفا فأشهدك أنّى قد تصدّقت بها عنها .
Artinya : Ibnu Abbas meriwayatkan bahwa ada seorang lelaki berkata kepada Rosululloh saw. : “Ibu saya telah meninggal, apakah bermanfaat baginya apabila saya bersedekah atas namanya ?” Beliau bersabda : “ Ya “. Orang tersebut berkata : “ Bahwasannya saya memiliki sebuah kebun. Maka aku persaksikan kepada Tuan bahwa kebun saya itu telah saya sedekahkan atas nama ibu saya”.
                       Marilah kita mencoba untuk merenungi apa yang telah disampaikan para ulama’ di atas dan mari kita mencoba untuk berbuat dan bertindak searif mungkin dengan apa yang ada di sekitar kita. Karena hanya Allah sajalah yang tahu apa yang menjadi tujuan dari tindakan seseorang. Jangan kita berbicara secara subyektif, hanya dengan memandang apa yang menurut kita benar tanpa melihat pendapat orang lain dan kondisi permasalahan yang ada di sekitar kita tersebut. Ini sekedar pendapat, bila hal itu dipandang baik maka wajib disyukuri tetapi bila dianggap buruk maka silakan berbeda pendapat atau meluruskan apa yang ada dalam tulisan dengan arif.

3 komentar:

  1. Mungkin, kita bisa menyiasatinya dengan menyelenggarakan itu tapi dimajukan atau di mundurkan sehari.
    It's Just an idea.

    BalasHapus
  2. Okey, itu juga bagus, yang penting kan doa dan sedekahnya, bukan masalah waktu, cuma sulit menyadarkan orang2 yg terlalu memegang prinsip adat, maunya meneruskan tradisi persis seperti nenek moyang, padahal kadang perlu direvisi, seperti skripsi saja ya pakai revisi.

    BalasHapus
  3. dan yang lebih penting lagi jangan memaksakan diri untuk menjamu tetangga yg bertakziah jika tidak mampu,sebaiknya justru para tetanggalah yg menyediakan jamuan karena shohibul musibah tengah bersedih.

    BalasHapus